Advertorial
Intisari-Online.com - Operasi CIA ke wilayah Amerika Latin dengan tujuan mencegah beredarnya narkotika sekaligus berkembangnya paham komunis ke AS bukan hanya dilaksanakan oleh para agen CIA tapi juga militer AS.
Salah satu operasi CIA yang kemudian berubah menjadi invasi militer adalah ketika CIA beroperasi di Panama antara tahun 1969-1991.
Tokoh yang kemudian direkrut CIA untuk menggalang kekuatan antikomunis di Panama adalah seorang perwira militer lulusan Akademi Militer Peru, Manuel Antonio Noriega.
Selain memiliki kontak dengan rekan-rekannya di Peru yang berpaham sosialis, Noriega juga merupakan orang kepercayaan pemimpin Panama National Guard, Jenderal Omar Torijos.
(Baca juga: 7 Desa Ini Tersembunyi di Tempat yang Tak Terbayangkan, Salah Satunya Ada di Kawah Gunung Berapi)
CIA sendiri memberikan pendidikan khusus kepada Noriega, kursus intelijen dan counterinteligence di School of America, US Army Base, yang berpangkalan di Fort Gulick (1967).
Selain kursus intelijen, Noriega juga mendapat pendidikan taktik perang urat syarat ( psychological operation) di Fort Bragg, North Carolina.
Pendidikan taktik perang urat syaraf ini akhirnya menjadi ironi saat AS, justru menggunakan taktik tempur itu untuk meringkus Noriega.
Oleh CIA, Noriega diandalkan menjadi agen yang bertugas membendung pengaruh komunis dari Kuba dan sekitarnya.
Tak hanya itu, Noriega yang dibayar mahal juga diandalkan untuk membongkar sindikat narkoba yang dipasarkan oleh kartel-kartel narkoba mulai dari Colombia, Nikaragua, dan Panama.
Untuk perannya sebagai antek CIA itu Noriega menerima bayaran lebih dari Rp10 milliar per tahun.
Noriega yang merasa mudah mendapatkan uang lalu malah menggunakan dana itu untuk menjalankan rencananya sendiri yang kemudian menjadi kontra produktif .
Pada bulan Oktober 1968, Torijos berhasil mengambil alih kekuasaan Presiden Panama. Arnulfo Arias, melalui kudeta militer.
(Baca juga: Hidup Borju dari Hasil Menipu: Menengok Kisah Hidup Angela Lee, Cak Budi, hingga Anniesa Hasibuan)
Aksi kudeta yang cukup berdarah itu tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari kalangan militer, khususnya militer konservatif .
Setahun kemudian kalangan militer konservatif berusaha menggulingkan Torijos.
Tapi upaya kudeta itu berhasil digagalkan oleh pasukan National Guard yang dimotori oleh Manuel Noriega.
Atas jasa dan loyalitasnya terhadap Torijos, Noriega lalu diangkat sebagai pimpinan tertinggi intelijen Panama dan berpangkat Letnan Kolonel.
Kedudukan itu membuat Noriega makin leluasa dalam menjalankan misinya sebagai agen CIA sekaligus membangun kontak dengan para kartel narkotik.
Sebagai agen CIA sekaligus perwira militer Panama yang kariernya terus menanjak, Noriega ternyata memiliki rencana tersendiri terhadap Panama.
Perdagangan narkotik yang makin menggila di seluruh wilayah Amerika Latin dimanfaatkan Noriega untuk menjadi agen ganda.
Noriega yang telah dibayar oleh CIA justru bekerjasama dengan kartel narkotik Amerika Latin.
Uang memang menjadi motivasi utama bagi Noriega untuk berperan sebagai agen ganda.
Sehingga selain menjadi double agent, Noriega juga mendapatkan penghasilan ganda.
Noriega secara diam-diam bahkan mengincar kekuasaan yang sedang dipegang oleh Omar Torijos.
Pada tahun 1981, Omar Torijos tewas dalam kecelakaan pesawat dan Noriega menjadi orang yang paling dicurigai sebagai dalang di balik tewasnya Torijos.
Setelah Torijos tewas, Noriega pun mulai memegang tampuk kekuasaan Panama.
Bulan Agustus 1983, Noriega memegang komando pasukan Garda Nasional dan kemudian mengubahnya menjadi Panama Defense Forces (PDF).
Tak berapa lama kemudian Noriega menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata Panama, menggantikan Jenderal Dario Pardedes.
Noriega yang mengangkat diri sebagai Jenderal kini menjadi satu-satunya orang yang memegang kendali PDF, khususnya untuk mengawal kekuasaannya sendiri.
Dengan mengangkat diri sebagai jenderal penuh, secara de facto, kekuasaan tertinggi Panama kini berada di tangan Noriega.
