Advertorial
Intisari-Online.com – “Kita ‘kan sudah seperti kakak-adik. Mana mungkin aku tega merugikan kamu?” bilang Lutfi kepada Tirta di hadapannya.
Tetapi matanya menerawang jauh dan kedua lengannya dilipat di depan dada.
Tirta ingin sekali percaya. Matanya menatap lekat-lekat wajah Lutfi.
“Ya Lut. Cuma, margin 2,5% itu akan termakan oleh biaya operasional.”
BACA JUGA:Anak Miliarder Ini Disuruh Ayahnya Jadi Orang Miskin, Hanya Dibekali Uang Rp100 Ribu
Lutfi kini memandang langsung Tirta; kedua tangannya dilipat di depan wajah dengan siku bertumpu di atas meja.
“Zaman sekarang, dalam kondisi industri sedang lesu, 2,5% sudah bagus sekali. Terserah kamu sajalah. Aku sudah memikirkan yang terbaik untuk kamu.”
Tirta akhirnya bangun perlahan. Kedua bahunya lemas, “Sori, aku join lain kali saja.”
Ia beranjak keluar ruangan dengan langkah perlahan seperti prajurit kalah perang.
BACA JUGA:Jalan Sunyi Jenderal Hoegeng, Jalannya Para Pemberani
Bahasa tubuh Tirta menunjukkan ia ragu apakah keputusannya tepat.
Seandainya lebih cermat mengawasi bahasa tubuh Lutfi, ia pasti dapat pergi dengan dada membusung tanpa rasa sesal.
Sikap tubuh Lutfi yang mengaku “sudah seperti kakak-adik” tidak menampakkan kehangatan.
Juga tidak menampakkan keterbukaan dan kejujuran saat mengatakan, “Sudah memikirkan yang terbaik untuk kamu.”
Kemampuan membaca bahasa tubuh amat penting, tidak hanya dalam negosiasi bisnis; tetapi juga dalam berelasi dengan orang-orang tercinta.
Kemampuan dalam membaca bahasa tubuh sangat membantu di kala kita menentukan pilihan, dari calon pegawai, pacar, pasangan hidup, rekanan bisnis, sampai … presiden.
Mau tahu ilmunya?
Amatilah bayi, anak-anak, dan pasangan Anda sambil menimba ilmu dari buku, dan internet. (Lily Wibisono)
BACA JUGA:Kisah Bung Karno di Akhir Kekuasaan, Sekadar Minta Nasi Kecap Buat Sarapan pun Ditolak