Advertorial
Intisari-Online.com – Melihat ogoh-ogoh, yang terbayang adalah sosok menyeramkan.
la memang simbol kekuatan jahat yang hendak "ditenangkan" ketika menyambut datangnya Hari Raya Nyepi.
Kini, dengan sentuhan kreativitas, ogoh-ogoh menjadi tontonan menarik. Bahkan, dilombakan.
Iring-iringan itu terdiri atas dua kelompok. Yang pertama, rombongan Arjuna yang sedang duduk di singgasana, yang diusung oleh tak kurang dari 20 orang berkaos oranye, serta mengenakan udeng atau destar (ikat kepala khas Bali) putih dan kamen (kain bawahan) bermotif poleng (hitam-putih seperti papan catur).
(Baca juga: (Foto) Ada Pesan Mengharukan dari Sang Ibu di Balik Foto-foto 'Menyeramkan' Putra Kecilnya Ini)
Di belakangnya, kelompok Raksasa Nitikawaca yang juga dipikul oleh lebih dari 20 pengusung dengan seragam yang sama. Kedua kelompok berjalan biasa seakan tak terjadi permusuhan.
Namun, dengan tiba-tiba pengusung Arjuna berbalik arah. Keduanya kini saling berhadapan. Sang Arjuna memperlihatkan karakter kesatrianya, sementara Nitikawaca dengan angkuh menunjukkan sosoknya yang raksasa dan menakutkan.
Sang Kesatria lalu memperagakan gerakan-gerakan siap berperang. Di sisi lain, Nitikawaca diusung berputar-putar dengan cepat hingga menciptakan adegan dramatis sesosok raksasa jahat yang sedang mengamuk.
Jeritan-jeritan "kemarahan" dari para pengusungnya membuat suasana semakin menyeramkan. Tiba-tiba Sang Arjuna mencabut sebatang panah dan melontarkannya dari busumya.
Sang raksasa yang menjadi sasaran segera terhuyung-huyung ke belakang, ditimpali teriakan "kesakitan" dari para pengusungnya.
Itulah adegan peperangan antara Arjuna dan Nitikawaca yang terjadi tahun 2003 di areal Parkir Timur Senayan. Lo? Tak perlu bingung. Adegan tadi hanyalah bagian dari kirab ogoh-ogoh yang dipertunjukkan seusai Upacara Tawur Agung Kesanga (upacara menjelang umat Hindu memasuki Hari Raya Nyepi).
Pertunjukan itu diambil dari penggalan kisah Arjuna Wiwaha dan dibawakan oleh warga Hindu dari Banjar Bekasi.
Meski adegan tersebut ditampilkan dalam pawai ogoh-ogoh, kelompok ogoh-ogoh dari Banjar Bekasi ini tampil beda. Sang Arjuna diperankan oleh orang, sedangkan ogoh-ogohnya adalah Si Raksasa Nitikawaca.
(Baca juga: Kisah Paranormal ‘Pengambil’ Harta Karun: Perang Batin Jika Harta Itu Tidak Boleh Diambil oleh Si Penunggu)
Umumnya, orang tak dilibatkan sebagai bagian dari ogoh-ogoh. Kelompok ini juga diiringi gamelan bali belaganjuran.
Simbol si butha kala
Ogoh-ogoh sebenarnya sebutan untuk boneka berukuran raksasa simbol bhuto kala, yang biasanya menyertai rangkaian upacara Tawur Agung Kesanga di berbagai tempat di Indonesia.
Secara filosofis bhuta kala sendiri dapat diartikan sebagai kekuatan atau energi yang ada di sekitar kehidupan kita dan berpengaruh negatif terhadap manusia.
Sebagai kekuatan yang berpengaruh negatif terhadap manusia, bhuta kala disimbolkan sebagai makhluk yang menakutkan.
Sosok itu kemudian diwujudkan dalam bentuk ogoh-ogoh berupa boneka raksasa bertampang seram seperti berwajah merah atau hitam, bertaring tajam, mata melotot keluar, berkuku panjang, dan sebagainya.
Kemunculannya memang baru sekitar dua dasawarsa belakangan, kira-kira sejak tahun 1980-an. Ogoh-ogoh "lahir" sebagai hasil kreativitas anak-anak muda di Bali untuk memeriahkan penyambutan datangnya Tahun Baru Saka.
Dalam perkembangannya ternyata muncul "ketagihan" membuat ogoh-ogoh setiap menjelang Nyepi. Maka, ogoh-ogoh pun menjadi bagian tak terpisahkan dalam setiap upacara Tawur Agung Kesanga.
Dalam ajaran Hindu, Upacara Tawur Agung Kesanga termasuk jenis upacara Bhuta Yadna, yaitu upacara pengorbanan dari manusia untuk kekuatan jahat agar alam semesta ini tetap lestari dan harmonis.
Diharapkan, kekuatan-kekuatan bhuta kala, baik yang ada di dalam diri maupun lingkungan kita, tidak mengganggu umat manusia yang keesokan harinya, di Hari Raya Nyepi, melaksanakan brata penyepian.
Boneka ogoh-ogoh dibuat dari berbagai bahan ringan, seperti kayu, bambu, kertas, spon, cat, kain, dan sebagainya. Kayu digunakan sebagai kerangka dasarnya dan bambu digunakan kerangka pembentuk tubuh.
Dipilihnya bambu sebagai kerangka pembentuk tubuh karena bambu mempunyai sifat mudah dibentuk, ringan, dan lentur, namun cukup kuat. Bahan yang lentur ini dibutuhkan agar pada saat diusung bagian tangan dan kaki ogoh-ogoh dapat bergerak-gerak, seperti hidup.
