Advertorial
Intisari-Online.com – Pertengahan tahun 1853, seorang pendeta dari Dayton, Ohio, Amerika, mengunjungi sebuah perguruan tinggi kecil di pantai barat.
Ia menginap di rumah pimpinan perguruan tinggi tersebut, seorang dosen muda yang progresif ahli di bidang fisika dan kimia.
Kedatangan sang pendeta tidak disia-siakan oleh sang pimpinan perguruan tinggi.
Hari itu ia mengundang segenap staf di fakultasnya untuk makan siang bersama sang pendeta, agar mereka dapat menimba kebijaksanaan dan pengalamannya.
Setelah makan pembicaraan beralih ke masalah akhir zaman. Kita harus segera mempersiapkan datangnya akhir zaman.
Salah satu alasan untuk kesimpulan ini adalah kenyataan bahwa segala sesuatu dalam alam sudah ditentukan dan segala penemuan yang mungkin sudah terjadi.
Dengan santun sang pimpinan mengajukan keberatan. Menurut pendapatnya, katanya, justru sekarang ini umat manusia berada di ambang pintu penemuan-penemuan baru yang cemerlang.
Pendeta menantang pimpinan itu untuk menyebut satu contoh. Pimpinan mengatakan, dalam waktu lima puluh tahun yang akan datang, manusia dapat terbang.
Jawabannya membuat sang pendeta tertawa keras, “Omong kosong, kawan,” serunya, “Seandainya Allah menghendaki kita, manusia, dapat terbang, sudah tentu ia memberi kita sayap. Kemampuan terbang itu hanya untuk burung dan malaikat.”
Sayangnya perdebatan yang cukup seru itu tidak semuanya terceritakan.
(Baca juga:Tuhan Maha Besar! Anak Tukang Gali Kuburan Asal Kendal Ini Sukses Jadi Dokter dan Raih S3 di Jepang)
Yang jelas nama pendeta itu Wright. Ia memiliki dua anak bernama Orville dan Wilbur Wright.
Sejarah mencatat, pada tanggal 17 Desember 1903 kedua pemuda tadi berhasil mencipta dan menerbangkan pesawat terbang pertama di dunia.
Peristiwa itu terjadi persis 50 tahun setelah perdebatan di atas. (The prayer of the frog)