Advertorial
Intisari-Online.com -Seorang gadis asal Indonesia bernama Fela ramai diperbincangkan di dunia maya, Minggu (24/2/2019).
Hal ini terjadi lantaran Fela melelang keperawanannya senilai Rp19 Miliar di sebuah agensi bernama Ciderella Escort (EC) yang berbasis di Jerman.
Tercatat ada 3 orang yang jadi peminat lelang yang dilakukan Fela tersebut.
Namun, pada akhirnya seorang pengusaha asal Jepang yang menjadi pemenang dan harus merogoh kocek dengan jumlah yang fantastis tersebut.
Baca Juga : Haus Akan Darah Perawan, Elizabeth Báthory Bunuh 612 Gadis Muda, Terbanyak Menurut Guinness Book of Records
Berbicara ekslusif kepada Tribunnews pada Rabu (20/2/2019), pihak EC mengatakan, "Pembeli tertinggi adalah politisi Jepang yang kaya raya, dia membeli Fela dengan harga tawaran 1,2 juta euro."
"Dari jumlah harga yang terjual tersebut Cinderella Escorts hanya dapat 20 persen saja jadi kami hanya mendapat 240.400 euro, selebihnya dipegang oleh Fela gadis Indonesia tersebut," katanya lagi.
"Tentu setelah dipotong pajak yang harus dibayarkan pula," tambahnya.
Benar-benar nilai yang fantastis bukan? Tapi, apakah keperawanan begitu penting sehingga pantas untuk "dijual" hingga semahal itu?
Baca Juga : Elizabeth Bathory, Bangsawan Cantik yang Haus Darah Perawan dan Bunuh 612 Gadis
Untuk menemukan jawabannya, mari kita simak artikelkompas.com yang berjudul "Darah Perawan, Seberapa Penting?" di bawah ini.
Istilah keperawanan memang telah digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tak pernah berhubungan seksual. Keberadan selaput dara yang utuh seringkali dijadikan bukti fisik dari keperawanan.
Lebih jauh lagi, masayarakat di negara berkembang yang persepsi serta pengetahuan seksualnya rendah, keyakinan akan keperawanan ditandai dengan keluarnya darah pada saat malam pertama.
Darah inilah yang dikenal dengan istilah "Darah Perawan".
Akan tetapi, seperti dipaparkan Profesor Wimpie Pangkahila Sp.And, pakar Andrologi dan Seksologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali, darah perawan itu sebenarnya hanya mitos belaka.
"Wanita yang tidak terangsang untuk ngeseks atau sedang berada dalam tekanan psikogenik (kejiwaan dan genetika), bisa mengalami pendarahan ketika ia memaksakan hubungan seks," ungkapnya dalam sebuah makalah tentang kesehatan seksual.
"Namun begitu, wanita yang benar-benar terangsang hasratnya dan terbebas dari beban psikologis tidak akan mengalami pendarahan meski ia melakukann hubungan seks untuk pertamalinya. Oleh sebab itu, sangat jelas dan tidak diragukan lagi bahwa istilah darah perawan hanyalah mitos belaka," jelasnya.
Baca Juga : Tak Hanya Ginjal, Ada Pula yang Rela Jual Keperawanan Hingga Menari Telanjang 'Hanya' Demi Beli iPhone
Sayangnya, lanjut Prof. Wimpie, mitos soal darah perawan seringkali menimbulkan masalah yang merugikan wanita. Tak jarang para suami yang berani menceraikan sang istri jika ia tidak melihat darah perawan pada saat malam pertama.
Di sebuah negara seperti Turki, ada dokter yang bersedia melakukan uji keperawanan atas permintaan pasien, meskipun hal ini ditentang oleh Asosiasi Kedoketaran di sana.
Uji keperawanan sebenarnya tidak berarti sama sekali karena selaput dara yang robek atau rusak bukan berarti seorang wanita pernah melakukan hubungan seks.
Hal itu, menurut Wimpie, dapat disebabkan penggunaan tampon (sumbat kapas sebesar jari) atau kebiasaan masturbasi memakai alat yang dimasukkan pada vagina.
Di lain pihak, ada pula para wanita yang organ intimnya tidak memiliki selaput dara dengan persentase kurang dari 0,03 persen (Jenry et al 1987).
Sebaliknya, keutuhan selaput dara pun tidak serta merta menunjukkan seorang wanita tak pernah melakukan hubungan seks. Faktanya, selaput dara tidak harus selalu robek setelah berhubungan intim.
Hasil pengujian selaput dara pada 1.000 remaja putri yang pernah melakukan seks lewat vagina menunjukkan kebanyakan selaput tampak kacau, tidak menentu, dan mengumpul di bagian pinggir vagina.
Jarang terjadi selaput dara terbelah secara komplet atau benar-benar sobek.
Baca Juga : Dari Nenek Hingga Keperawanan, Ini 7 Hal Paling Tak Masuk Akal yang Pernah Dilelang Secara 'Online'
Lebih jauh, status selaput dara juga tidak berkaitan dengan perilaku seksual. Utuhnya selaput dara tidak berarti bahwa wanita tidak pernah melakukan aktivitas seks.
Seorang wanita mungkin saja pernah melakukan berbagai jenis aktivitas seks termasuk oral, kecuali seks dengan penetrasi. Pada kasus ini, tentu saja selaput dara masih akan tetap utuh.
Pada situasi yang tak jelas ini para dokter dituntut menjelaskan hal yang sesungguhnya tentang keperawanan dan selaput dara ini. Sayang, ada beberapa dokter yang justru melakukan praktik memperbaiki atau meniru selaput dara.
Pada tahun 1960, praktik yang disebut hymenoplasty berkembang di Jepang untuk membantu banyak gadis yang sudah sering melakukan hubungan seks.
Meski para dokter yang mempraktikkan hymenoplasty ini beralasan bahwa etika rekonstruksi selaput dara ini bisa dibandingkan dengan bedah plastik, pendapat ini tidaklah ilmiah.
Tindakan bedah plastik dilakukan pada bagian tubuh seperti wajah atau payudara dan tidak terkait dengan mitos. Para dokter diharapkan mempunyai tanggungjawab moral guna menghapus mitos yang menyesatkan dan tak bermanfaat.
Dengan begitu, tindakan peniruan selaput dara atau hymenoplasty pada gadis yang sudah tidak perawan hanyalah akan menjadi upaya memelihara, mengabadikan mitos tentang selaput dara dan keperawanan.
Baca Juga : Parah, Seorang Ibu Terciduk Jual Keperawanan Anaknya ke Pedofil Seharga Rp 350 Juta!