Secepat itu pula mereka sepakat untuk meninggalkan ungkapan yang baru saja mereka ciptakan beberapa bulan sebelumnya.
Dosen Fakultas llmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Dr. Maria Josephine K. Mantik menolak bahasa alay ini disebut sebagai bahasa dalam pengertian sebenarnya.
"Itu hanya bahasa dalam tanda kutip," katanya. Sebab, bahasa menuntut adanya kaidah.
Padahal, penutur alay tidak mengenal tata bahasa. Bahkan, sesama anak alay pun kadang tidak saling memahami.
Karena tidak adanya standar itu pulalah kita tak akan menemukan definisi standar tentang makna kata "alay" atau "lebay". Meminjam istilah remaja sekarang, "Lu ngerti sendirilah".
"Tata bahasa" yang bisa djumpai di dalam bahasa alay hanya kebiasaan-kebiasaan umum. Misalnya, mencampur aduk beberapa bahasa, menggunakan singkatan, kode, angka, dan tanda visual, serta adanya prinsip tahu sama tahu.
Justru ketiadaan aturan dan standar inilah yang menyebabkan bahasa alay sangat dinamis dan digemari remaja.
"Waktu saya memfotokopi buku bahasa alay ini, tukang fotokopinya minta satu," Stephanus Erman Bala, konsultan bahasa di Stemmare, menceritakan pengalaman lucunya saat menyiapkan materi seminar.
Peran media massa
Pada mulanya keunikan bahasa dunia digital berkembang karena keterbatasan ruang untuk menulis. Misalnya, Twitter membatasi 140 karakter, Facebook 240 karakter. Tapi belakangan penyebab utamanya bukan lagi perkara keterbatasan ruang tapi alasan untuk menegaskan identitas.
Merebaknya bahasa gaul dan alay tentu tak terlepas dari pengaruh media massa. Usi Karundeng, penyiar senior di TVRI, mengambil contoh merebaknya pemakaian kata "secara" sebagai kata sambung dengan makna sesuka hati penuturnya.
Misalnya, "Lu kok lama banget sih, secara gue udah habis kopi dua gelas.". Menurut Usi, yang pertama-tama berperan menyebarluaskan kekeliruan ini adalah stasiun-stasiun radio untuk anak muda.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR