Advertorial
Intisari-Online.com - Dalam perjalanan sejarahnya TNI AU dikenal memiliki pilot-pilot tempur yang hebat dan terkenal nekat.
Salah satunya adalah Leo Wattimena.
Selain dikenal nekat dan berani saat menerbangkan pesawat, Leo juga merupakan sosok pilot tempur yang unik tapi sekaligus sangar.
Berbadan pendek dan kekar, dengan akar bahar melilit di tangan kiri sudah merupakan ciri khas Leo dalam kesehariannya.
(Baca juga: Perang Enam Hari, Mengingat Kembali Sejarah Jatuhnya Yerusalem ke Tangan Israel)
Di kalangan para sejawatnya, Leo dikenal sebagai seorang perwira AURI (TNI AU) yang sangat temperamental namun berhati lembut.
Aksi tindakan tegas berupa tempelengan dari tangan kekar Leo adalah senjata yang selalu dikeluarkan bila ada anak buah yang salah.
Tampak luar Leo memang galak, namun dari lubuk hatinya tercemin sifat kebapakan dan selalu membela anak buah.
Meskipun ringan tangan tetapi anak buahnya sangat menghormatinya dan tidak pernah ada anak buahnya yang terlambat dalam kenaikan pangkat.
Bila sering mendapat tempelengan berarti disayang begitu pendapat anak buahnya.
Tradisi menempeleng anak buah sebagai tanda ‘’kasih sayang’’ itu bahkan telah menjadi tradisi yang diturunkan ke kepada generasi muda TNI dalam kasus-kasus yang bersifat pelanggaran disiplin.
Seorang prajurit TNI yang ditempeleng akibat pelanggaran disiplin umumnya malah merasa ‘’bangga’’ karena atasannya telah ‘’menyayanginya’’ dengan cara menempeleng.
Tentu saja cara menempelengnya dengan kekuatan terukur dan ditujukan kepada prajurit-prajurit yang sudah terlatih.
(Baca juga: Jet Tempur F-15 C Ini Patah Jadi Dua Saat Terbang, Begini Nasib Pilotnya)
Demikian juga aksi tempelengan yang dilakukan oleh Leo, hanya bersifat teguran dan mendidik serta bukan pukulan yang bersifat mematikan.
Tidak heran, Leo yang dikenal sangat disiplin itu semasa masih muda sudah berpangkat Kolonel Udara.
Sebagai perwira muda tapi sekaligus perwira senior, Leo yang baru menginjak umur 34 tahun itu dipercaya untuk menjabat sebagai Wakil-II/Panglima Mandala berdasar Surat Keputusan No.1/tahun 1962 tertanggal 2 Januari 1962.
Surat keputusan yang ditandatangani sendiri oleh Presiden Soekarno dalam pembentukan Komando Mandala sebagai Komando Gabungan.
Sedang Panglima Mandala adalah Mayjen Soeharto dan Wakil-I Panglima adalah Kolonel Laut Subono dan Kolonel Achmad Taher sebagai Kepala Staf Gabungan.
Bukan itu saja jabatan Leo Wattimena dalam operasi Mandala, jabatan lain adalah sebagai Panglima AU Mandala merangkap sebagai Panglima Kohanudgab (Komando Pertahanan Udara Gabungan), organisasi yang baru dibentuk Presiden tanggal 9 Februari 1962.
Memang saat itu Leo cocok menempati jabatan dalam organisasi perang ini.
Selain memiliki bekal sebagai pilot tempur alumnus sekolah penerbangan Transocean Air Lines (Taloa) , California, AS itu juga baru saja menyelesaikan pendidikan di Inggris sebagai pilot pesawat jet Vampire.
Pengalaman pendidikan inilah yang kemudian melahirkan konsep Operasi Djajawidjaja yang diterapkan dalam operasi tempur memperebutkan Irian Barat (Papua) dari tangan Belanda.
Sebuah konsep strategi tempur yang kala itu dinilai masih baru dan sangat tidak disetujui perwira angkatan lain.
Tapi Leo berpendapat bahwa sebuah operasi militer apapun harus dilindungi oleh payung udara, oleh jet-jet tempur canggih, bukan semangat tempur semata yang dikedepankan.
Dari sinilah Leo sebagai Wakil-II Panglima menunjukan konsep peperangan yang baru.
Ia mengetengahkan bahwa operasi militer perebutan Irian Barat hanya dapat dilakukan bila Angkatan Udara dan Angkatan Laut telah memiliki kekuatan yang mampu dihadapkan kepada lawan.
Selain itu Leo juga menyarankan kekuatan militer yang kuat akan mendukung diplomasi yang dijalankan.
Dengan demikian bisa diperoleh waktu tentatif operasi adalah pertengahan tahun 1962 setelah alutsista dari Rusia masuk arsenal Indonesia.
Berbekal rencana operasi militer yang akademis inilah, sebelum operasi dijalankan Pemerintah telah menganugrahkan Bintang Sakti untuk Leo berdasar Keputusan Presiden nomor.372 tertanggal 1 Juni 1961.
Bintang Sakti ini juga dianugrahkan kepada Rusmin Nuryadin sebagai Penerbang Jet Pertama.
Koleganya yang bertugas di Komanda Mandala baru mendapat Bintang Sakti belakangan seperti Sudomo yang mendapatkannya pada tahun 1970 (Keppres No: 061/TK/1970 tertanggal 29 September 1970).
Sedangkan Panglima Mandala, yang juga Presiden RI malah lebih belakangan lagi yaitu pada tahun 1988 bersamaan dengan Penganugrahan Kehormatan sebagai Jenderal Besar berdasar Keppres No: 029/TK/1988 tertanggal 27 Mei 1988.
Leo memang istimewa, sebelum operasi dilaksanakan Bintang Sakti telah didapat sementara kebanyakan Bintang Sakti baru dianugrahkan setelah operasi berlangsung.
Selain itu selepas Irian Barat kembali ke RI Leo diangkat sebagai Panglima Kohanudnas merangkap sebagai anggota MPRS dengan bintang dua di pundaknya pada umur 35 tahun.
Namun, di masa Orde Baru, pilot tempur kelahiran Singkawang (3 Juli 1927) ini “tersingkir” ke Italia sebagai Duta Besar dan meninggal pada usia yang sangat muda yaitu 47 tahun.
Leo kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Dengan wafatnya Leo, terkubur pula kenangannya sebagai Perwira Tinggi pertama Indonesia yang menginjakkan kaki di Irian Barat.
Sekligus pilot tempur yang berani terbang di bawah kolong jembatan Ampera, Palembang, menggunakan jet tempur MiG-17.
(Baca juga: Demi Hancurkan 60 Ranpur Lawan, Pilot Tempur AURI Ini Nekat Jatuhkan Pesawatnya)