Advertorial
Intisari-Online.com - Sitti Nur (45) duduk bersama anaknya, Ramlah (4).
Di tangannya terdapat satu piring nasi dan garam.
Nasi tersebut ia campurkan dengan garam, kemudian ia menyuapi Ramlah.
Setiap hari, hanya nasi dicampur garam yang bisa Sitti berikan kepada anaknya.
(Baca juga: BPOM Nyatakan Albothyl Tidak Disarankan untuk Obat Sariawan, Inilah Alasannya)
Agar mudah menelan, biasanya Ramlah menggunakan air minum.
Setiap suapan yang masuk ke mulutnya, ia bantu dengan cara meminum air putih.
Sitti sebenarnya tak tega memberi anak semata wayangnya nasi campur garam tiap hari.
Apalagi Ramlah mengalami gangguan mental dan tak mampu berbicara.
Namun Sitti tak memiliki pilihan lain.
Setelah suaminya, Muhammad (42), meninggal empat tahun lalu karena sakit pencernaan, kehidupan Sitti semakin terpuruk.
Sitti pun mendadak menjadi tulang punggung keluarga.
Untuk menghidupi keluarga, ia menjadi tukang cuci karung terigu.
(Baca juga: Bukan Cuma Unik, Pergaulan Mama-Mama Jepang Juga Terkenal Sangat Kejam, Ini Kisahnya!)
Karung tang telah dicuci kemudian dijemur hingga kering.
Setelah itu disusun sebanyak 10 lembar dan digulung sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam karung besar.
"Satu karung terigu Rp50," ujar Sitti, warga Dusun Rea Kontara, Desa Rea, Kecamatan Binuang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, belum lama ini.
Dalam satu hari, sambung Sitti, ia bisa mencuci 100 karung. Itu artinya, uang yang diterima Sitti per harinya hanya Rp5.000 atau sangat kecil untuk hidup layak.
Itulah mengapa, ia hanya bisa memberi makan anaknya nasi campur garam.
Ia baru memberi Ramlah telur atau ikan, ketika menerima upah.
Jika upah tersebut telat diterima, Sitti dan anaknya harus puasa dan menahan lapar.
Untungnya, Ramlah tidak rewel dan meminta macam-macam.
Ia bahkan tidak minta jajan seperti anak-anak pada umumnya.
Bukan hanya itu, tempat yang ditinggali Siti dan anaknya jauh dari kata layak.
Ibu dan anak tersebut tinggal di kolong rumah warga.
Ukurannya sekitar 4x5 meter, beralaskan tanah, tidak ada perabotan apapun selain beberapa piring dan panci untuk memasak.
Ketika malam tiba, Sitti dan anaknya tidur beralaskan tanah yang dilapisi tikar plastik.
Beberapa helai pakaian yang ia cuci pun hanya digantung di dinding kamar, karena ia tidak memiliki lemari.
Kini, Sitti kerap sakit-sakitan. Namun ia tidak ingin menyerah, karena bagaimanapun sang anak sangat bergantung padanya.
Kepala Dusun Rea Kontara, Zulkifli menjelaskan, Sitti Nur merupakan warga pendatang di dusunnya.
Namun sejak tujuh tahun lalu, ia terdaftar sebagai warga Polewali Mandar yang sah.
Menurut Zulkifli, pemerintah desa dan warga setempat telah memberikan bantuan bangunan rumah layak huni.
Namun karena alasan keterdesakan biaya hidup, rumah milik Sitti Nur dijual setelah suaminya meninggal.
Sitti pernah mendapat raskin dari pemerintah. (Junaedi)
(Baca juga: Lolos dari Maut, 7 Foto Ini Tunjukkan Keajaiban Masih Memberi Seseorang Kesempatan Hidup Kedua)
Artikel ini sudah tayang di kompas.com dengan judul “Kisah Sitti, Numpang di Kolong Rumah dan Bertahan Hidup dengan Garam”