Advertorial
Intisari-Online.com - Konflik ini dimulai lebih awal pada pagi hari tanggal 2 Maret 1969.
Yakni saat 300 tentara China, yang telah berjalan di atas es di Sungai Ussuri yang beku sehari sebelumnya, menyerang 55 penjaga perbatasan Soviet di Pulau Damansky.
Bantuan kemudian datang dari pos terdepan, letnan Vitaly Bubenin menggunakan pengangkut pasukan lapis baja.
Mereka mengalahkan China dalam serangan mendadak, dan memukulnya mundur dari pulau.
Baca Juga : Sering Dibuang, Nyatanya Jaring Buah Ini Miliki 5 Manfaat yang Tak Pernah Kita Ketahui
Tapi pertarungan belum berakhir.
Sebuah pembantaian di antah berantah
Pulau Damansky adalah sebidang tanah kecil tak berpenghuni (0,74 kilometer persegi) di Sungai Ussuri yang berfungsi sebagai perbatasan antara Uni Soviet dan China.
Beberapa minggu sebelum bentrokan langsung, China mulai memprovokasi penjaga perbatasan Soviet, menuntut pulau tersebut agar diperuntukkan bagi China.
Baca Juga : Temui Objek 279, Tank Berat Eksperimental Soviet yang Mampu Lintasi Segala Medan, Termasuk Rawa-rawa
Dua minggu kemudian, Damansky berubah menjadi medan perang sekali lagi.
Pada 15 Maret, seluruh divisi infantri menyerang pulau itu, memaksa Soviet mundur setelah beberapa jam bertempur hebat.
Rusia yang marah membalas tembakan peluncur roket berat dari tepi yang berlawanan dan memusnahkan musuh.
Baca Juga : Tak Tergiur dengan Ponsel Sedikit pun, Anak Ini Justru Pilih Hadiah Kambing untuk Kelulusannya
Aksi itu berhasil menghentikan pertempuran yang menewaskan 58 Soviet dan beberapa ratus tentara Cina.
Apa yang terjadi?
Pada 1960-an, baik Uni Soviet dan China Mao Zedong mengklaim sebagai juara sosialisme dan menentang kapitalis Barat.
Tapi bagaimana hubungan mereka berdua dapat merosot menjadi bentrokan militer?
Bagaimana pun, Joseph Stalin mendukung Partai Komunis China.
Pada tahun 1950, China mengirim satu juta tentara "sukarelawan" untuk berperang dalam Perang Korea, di mana Moskow dan Beijing mendukung Korea Utara.
Uni Soviet, pada saat yang sama, membantu orang miskin, pertanian, dan penduduk China.
Tapi aliansi dua raksasa merah itu tidak bertahan lama.
Baca Juga : 3 Cara Bagaimana Militer Israel Dominasi Medan Perang, Seperti Apa?
Setelah kematian Joseph Stalin pada tahun 1953, hubungan antara kekuatan mulai memburuk.
Mao merasa cukup ambisius untuk mengejar kebijakannya sendiri, ketika ia membenci Nikita Khrushchev tentang "hidup berdampingan secara damai" antara blok sosialis dan Barat.
Jauh lebih radikal daripada Khrushchev, Mao bertindak agresif, menyebut AS "macan kertas" dan mengisyaratkan bahwa China tidak takut akan perang nuklir.
Situasi semakin memburuk: ketegangan militer antara bekas sekutu meletus ketika Beijing menyatakan tidak mengakui perbatasan abad ke-19 antara USSR dan RRC.
Baca Juga : Tewaskan Jutaan Orang, Ini 4 Realita Kehidupan di Bawah Rezim Brutal Pol Pot
Pada saat itu, China sudah memiliki senjata nuklir, sehingga konflik antara kedua negara sosialis itu bisa saja memicu Perang Dunia Ketiga dengan perang nuklir maha dahsyat dalam waktu singkat.
Cukup mengejutkan, bahkan setelah konflik berlangsung selama beberapa bulan (tanpa bentrokan langsung, hanya terbatas pada penembakan di seluruh pulau), kedua pihak kemudian berhasil mencapai perdamaian.
Pada 11 September 1969, Perdana Menteri Soviet Alexei Kosygin mengunjungi Beijing.
Dia dan mitranya Zhou Enlai mencapai kesepakatan untuk berhenti berkonflik dan bernegosiasi untuk menggambar ulang perbatasan.
Selanjutnya pada 1989, Mikhail Gorbachev dan Deng Xiaoping menandatangani perjanjian tentang demiliterisasi perbatasan, dan menyatakan hubungan bilateral menjadi normal.
Beberapa tahun kemudian, Uni Soviet tidak ada lagi, dan pada 1991 Rusia secara resmi menyerahkan Pulau Damansky ke China.
Baca Juga : Bagaimana DNA Suku Papua Nugini Ungkap Spesies Manusia yang Telah Punah Ratusan Tahun Lalu?