Advertorial
Intisari-Online.com - Selama ini Julius Caesar lebih dikenal karena dua hal. Intrik politik dan kisah percintaannya dengan Ratu Mesir, Cleopatra.
Namun sebenarnya ia juga pantas disebut kampiun taktik perang pengepungan (siegewar) yang membuat Eropa dan sebagian Asia-Afrika tunduk kepadanya. Veni, vidi, vici.
Gaius Julius Caesar dilahirkan di kota Roma, 13 Juli 100 Sebelum Masehi (SM).
Kedua orang tuanya termasuk keluarga bangsawan Romawi yang cukup dihormati.
(Baca juga: Tusuk Konde Bu Tien, Rahasia Kewibawaan Pak Harto yang Perlu 'Ritual' Khusus untuk Mengambilnya)
Bapaknya yang juga punya nama Gaius Julius Caesar adalah hakim tertinggi Romawi dan menjabat konsul untuk propinsi Asia.
Dalam mitos soal darah birunya, Caesar dianggap masih keturunan d Pangeran Aeneas dari kerajaan Troya.
Tapi kisah tentang kerajaan Troya sampai saat ini masih dianggap cuma sebatas mitos.
Ketika Caesar lahir, Republik Romawi sedang berjaya dalam hal penguasaan wilayah dan tanah jajahan yang luas.
Apalagi saat itu mereka baru saja memenangkan perang melawan Cartago dalam Perang Punik II.
Namun harta rampasan yang melimpah dan wilayah yang tiba-tiba berkembang sangat luas, menjadi tak terkendali oleh senat yang awalnya hanya memerintah kota kecil bernama Roma.
Republik ini hancur lebur secara politik. Para elite politik saling berebut kekuasaan dan pemberontakan terjadi di mana-mana, bahkan di kota Roma sendiri.
Dalam kondisi negara yang demikian, Caesar tumbuh dewasa. Pada awalnya Caesar tidak terlihat sebagai orang yang ambisius.
(Baca juga: Gara-gara Telat Lakukan Ini, Puluhan Ribu Pasukan Jepang Mati Sia-sia saat Perang Dunia II)
Walaupun kadang bisa terlihat kasar bahkan kejam terhadap musuh, namun Caesar sangat santun jika berhubungan dengan orang sebangsa.
Oleh karena itu karirnya terlihat lambat , hingga ia berusia 42 tahun.
Ketika itu Caesar diangkat menjadi konsul dan membawahi tiga propinsi yaitu Cisalpine Gaul (bagian utara Italia), Illyricium (daerah pantai Yugoslavia) dan Narbanese Gaul (Perancis).
Saat itu Caesar membentuk triumvirat yang terdiri dari dirinya, Marcus Licinus Grassus dan Gnaeus Pompeius Magnus.
Triumvirat inilah sesungguhnya penguasa Romawi, walaupun masih ada Senat (semacam DPR) yang juga memegang kekusaan sentral.
Pada saat menjabat sebagai gubernur itu, Caesar hanya membawahi sekitar 20.000 prajurit dari berbagai divisi.
Padahal ia berambisi untuk memperluas daerah jajahan Romawi. Di antaranya akan menguasai daerah-daerah Belgia, Swiss, Jerman dan Belanda serta sisa-sisa tanah di Perancis yang masih dikuasai bangsa Galia.
Untunglah Caesar dikaruniai bakat sebagai mentor yang hebat. Ia terbiasa menggembleng pasukannya dengan sangat berat.
Di antaranya melakukan longmarch. Untuk mengangkat moral pasukan, dalam beberapa sesi perjalanan, Caesar memimpin pasukannya langsung.
Prinsip yang dipakai dalam melatih pasukannya adalah berlatih keras, bertempur dengan tenang (train hard, fight easy).
Caesar juga membentuk pasukan khusus terdiri dari 80 orang paling cakap yang diambil dari berbagai divisi.
Divisi baru ini diberi nama Legiun ke-10 (Legiun Xth). Pasukan inilah yang menjadi tulang punggung ketika Caesar menjalankan kampanye penyerbuan ke Spanyol pada tahun 61 SM.
Dengan latar belakang seperti itu, Caesar tidak berkecil hati ketika mengetahui pasukannya “Cuma” berkekuatan 20.000 prajurit.
Dengan pasukan yang ditulangpunggungi Legiun ke-10 itu, ia memulai menaklukkan daerah-daerah di sekitarnya.
Tahun 58-53 SM, Caesar tercatat berhasil menguasai Helvetii, Jerman, Belgia hingga ekspedisi ke Inggris.
Puncaknya adalah mengejar sisa-sisa pasukan Galia di bawah pimpinan Vercingetorix di Alesia pada tahun 52 SM.
Pertempuran di Alesia dicatat dalam sejarah emas kemahsyuran Julius Caesar.
