Advertorial
Intisari-Online.com – Serangan terhadap seorang romo di Yogyakarta baru-baru ini menambah daftar kelam hubungan antarumat beragama di Indonesia.
Sebab, tidak lama sebelum peristiwa tersebut terjadi pula serangan terhadap seorang ulama.
Banyak yang khawatir, aksi-aksi tersebut merupakan sebuah taktik devide ed impera alias politik adu domba.
Jika memang demikian, tulisan yang berusia hampir 20 tahun lalu ini rasanya masih sangat relevan untuk dibaca.
--
Akhir-akhir ini relasi antarmanusia di bumi Indonesia tampak semakin rapuh.
Rentetan kerusuhan berdarah mulai dari Situbondo, Jl. Ketapang - Jakarta, Kupang, Ambon, Sambas, serta yang secara sporadis terjadi di berbagai tempat lain, membuktikan hal itu.
Wajarlah, kalau banyak orang Eropa, Australia, Jepang, maupun Amerika sering bertanya, apakah orang Indonesia beradab? Apakah di negeri ini ada kerukunan dan perdamaian?
Mengapa di negeri subur itu banyak penjarahan, pembakaran, perseteruan?
Pertanyaan-pertanyaan tadi seolah merupakan representasi kritis dari buruknya relasi antarmanusia di bumi negeri.
Semua itu sangat memalukan, menyakitkan, sekaligus menakutkan.
Disadari atau tidak, selama tiga abad zaman penjajahan, khazanah mental orang-orang Indonesia telanjur dicekoki dan ditanami program paranoid.
Bahkan dalam tiga dasa warsa terakhir ini, mentalitas itu dipertegas lagi akibat ulah para elit penguasa yang tak lain adalah anak negeri sendiri.
Proses mental itu semakin merasuk secara sistematis lestari dengan cara yang populer disebut devide et impera.
Agaknya, proses penanaman mental tersebut masih terus berlangsung, sampai-sampai seorang bocah yang masih berusia enam tahun pun, tatkala berhadapan dengan konselor berkulit kuning yang sesungguhnya orang Indonesia juga, bertanya dengan sinis, "Bapak Cina, ya?!"
Sejenak si konselor terganggu oleh pertanyaan yang menohok itu. Tentu saja bukan lantaran isi pertanyaannya, melainkan justru merasa amat heran bagaimana bisa seorang bocah sudah memiliki benih-benih program mental yang begitu tajam mempersoalkan perbedaan ras?
Kalau mau jujur, barangkali memang tidak terlalu sulit untuk merasakan denyut program mental paranoid dalam khazanah jiwa nyaris setiap orang Indonesia.
Program itu terus-menerus bekerja sampai melahirkan "wicara dalam" atau dalam istilah Robert Gerzon disebut inner talk yaitu gagasan yang selalu bergaung dalam khazanah jiwa semisal, Dia Batak, sedangkan aku Jawa. Atau, Dia Kristen, sedangkan aku Islam.
Bisa pula berkembang varian inner talk lain yang masih terangkum dalam program mental yang sama. Contohnya, Dia warga kelompokku, dan mereka bukan warga kelompokku. Atau, Ini kita, dan itu bukan kita.
Tidak bisa dipungkiri, ingar bingar proses pemrograman mental paranoid itu pada suatu saat menyuburkan rasa saling curiga antarinsan penganut agama, antafsuku, antarras, dan antarkaum.
Bahkan pada akhirnya orang Indonesia sendiri sangat sulit mengatakan secara tulus tanpa beban, Kita orang Indonesia.
Sebaliknya, yang lebih gampang terucapkan adalah, Saya orang Cina, atau Aku orang Jawa, Saya orang Bugis, Beta orang Ambon, Aku Kristen, Aku Islam, dan seterusnya.
Kalimat-kalimat di atas mencerminkan betapa, berhasilnya taktik lapuk devide et impera, yang tidak cuma dipraktikkan kaum penjajah, melainkan juga dilakukan oleh anak negeri sendiri.
Nyaris tak ada lagi kebanggaan untuk mengatakan, Aku orang Indonesia! Sangat menyedihkan.