Kemudian kerangka itu dibalut dengan kertas atau spon. Pada tahap ini muka sang ogoh-ogoh juga mulai dibentuk. Kulit dan ekspresi wajah ogoh-ogoh kemudian dicat sesuai dengan warna yang diinginkan.
Setelah cat kering, boneka raksasa ini dipasangi kain sebagai "pakaiannya" dan asesoris-asesoris untuk bagian-bagian tubuh lainnya, seperti rambut, kuku, gigi, dan sebagainya. Untuk mengusungnya dibuatkan rangkaian batang-batang bambu yang diatur saling menyilang dan diikat menggunakan tali.
Rangkaian bambu berbentuk bujursangkar inilah yang menjadi pegangan bagi puluhan orang yang mengusungnya.
Kini, ogoh-ogoh sudah dipawaikan atau dilombakan seperti yang terjadi di areal Parkir Timur Senayan. Bahkan, di Bali pawai ogoh-ogoh sudah menjadi salah satu bentuk atraksi wisata bagi turis mancanegara.
Karena itu, demi menampilkan sebuah tontonan yang menarik, kehadiran ogoh-ogoh pun disertai pengiring yang juga menarik.
Dilengkapi pembangkit listrik
Dalam lomba tadi, satu kelompok ogoh-ogoh secara garis besar terdiri atas tiga formasi. Formasi pertama terdiri atas pembawa papan nama banjar, penari, pembawa obor, atau pembawa panji-panji identitas banjar.
Formasi kedua, ogoh-ogoh itu sendiri yang diusung oleh 20 – 30 orang. Yang terakhir, para penabuh belaganjuran. Di samping pengaturan formasi, sinopsis cerita tentang ogoh-ogoh yang ditampilkan dan aransemen belaganjuran juga merupakan bagian yang dinilai oleh panitia lomba.
Sosok jahat yang di-ogoh-ogohkan juga beragam. Ada tujuh sosok menakutkan yang ditampilkan. Namanya pun diambil dari tokoh-tokoh jahat dari cerita-cerita klasik Hindu. Selain Raksasa Nitikawaca dari Banjar Bekasi yang juga diangkat dari cerita Arjuna Wiwaha.
Ada pula Raksasa Kalamomo Simuka dari Banjar Jakarta Utara yang diangkat dari cerita Arjuna Wiwaha. Ada pula Raksasi (raksasa perempuan) Rangda Girah dari Banjar Jakarta Barat yang diangkat dari cerita Calon Arang pada zaman Raja Erlangga.
Ogoh-ogoh bemama Kalamomo Simamuka menggambarkan raksasa berkepala babi. Ogoh-ogoh ini menarik perhatian karena badannya condong ke depan sekitar 35° dari pangkal kakinya.
Kedua tangannya di depan muka seperti hendak menerkam "sesuatu" di depannya. Dengan posisi seperti itu maka berat badannya sepenuhnya menggantung ke depan.
Diperlukan teknik khusus pada pangkal kaki sebagai tumpuannya agar mampu menahan berat badan sang ogoh-ogoh itu agar tidak "ambruk ke depan".
Ogoh-ogoh bemama Rangda Girah, menggambarkan raksasa perempuan yang sedang berjingkrak. Kedua tangan terentang ke samping menghadap ke bawah dan kaki kanan diangkat.
Ogoh-ogoh Rangda Girah diangkat dari kisah Calon Arang, yaitu wanita jahat pada zaman kerajaan Erlangga yang menyebarkan tenung sehingga banyak rakyat yang sakit dan meninggal.
la kemudian dikalahkan oleh Empu Baradah, dan keadaan kerajaan kembali tenang. Karena pawai ogoh-ogoh baru digelar saat malam mulai datang, beberapa ogoh-ogoh dilengkapi dengan lampu sorot, seperti pada ogoh-ogoh dari Banjar Jakarta Timur dan Jakarta Barat.
Tujuannya, tentu saja agar ogoh-ogoh mereka tampak lebih menarik pada malam hari. Untuk menghidupkan lampu-lampu hias dan lampu sorot tersebut tidak cukup dengan menggunakan tenaga aki mobil.
Beberapa ogoh-ogoh seperti yang dari Banjar Bekasi, Banjar Jakarta Timur, dan Banjar Jakarta Barat dilengkapi dengan pembangkit listrik kecil bertenaga diesel. Mesin ini diletakkan di bagian bawah ogoh-ogoh dan tertutup oleh pakaiannya, sehingga tidak tampak dari luar.
la juga harus diikat kuat-kuat agar tidak lepas saat ogoh-ogoh diguncang-guncang oleh pengusungnya. Bagaimana dengan suara bisingnya yang mungkin akan mengganggu suasana?
Ternyata gemuruh suara mesin diesel tetap kalah dengan teriakan yel-yel dari para pengusung dan irama gamelan belaganjuran.
Begitulah ogoh-ogoh. Simbol angkara murka yang menyeramkan itu telah dijadikan ajang beradu kreativitas. Dari yang semula untuk memeriahkan penyambutan Hari Raya Nyepi kini menjadi karya seni yang diperlombakan.
(Ditulis oleh Budiana Setiawan. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 2004)
(Baca juga: Terkenal Sebagai Pasukan Khusus Kelas Dunia, Navy SEAL Ternyata Babak Belur Oleh Viet Cong)