Advertorial
Intisari-Online.com – Pemerintah berencana mengimpor beras senilai Rp7 triliun.
Berita ini saya baca di koran beberapa bulan lalu.
Rencana pemerintah ini perlu kita cermati dari berbagai sisi.
Bukan hanya dari sisi kemandirian Indonesia sebagai negara agraris, tapi juga dari sisi kesehatan masyarakat.
(Baca juga: Tak Bisa Diam dan Gemar Lompat-lompat, Itu Pertanda Anak Anda Punya Kecerdasan Kinestetik Tinggi)
Memangnya apa hubungannya impor beras dengan kesehatan?
Kita tahu, sekalipun Indonesia kaya sumber karbohidrat seperti jagung, singkong, ubi, talas, dan umbi-umbian lainnya, beras tetap merupakan makanan pokok kita.
Belum dianggap “makan” kalau belum makan nasi. Dalam sehari, kita makan nasi tiga porsi nasi.
Karena pola pikir “nasi-minded” ini, tanpa sadar kita sering mengonsumsinya secara berlebihan.
Selama ini kita menganggap nasi adalah makanan yang boleh dikonsumsi bebas, tanpa perlu dihitung jumlahnya.
Kita menganggap, makanan yang perlu dibatasi konsumsinya hanya makanan berlemak dan berkolesterol tinggi.
Padahal, konsumsi nasi yang berlebihan pun bisa saja menyebabkan timbulnya penyakit. Jadi, efeknya bisa saja sama buruk dengan lemak dan kolesterol.
Nasi memiliki khas indeks glikemik yang tinggi. Indeks glikemik adalah ukuran yang menyatakan besarnya pengaruh suatu makanan terhadap peningkatan kadar gula darah.
(Baca juga: Saudara Kandungmu Adalah Orang Penting Dalam Hidupmu, Jangan Pernah Lupakan Itu)
Makin tinggi indeks glikemik, makin besar pula pengaruh makanan itu meningkatkan kadar gula darah.
Indeks glikemik ini penting karena berkaitan dengan penyakit diabetes.
Nasi memang membuat kita cepat kenyang dan bertenaga. Namun, belum tentu makanan ini selalu bagus untuk tubuh kita.
Jika dikonsumsi secara berlebihan, nasi bisa saja menimbulkan penyakit-penyakit metabolik seperti diabetes melitus, hipertrigliseridemia (lemak darah tinggi), perlemakan hati, dan penyakit jantung koroner (PJK).
Kok bisa? Bagaimana mungkin nasi menyebabkan penyakit yang berkaitan dengan lemak?
Jawabannya singkat: jika tubuh kita mengalami kelebihan karbohidrat, maka kelebihan karbohidrat itu bisa diubah menjadi lemak.
Jadi, sekalipun kita sudah membatasi konsumsi lemak, kita tetap saja bisa menderita lemak tinggi akibat nasi.
Agar terhindari dari penyakit-penyakit metabolik di atas, kita bisa melakukan beberapa langkah berikut:
* Lakukan diversifikasi pangan
Gantilah makanan pokok Anda dengan jenis pangan lain seperti ubi merah, singkong, talas, atau kentang.
Fungsi dari umbi-umbian ini sebenarnya mampu menggantikan fungsi nasi sebagai makanan pokok, dan kebetulan mudah didapat.
Dengan diversifikasi pangan, kita bisa memperoleh manfaat kesehatan sekaligus membantu mengurangi beban pemerintah mengimpor beras.
* Kurangi porsi nasi
Pernahkah Anda menghitung konsumsi beras Anda dalam setahun? Hampir bisa dipastikan banyak sekali, beberapa kuintal.
Salah satu cara untuk mengurangi konsumsi nasi adalah dengan mengurangi jumlah porsi nasi Anda.
Perbanyak sayuran yang tinggi serat atau buah yang bisa membuat Anda kenyang.
* Cobalah oatmeal
Cobalah ganti sarapan Anda dengan oatmeal atau havermut. Selain mengandung tinggi serat, oatmeal ini mampu mengurangi risiko PJK.
* Ganti dengan camilan sehat
Ketika Anda mulai mengurangi konsumsi nasi, Anda mungkin merasa cepat lapar.
Untuk mengatasi masalah ini, Anda bisa mengonsumsi camilan yang sehat seperti buah-buahan untuk mengatasi rasa lapar.
* Hindari makanan tinggi gula
Menghindari nasi bukan berarti Anda bisa bebas makan makanan yang tinggi gula seperti cokelat ataupun minuman bersoda.
Hindari jenis makanan bergula tinggi ini untuk mendapatkan manfaat kesehatan yang optimal.
* Berceritalah kepada yang lain
Berbagilah pengalaman Anda kepada teman-teman Anda agar manfaat yang Anda dapatkan juga bisa dirasakan oleh orang lain.
(Dr. Mohammad Caesario, seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 2012)
(Baca juga: Kisah Pilu Marina Chapman: Dibuang ke Hutan, Dirawat Kera, Lalu Dijadikan Budak Seks)