Dalam penerapan evaluasi psikologis yang lebih mendalam, dari aspek kepribadian bisa didapatkan gambaran mengenai kecenderungan menonjolkan diri, keinginan bergaul atau berteman, dan pemahaman terhadap orang lain.
Dari aspek sikap kerja, bisa diperoleh gambaran tentang hasrat berprestasi, keinginan membantu orang lain, kebutuhan terhadap keteraturan atau bimbingan dari atasan maupun orang lain.
(Baca juga: Ditolak Berkali-kali saat Melamar Kerja, Wanita Down Syndrome Ini Justru buka Toko Rotinya Sendiri)
(Baca juga: Aplikasi LinkedIn, Mudahkan 'Melamar Kerja' Secara Mobile)
Juga hasrat terhadap perubahan, kecenderungan mendominasi, kecenderungan agresivitas, dll.
Itulah sebabnya, walaupun telah hafal di luar kepala isi buku jimatnya, Aji baru lulus pada "tes" kelima.
Sebab buku itu sebenarnya hanya mengungkap satu aspek: aspek kecerdasan. Itu pun tidak secara akurat. Lalu kalau lolos, Aji belum tentu berhasil melewati tahapan seleksinya.
Harus "bebas budaya"
Metode, alat, atau perlengkapan untuk mengungkapkan aspek psikologis, selalu standar. Artinya, tidak dibuat dan disusun sembarangan karena hasilnya harus reliable, dapat dipercaya. Jadi, apa pun alat yang dipakai, hasilnya akan selalu ajek, sama.
Misalnya, bila seseorang dites dengan suatu alat tertentu, hasilnya menunjukkan tingkat kecerdasan oknum itu berada pada taraf rata-rata tinggi (high average). Bila dia dites lagi dengan alat berbeda, hasilnya tetap harus tinggi juga.
Hasil tersebut akan tetap selalu reliable, karena sebelum suatu tes go public (dipergunakan secara luas), harus mengalami rangkaian uji coba yang panjang dan akurat.
Suatu tes asal luar Indonesia, hams mengalami penyesuaian dan "penyelarasan" dengan sikon sosial-budaya Indonesia.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR