Advertorial
Intisari-online - Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun sementara Jepang "hanya" 3 tahun.
Namun, dari berbagai ulasan sejarah, penderitaan rakyat Indonesia saat dijajah Jepang justru jauh berlipat-lipat kali lebih besar dibandingkan saat dijajah Belanda.
Pada periode 1942-1945 atau masa penajajahan Jepang, kehidupan rakyat Indonesia sungguh merana.
Karena sedang melakoni Perang Dunia II melawan Sekutu, negera yang mengklaim sebagai Cahaya Asia ini bertingkah bak perompak.
Baca Juga : Bukan ‘Kesaktiannya’, Pasukan Tank Belanda Takut pada Sri Sultan Hamengkubuwono IX karena Pendidikannya
Jepang merampas apa saja yang dimiliki Indonesia.
Mulai dari hasil pertambangan, hasil pertanian, tenaga manusia, dan para perempuan Indonesia juga dirampas untuk dijadikan wanita penghibur (jugun ianfu).
Pengambilan paksa tenaga manusia berupa pekerja-pekerja yang orangnya diambil dari berbagai daerah yang dikenal sebagai romusha bahkan menjadi momok paling mengerikan.
Para romusha dipaksa untuk membangun jembatan, jalan raya, rel kereta api, benteng pertahanan, dan lainnya. Umumnya mereka diperlakukan sebagai tawanan perang dan banyak yang mati karena kelaparan.
Baca Juga : Romusha dan Jugun Ianfu, Cara Keji Jepang dapatkan Tenaga Kerja dan Budak Seks Gratis
Banyak romusha yang ketika dibawa keluar Jawa menggunakan kapal malah menjadi korban tenggelam di laut karena mendapat serangan udara dari pasukan Sekutu.
Namun di Kasultanan Yogyakarta warganya relatif aman dari program itu karena Raja Yogyakarta saat itu, Sri Sultan Hamengku Buwana IX (disingkat Sultan HB IX), berhasil mengibuli Jepang.
Caranya, Sultan HB IX meminta agar Jepang membantu pembangunan program irigasi untuk mengalirkan air dari Sungai Progo ke daerah-daerah pelosok sehingga bisa ditanami padi.
Jika panenan padi melimpah, hasilnya sesuai aturan yang diterapkan Jepang saat itu.
Walhasil, panenan tersebut bisa untuk membantu pangan pasukan Jepang yang sedang bertempur melawan Sekutu.
Baca Juga : Begini Prosedur Beli Kacamata Agar Ditanggung BPJS Kesehatan
Tapi karena untuk membangun saluran irigasi dibutuhkan banyak tenaga manusia, Sultan HB IX meminta agar warga Yogyakarta tidak diikutkan dalam program Romusha.
Semua warga laki-laki Yogya yang sudah bisa bekerja diwajibkan ikut membangun irigasi secara gotong-royong.
Di luar dugaan, seperti termaktub dalam Tahta untuk Rakyat: Celak-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwana IX, pemerintah militer Jepang di Indonesia yang dikenal sangat kejam dan tidak mengenal kompromi ternyata menyetujui permintaan Sultan HB IX.
Jepang bahkan membantu dana dan berbagai peralatan untuk membangun saluran irigasi yang kini dikenal sebagai Selokan Mataram itu.
Warga Yogyakarta sendiri hingga saat ini terus memelihara dan ‘menghormati’ keberadaan Selokan Mataram.
Pasalnya selokan yang sangat bersejarah ini terbukti bisa menjamin warga tidak mengalami kekeringan dan tetap panen padi meski sedang musim kemarau. (Agustinus Winardi/Pengamat militer dan mantan wartawan Angkasa)
Baca Juga : Ingin Tahu Penampakan Tugu Jogja Zaman Jadul? Inilah Potret Lawas 6 Tempat Terkenal di Indonesia