Advertorial
Intisari-Online.com -Kabar pernikahan Syahrini dan Reino Barack semakin ramai diperbincangkan. Keduanya dikabarkan akan menikah di Jepang pada 26 atau 27 Februari 2019.
Hal ini merujuk pada pernyataanImam Besar Masjid Istiqlal, KH Nasaruddin Umar.
Meski tak secara eksplisit, KH Nasaruddin dianggap mengisyaratkan kabar pernikahan Syahrini dan Reino Barack.
"Feeling saya, Insya Allah (Reino Barack dan Syahrini) menikah," kata KH Nasaruddin Umar, seperti dikutip Intisari-Online dari Grid.ID, Jumat (22/2/2019).
Baca Juga : Syahrini dan Reino Barack Dikabarkan Menikah di Jepang: Ini Alasan Jepang Jadi Tempat Terbaik Untuk Menikah
"Saya diundang ke Jepang oleh Pak Rosano Barack. Kebetulan saya bersahabat baik dengan Pak Rosano, ayahnya Reino Barack," tambah KH Nasaruddin.
Jika kabar tersebut benar, maka Syahrini akan mengikuti jejakMaia Estianty dan Irwan Mussry yang juga melangsungkan pernikahan di Jepang.
Syahrini dan Reino juga akan mengikuti jejak beberapa selebritas lain yang memilih menikah di luar negeri seperti pasanganNia Zulkarnaen - Ari Sihasale,Titi Kamal - Christian Sugiono, atauRima Melati Adams - Marcell Siahaan.
Tentu ada berbagai alasan para selebritas tersebut menikah di luar negeri, namun yang jelas menikah di luar negeri bisa berakhir pada masalah perkawinan jikaluput melakukan prosedur administrasi ini.
Prosedur yang dimaksud adalah membuat laporan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) atau kantor perwakilan Indonesia di negara yang akan menjadi lokasi pernikahan.
Hal ini merujuk pada pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa ada dua tugas yang harus dilakukan oleh pasangan WNI yang ingin melakukan pernikahan di luar negeri.
Pertama, melakukan pencatatan pernikahan tersebut di instansi berwenang di negara tempat pernikahan berlangsung.
Jika memang instansi tersebut tidak ada, maka pencatatan dapat dilakukan oleh perwakilan Indonesia di negara tersebut.
Tugas kedua adalah melaporkan pernikahan tersebut ke perwakilan Indonesia di negara tersebut, dalam hal ini adalah KBRI.
Sementara itu, dalam pasal 56 Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan yang berlangsung di luar negeri oleh dua orang WNI atau seorang WNI dan dan seorang WNA, dapat dinyatakan sah di mata hukum jika dilakukan sesuai hukum perkawinan yang berlaku di negara tempat pernikahan berlangsung.
Serta, khusus untuk WNI, tidak melanggar UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia.
Baca Juga : Ingin Pernikahan yang Langgeng? Menikahlah dengan Orang yang Bisa Bikin Anda Tertawa
Pasangan yang menikah tersebut juga wajib untuk melaporkan pernikahan yang mereka lakukan sekembalinya ke Indonesia.
Caranya dengan membawa surat bukti perkawinan mereka ke Kantor Pencatatan Perkawinan di tempat tinggal mereka untuk didaftarkan.
Pasal ini, secara tidak langsung juga menyebut tentang kewajiban pelaporan ke perwakilan Indonesia.
Dalam pasal 70-73 Peraturan Presiden nomor 25 tahun 2008 tentangPersyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, ditegaskan pula tentang pelaporan ke KBRI atau kantor perwakilan Indonesia.
Pasangan WNI harus membawa dokumen dokumen, yaitu: bukti pencatatan perkawinan atau akta perkawinan di negara setempat, paspor Republik Indonesia, dan/atau KTP suami isteri.
Kelak, laporan ini akan dicatat dalam Daftar Perkawinan WNI untuk kemudian pasangan diberi surat bukti pencatatn perkawinan.
Nah, dokumen inilah yang menjadi salah satu berkas yang harus dibawa saat melapor ke Kantor Catatan Sipil setelah pasangan tersebut kembali ke Indonesia.
Itu aturannya. Tentu ada dampaknya jika aturan tersebut dilanggar.
Sebuah putusan Mahkamah Agung tertanggal 27 Juni 2013 bisa menjadi rujukan.
Baca Juga : Percayalah, Pernikahan Tak Cukup Hanya Modal Cinta, Sikap Ini yang Lebih Penting
Putusan tersebut mengungkap pasangan suami isteri yang menikah di Hong Kong pada akhir Januari 1993.
Pernikahan tersebut memang tercatat dan terbukti lewat Akta Perkawinan yang diterbitkan pejabat setempat.
Sekembali ke Indonesia, pasangan tersebut tinggal di salah satu kota di Jawa Tengah dan di kemudian hari melahirkan dua orang anak.
Suatu waktu, keduanya ingin meminta penetapan pengadilan mengenai keabsahan dari pernikahan mereka untuk mengubah akta kelahiran kedua anak mereka.
Hanya saja, ternyata permohonan tersebut tidak dapat dikabulkan.
Mahkamah Agung menolak karena pernikahan tersebut tidak dilaporkan ke Perwakilan Republik Indonesia sesuai ketentuan Pasal 37 ayat (2) UU Administrasi Kependudukan.
Anak yang akhirnya jadi "korban".
Baca Juga : Apakah Anda Akan Bahagia dengan Pernikahan Anda? Gen Anda Bisa Menjawabnya