Advertorial

Sejarah Kancing: Dari Hanya Sebagai Aksesoris Hingga Terbentuk Asosiasi Masyarakat Kancing

Mentari DP

Editor

Seperti apakah sejarah dari kancing baju , jauh sebelum berfungsi sebagai pengancing pakaian, kancing hanyalah aksesoris.
Seperti apakah sejarah dari kancing baju , jauh sebelum berfungsi sebagai pengancing pakaian, kancing hanyalah aksesoris.

Intisari-Online.com – Kancing ternyata sudah lama menjadi pelengkap busana manusia.

Di masa prasejarah kita memakai kancing dari tulang. Di zaman besi (± 1000 SM - 100) kancing terbuat dari lempengan besi bundar yang berlubang-lubang.

Kancing yang bahasa Inggrisnya adalah button mungkin berakar dari bahasa Prancis boutori artinya kuncup atau kenop, tapi bisa juga dari bouter atau mendorong sesuai dengan prinsip kerjanya.

Jauh sebelum berfungsi sebagai pengancing pakaian, kancing hanyalah aksesoris.

(Baca juga:Yang Kamu Lakukan Belum Ada Apa-apanya, Inilah Diet Paling Ekstrem dalam Sejarah)

(Baca juga:(Foto) Cantik! Beginilah Warna Asli Ikon-ikon Bersejarah ketika Pertama Kali Dibangun)

Contohnya, masyarakat Mesir pada 2500 SM hanya memakai emblem kancing sebagai kalung.

Demikian juga masyarakat Yunani dan Romawi, karena untuk mengatupkan busana mereka lebih menyukai tali, peniti, dan gesper.

Bahkan sampai abad XI, di Eropa kancing masih digunakan melulu sebagai hiasan.

Kancing baru digemari sebagai penutup pakaian di abad XIII, ketika muncul mode pakaian ketat. Bentuknya bisa bundar bisa juga gepeng.

Dengan sendirinya pula ditemukan teknik membuat lubang kancing. Sekitat abad XVl, kancing sudah menjadi barang umum bagi peradaban masyarakat saat itu. Setidaknya di Eropa.

Bahkan pada salah satu pakaian kebesaran Raja Francis I dari Prancis, disematkan 13.600 kancing emas!

Kalau orang-orang kaya biasanya menggunakan kancing emas atau perak yang bertatahkan batu permata, orang-orang lainnya "cukup" menggunakan lusinan kancing dari perunggu atau kayu, atau emas, perak, sampai batu mulia imitasi.

Pada abad XVI kancing mulai berkembang, adda yang dibungkus kain bersulam atau dari bahan keras seperti tulang, logam, mutiara, gading, dan batu-batuan.

Malah menjelang akhir abad XVIII, timbul demam mode kancing bergambar atau potret di Prancis.

(Baca juga:Skandal Seks Sepanjang Sejarah, Bahkan Ada yang Dilakukan secara Berjamaah)

Bila kancing potret menampilkan gambar tokoh terkenal, maka kancing bergambar sering dihiasi gambar pepohonan, bunga, atau pemandangan.

Setelah RevoLusi Prancis (1789 - 1799) gambar yang ditampilkan lebih patriotik, misalnya pahlawan perang dan bendera Prancis. Mengenakan kancing berslogan pun menjadi tradisi.

Setelah Revolusi Industri, kancing yang semula produk kerajinan tangan atau industri rumah tangga menjadi produk buatan masal.

Industri kancing itu pun makin mantap seiring dengan melonjaknya permintaan pada abad XVII.

Lain Eropa lain Amerika. Meski kancing kuningan telah diproduksi di Philadelphia sejak tahun 1750, industri kancing di Amerika baru berkembang pesat sejak tahun 1812, karena impor dari Eropa dihentikan.

Bahkan saat PD II AS memproduksi kancing yang dirancang bisa berkilauan dalam kegelapan karena masa itu listrik sering padam.

Setelah PD II industri kancing Amerika mengambil alih pasar yang semula dipasok oleh Eropa, bahkan melakukan ekspor.

Selama abad XX kancing bergambar atau slogan pun populer di pasar AS, terutama untuk kampanye politik.

Mengoleksi kancing jadi hobi yang sangat populer di AS. lima puluh ribu kolektornya biasa berlangganan kancing pada penyalur dan museum.

Malah mereka membentuk asosiasi Masyarakat Kancing Nasional segala.

Asosiasi nirlaba yang berdiri tahun 1938 itu bertugas mengklasifikasikan jenis-jenis kancing dan melakukan promosi agar hobinya itu kian populer.

Di Indonesia, sejauh ini belum terdengar ada asosiasi semacam itu. Barangkali Masyarakat Kancing Nasional AS masih harus mempopulerkannya dulu di sini. (Dari pelbagai sumber/Sht)

(Baca juga:Terilhami dari Lampu Lalu Lintas, Inilah Sejarah Kartu Merah yang Bikin Pemain Favorit Anda Diusir dari Lapangan)

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 1997)

Artikel Terkait