Nah, apakah relasi serba paranoid ini akan dibiarkan terus? Tentu tidak! Karena kalau dibiarkan, bangsa ini pasti akan bangkrut dan hancur berkeping-keping.
Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mencegahnya? Jawaban untuk pertanyaan itu beraneka ragam.
Banyak cara yang bisa dipakai untuk mengikis program mental paranoid. Salah satu yang dianggap penting adalah pembaruan model kepemimpinan.
Mengapa cara ini disebut penting? Pertama, karena fakta relasi antarinsan di bumi negeri ini masih bersifat paternalistik.
Kedua, masalah yang mau diatasi menyangkut mentalitas.
Seperti diketahui, program mental terjadi karena proses pendarahdagingan suatu sikap hidup secara otoritatif selama bertahun-tahun.
Oleh karena itu pengikisan program mental juga memerlukan daya otoritatif kepemimpinan.
Pembaruan model kepemimpinan bisa menjadi salah satu titik awal penting untuk pengikisan program mental lama yang sudah telanjur membelenggu.
Ada beberapa tipe kepemimpinan yang dikenal dalam peradaban sekarang ini. Dunia mengenal kepemimpinan Alfa dengan landasan kekuatan maskulin yang otoritatif.
Agaknya, taktik devide et impera yang berhasil menanamkan program mental paranoid secara otoritatif, bersumber pada kepemimpinan Alfa, baik semasa penjajahan maupun dalam tiga dasawarsa terakhir kehidupan bangsa Indonesia.
Selain itu dda pula tipe kepemimpinan Beta dengan landasan kekuatan feminin yang cenderung kooperatif.
Barangkali, pola kepemimpinan ini pernah berkembang pula dalam perjalanan hidup bangsa kita, setidaknya sebagai filospfi yang sedemikian menjunjung tinggi harmoni, keselarasan, dan ketenangan.
Namun, sejarah membuktikan, ingar bingar kepemimpinan Alfa berkembang terlalu dominan, sehingga mengalahkan kepemimpinan Beta yang cuma bisa berkutat di alam idealisme" tanpa bisa mengejawantah.
Lantas bagaimana?
Agaknya, kini dibutuhkan paradigma kepemimpinan pola lain. Bukan Alfa juga bukan Beta, melainkan kepemimpinan yang oleh Laurie Beth Jones disebut pola Omega.
Menurut Jones, kepemimpinan Omega memadukan secara arif dan harmonis gaya Alfa maupun gaya Beta.
Kepemimpinan Omega melampaui (mentransendensi) Alfa yang maskulin otoritatif maupun Beta yang feminin kooperatif.
Wujud konkret kepemimpinan Omega adalah rasa belas kasihan (compassion) dan empati dari para pemimpin terhadap sesama manusia, siapa pun.
Belas kasihan dan empati yang dipancarkan para pemimpin di tengah khalayak warga negara, akan mengikis program lama paranoid yang hanya mengakibatkan perpecahan, kecurigaan, serta perseteruan antarmanusia Indonesia.
Jones melukiskan rasa kasih dan empati seperti kata-kata yang diucapkan seseorang untuk sahabatnya yang sedang menderita sakit, "Aku harap bisa menyerap rasa sakitmu, sehingga rasa sakit itu akan pergi meninggalkanmu".
Empati dan belas kasihan juga diibaratkan sebagai keputusan dan tindakan seorang nahkoda kapal pengangkut pesawat yang mau menyediakan ruang untuk segelintir insan yang terancam kematian, karena pesawat terbang yang mereka tumpangi kehabisan bahan bakar.
la harus membuang banyak barang berharga di kapalnya ke laut, supaya kapal terbang naas itu bisa mendarat di kapalnya.
Indonesia yang paranoid membutuhkan pemimpin Omega yang penuh belas kasihan dan empati.
(dr. Limas Sutanto, DSJ, pengamat psikososial. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1999)
(Baca juga: Kesulitan Perbaiki Jet Tempur Kiriman Isreal, Para Teknisi TNI AU Terpaksa Gunakan Kepala Kerbau)