Advertorial

Reformasi 21 Mei 1998: Saat 14 Menteri Menolak ' Trik Menyelamatkan' Soeharto

Mentari DP

Penulis

Pada 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia setelah berkuasa selama 32 tahun.
Pada 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia setelah berkuasa selama 32 tahun.

Intisari-Online.com – Hari ini, Selasa tanggal 21 Mei 2019, bertepatan dengan 21 tahun reformasi 1998.

Reformasi 1998 merupakan sebuah kejadian di mana mahasiswa berdemo dan meminta mundurnya Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.

Dan tepat pada hari ini, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998 setelah 32 tahun berkuasa.

Ini merupakan salah satu momen penting dalam sejarah Indonesia, di mana kekuasaan rezim Orde Baru resmi lengser.

Baca Juga: 21 Mei 1998, Ketika Soeharto Dipaksa Mundur oleh Mahasiswa Setelah 32 Tahun Berkuasa…

Namun kisah kejatuhan rezim Orde Baru pada 21 tahun lalu tidak bisa dilepaskan dari aksi penolakan 14 menteri terhadap rencana Presiden Soeharto yang terjadi pada 20 Mei 1998.

Saat itu, 14 menteri di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita menolak masuk ke dalam Komite Reformasi atau Kabinet Reformasi hasil reshuffle.

Padahal, perombakan kabinet atau Komite Reformasi diyakini sebagai salah satu cara Soeharto untuk "menyelamatkan diri" atas tuntutan mundur terhadapnya, seiring tuntutan reformasi yang semakin besar.

Saat itu, kondisi politik dan ekonomi memang tidak menguntungkan Soeharto, terutama pasca-Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 dan kerusuhan bernuansa rasial pada 13-15 Mei 1998.

Para mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi juga sudah menguasai gedung DPR/MPR sejak 18 Mei 1998.

Mereka menuntut dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR dengan agenda pencopotan Soeharto.

Dilansir dari dokumen Kompas yang terbit 27 Mei 1998, penolakan 14 menteri ini bermula pada pukul 14.30 WIB.

Ada 14 menteri bidang Ekuin itu mengadakan pertemuan di Gedung Bappenas.

Hanya dua menteri yang tidak hadir, yaitu Menteri Keuangan Fuad Bawazier dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Muhammad Hasan alias Bob Hasan.

Baca Juga: Seperti Ini Rasanya Tinggal di Base Camp Gunung Everest

Ke-14 menteri yang menandatangani, sebut saja Deklarasi Bappenas itu, secara berurutan adalah Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Justika S Baharsjah.

Kemudian, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi MBA, Theo L Sambuaga, dan Tanri Abeng.

Penolakan ini menambah kekecewaan Presiden Soeharto.

Sebab, sebelumnya Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Abdul Latief telah mengirimkan surat permintaan pengunduran diri dari Kabinet Pembangunan VII.

Surat itu sendiri belum dijawab Soeharto hingga detik-detik akhir dia menjabat presiden.

Habibie dikabarkan mundur

Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie memiliki kisah sendiri mengenai penolakan 14 menteri itu.

Kisah itu ditulisnya dalam buku Detik-detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006).

Pada sore itu, dia mendapat laporan mengenai rencana penolakan 14 menteri untuk masuk Kabinet Reformasi dari Ginandjar Kartasasmita.

Respons Habibie saat itu, "Apakah Anda sudah bicarakan dengan Bapak Presiden?"

Ketika itu Ginandjar mengaku belum membicarakannya dengan Soeharto.

Namun, mereka sudah melaporkannya secara tertulis dan menyerahkannya kepada Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut, anak sulung Soeharto yang juga menjabat Menteri Sosial.

Kepada Habibie, Ginandjar mengatakan bahwa 14 menteri ini hanya tidak mau bergabung Komite Reformasi atau Kabinet Reformasi hasil reshuffle.

Namun, mereka masih melaksanakan tugas sebagai menteri hingga Kabinet Pembangunan VII dibubarkan.

Baca Juga: BaBe Luncurkan AI Academy, Program Untuk Perkuat Kompetensi Digital para Pelajar di Indonesia

Setelah mendengar laporan Ginandjar, sebuah kabar mengejutkan kemudian didengar Habibie.

Sekitar pukul 17.45 WIB, dia mendapat telepon dari Menkeu Fuad Bawazier.

Fuad yang tidak ikut menandatangani "Deklarasi Bappenas" itu mengonfirmasi kabar mengejutkan yang dia dapat: Habibie berniat mundur sebagai wapres.

Mendapat pertanyaan itu, Habibie langsung menjawab.

"Isu tersebut tidak benar. Presiden yang sedang menghadapi permasalahan multikompleks tidak mungkin saya tinggalkan. Saya bukan pengecut," demikian jawaban Habibie kepada Fuad Bawazier.

Soeharto terpukul

Kompas menulis bahwa laporan tertulis 14 menteri itu baru diterima Soeharto sekitar pukul 20.00 WIB. Soeharto menerimanya dari tangan ajudan, Kolonel Sumardjono.

Saat menerima surat itu, Soeharto langsung masuk ke kamar di kediamannya, Jalan Cendana Nomor 8, Jakarta Pusat.

Soeharto digambarkan begitu kecewa saat membaca surat itu. Soeharto merasa ditinggalkan, karena dari 14 nama menteri itu, ada juga orang-orang dekatnya.

Kompas menulisnya sebagai "orang-orang yang dianggap telah 'diselamatkan' Soeharto".

Surat itu juga membuat Soeharto semakin terpukul, karena dalam alinea pertama tertulis bahwa 14 menteri itu tidak hanya menolak masuk Kabinet Reformasi.

Mereka bahkan secara implisit meminta Soeharto untuk mundur.

Rencana Soeharto untuk membuat Kabinet Reformasi pun pupus. Dia merasa tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh.

Malam itu, Soeharto pun meyakinkan diri untuk mundur esok harinya, pada 21 Mei 1998. (Bayu Galih)

(Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Soeharto Ditolak 14 Menteri dan Isu Mundurnya Wapres Habibie...")

Baca Juga: Selamat! Lalu Muhammad Zohri Lolos Kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020

Artikel Terkait