Sementara pada saat yang sama seiring dengan kekuasaan absolut Noriega di Panama, dana yang mengalir dari para kartel makin lancar.
CIA yang selama ini membina Noriega untuk menjadi agen antikomunis sekaligus mampu memerangi peredaran narkoba di seantero Amerika Latin merasa kecele.
Apalagi setelah makin berkuasa di Panama, Noriega selain menerima bayaran rutin dari CIA dan juga menerima bayaran dari sejumlah kartel narkoba dalam jumlah yang makin besar.
Tak hanya narkoba yang diperdagangkan Noriega di kawasan Amerika Latin, senjata-senjata yang kebanyakan diperoleh dari AS juga turut dijual.
Tokoh penyuplai senjata bagi Noriega adalah Letkol Oliver North. Senjata-senjata itu sebenarnya akan disalurkan ke Nikaragua untuk mendukung pemberontak antikomunis, Contra.
Tapi oleh Noriega senjata yang dikirim Oliver North ternyata dijual ke sejumlah kartel narkotik dan uangnya langsung masuk ke rekening pribadinya.
Pasukan AS yang bertempur untuk memerangi kartel narkoba sering terkejut karena menghadapi persenjataan yang sudah sangat dikenalnya.
Militer AS pun melakukan penyelidikan khusus terhadap peredaran senjata gelap di Panama.
Skandal penjualan senjata itu akhirnya terbongkar dan Letkol Oliver North harus berhadapan dengan Mahkamah Militer AS.
Sikap dan kebijakan CIA kepada Noriega pun berubah. Diam-diam CIA melakukan penyelidikan terhadap Noriega dan memperoleh bukti bahwa Noriega menerima transfer dari para kartel narkoba.
Melalui sepak terjangnya, Noriega yang bermuka dua juga menunjukkan sikapnya yang berani terang-terangan melawan AS.
CIA dan pemerintah AS pun mulai membuat rencana untuk meringkus Noriega.
Untuk itu CIA menempuh cara klasik, yakni dengan membangun kekuatan anti-Noriega di sejumlah elemen PDF.
Kekuatan PDF itu sangat diperlukan karena komandan militer AS yang selama ini bertugas di Panama tak punya hak sedikit pun untuk menangkap Noriega.
Tapi upaya pemberontakan yang dirancang CIA dan sejumlah elemen PDF ternyata gagal.
Noriega yang kemudian mencium upaya penggulingan kekuasaan terhadap dirinya akhirnya bertindak.
Untuk menunjukkan perlawanan terhadap AS, Noriega memerintahkan pasukan yang loyal terhadap dirinya, Noriega’s Dignity Battalions (DIGBAT) untuk mulai melakukan intimidasi terhadap warga AS yang berada di Panama.
Aksi militer yang sama sekali tidak diduga oleh CIA itu akhirnya memakan korban salah seorang personel AL AS dan sejumlah warga AS lainnya.
Mengetahui warganya yang berada di Panama terancam jiwanya, pemerintah AS akhirnya bertindak.
Untuk melindungi dan mengamankan kurang lebih 15.000 warga AS yang berada di Panama, militer AS lalu melancarkan perang psikologis, Operation Just Cause (1989).
Demi memberi efek kejutan kepada militer Panama, AS menerjunkan pasukan payung yang sangat terkenal semasa PD II, 82nd Airborne Division.
Pasukan elite ini dalam waktu singkat berhasil menguasai bandara internasional Panama, Torrijos.
Kehadiran pasukan AS dari udara itu betul-betul menimbulkan efek kejut karena pasukan Panama mengira serbuan pasukan AS akan berasal dari laut dan darat.
Strategi tempur dengan cara mengejutkan musuh dari udara yang juga pernah dipelajari oleh Noriega sewaktu belajar di Fort Bragg itu rupanya cukup berhasil.
Apalagi pasukan AS tidak mendapat perlawanan dari PDF secara maksimal karena sejumlah unsur PDF telah dilumpuhkan dengan himbauan untuk menyerah.
Akhirnya Pasukan DIGBAT dengan mudah dilumpuhkan oleh militer AS yang bersenjata lebih canggih.
Noriega sendiri kemudian berhasil diringkus dan diekstradisi ke AS bukan sebagai sosok penghianat terhadap CIA tetapi sebagai dalang penyelundupan narkotika (drug trafficking).
Setelah melalui proses pengadilan yang berlangsung berbulan-bulan, Noriega kemudian dijatuhi hukuman penjara selama 40 tahun di Florida, AS.
Noriega meninggal pada 29 Mei 2017 di usia 83 tahun dan dimakamkan di Panama City.
(Baca juga: Yang Konyol-Konyol di Perang Dunia II: Nazi Gelar Pesawat Palsu dari Kayu dan Sekutu Mengebomnya Dengan Bom Kayu)