Diperkirakan jumlah prajurit Romawi hanya 30.000-60.000. Sedangkan pasukan Galia berjumlah 80.000.
Namun posisi pasukan Romawi yang lebih terlatih adalah sebagai penyerang, sedangkan pasukan Galia bertahan di Alesia yang merupakan bukit yang dikelilingi sungai.
Walau terdesak, sebenarnya pasukan Galia dalam posisi yang menguntungkan karena berada di daerah lebih tinggi.
Mereka juga berbaur dengan penduduk setempat. Namun, di sinilah letak kepiawaian Caesar dalam taktik perang diuji.
Caesar sadar bahwa menyerang langsung adalah tidak mungkin. Mereka kalah jumlah dan kalah posisi.
Untuk membalikkan keadaan, ia berniat mengisolasi Alesia. Untuk itu ia memerintahkan pasukannya membuat tembok setinggi 4 meter mengelilingi bukit Alesia sepanjang 18 km.
Tembok Circumvallation ini juga diperkuat menara pengawas yang dilengkapi senjata artileri dan perangkap manusia dan hewan.
Di sisi luar tembok dibuat dua parit yang masing-masing selebar 4,5 m dan dalam 1,5 m serta dialiri air dari sungai di sekitarnya.
Semuanya dibangun hanya dalam waktu tiga minggu.
Akibat pengepungan ini, pasukan Galia sangat menderita. Mereka berebut makanan dengan penduduk sekitar.
Akibatnya sedikit demi sedikit moral mereka runtuh. Untuk menaikkan moral pasukan, secara sporadis Vercingetorix memerintahkan pasukannya untuk menyerang bagian-bagian yang terlihat lemah.
Sepasukan berkuda Galia terbukti bisa menerobos keluar dari kepungan dan memanggil bala bantuan dari suku-suku Galia yang lain.
Caesar terkejut dan khawatir atas hal ini sehingga memerintahkan pasukannya membuat tembok sekali lagi.
Tembok baru ini berada di belakang pasukan dan bersifat melindungi jika pasukan bantuan Galia datang.
Tembok Contravallation ini panjangnya mencapai 21 km. Namun dengan dibangunnya tembok ini, pasukan Romawi menghadapi dilema.
Yaitu menjadi pengepung namun sekaligus juga menjadi terkepung ketika sekitar 250.000 pasukan Galia di bawah pimpinan Commius datang.
Kondisi pasukan Romawi menjadi terjepit. Namun hasil penggemblengan Caesar terbukti ampuh.
Walau kalah jumlah, mereka bertahan dengan gigih. Pada saat kondisi kritis, Caesar membawa sekitar 6.000 pasukan berkuda menerobos pasukan Commius.
Gerakan berani dan tiba-tiba ini kontan menaikkan moral pasukan Romawi.
Di lain pihak, pasukan Commius lari tunggang langgang. Sedangkan pasukan Vercingetorix yang sebenarnya sudah kepayahan menjadi anjlok semangatnya.
Pada akhirnya, Vercingetorix sebagai komandan tertinggi pasukan Galia menyerahkan diri dengan terhormat pada bulan September 52 SM.
Kemenangan Caesar atas Galia melambungkan namanya di seantero Romawi.
Pada saat itulah timbul keinginan Caesar untuk memegang kekuasaan penuh dan tunggal atas Romawi.
Ia berkeinginan mengubah Republik Romawi menjadi Kekaisaran Romawi. Ia ingin disambut besar-besaran ketika kembali ke Roma.
Tentu saja keinginan ini ditentang oleh Senat dan dua kompatriotnya dalam triumvirat, Marcus Licinus Crassus dan Gnaeus Pompeius Magnus.
Caesar justru dilucuti kekuasaannya dan diharuskan masuk ke kota Roma sebagai orang biasa.
Caesar memberontak, karena jika ia masuk ke Roma tanpa pasukan, sama saja dengan bunuh diri.
Malam hari tanggal 10 Januari 49 SM, Caesar membawa pasukannya menuju kota Roma dengan menyeberang kota Rubicon.
Sejak itu dimulailah perang saudara selama kurang lebih empat tahun dan dimenangkan oleh Caesar.
Pada Oktober 45 SM, Caesar kembali memasuki Roma dan kali ini sebagai pemenang.
Walaupun organisasi Senat masih ada, Caesar menjelma menjadi ditaktor militer yang berkuasa penuh.
Intrik politik Caesar dengan Senat menjadi-jadi.
Puncaknya pada 15 Maret 44 SM, dalam suatu pertikaian sengit di Senat, Caesar dibunuh oleh dua anggota Senat Marcus Junius Brutus dan Gaius Cassius Longinus.
(Baca juga: Alat Bantu Kehidupan Putranya akan Dicabut RS, Pria Ini Berjuang Mati-matian karena Yakin Putranya akan Sembuh)