Advertorial

Ethel Rosenberg, Wanita Yahudi Miskin yang Harus Meregang Nyawa di Kursi Listrik Akibat Tuduhan AS

Ade Sulaeman

Editor

Intisari-Online.com - Ketika Perang Dingin berakhir klarifikasi soal sejauh mana keterlibatan Yulius menjadi makin jelas.

Setelah Uni Soviet bubar akibat gagalnya sistem komunis terjadi peristiwa yang sangat memukul AS.

Pemerintahan Rusia secara resmi memberikan bukti dokumentasi yang menunjukan bahwa Julius memang memberikan informasi rahasia militer kepada seorang agen KGB, Alexander Feklisov.

Dokumen ini juga menjelaskan, Julius dan Feklisov telah berhubungan sejak 1943 dan telah bertemu secara kontinyu sebanyak 50 kali.

(Baca juga: Meski Bukan Berdarah Yahudi, Levi Eshkol Nyatanya Pernah Menjadi PM Israel dan Disebut sebagai Bapak Pemersatu Bangsa)

Tapi menurut penegasan Alexander Feklisov, informasi yang selalu diberikan oleh Yulius bukan tentang rahasia pembuatan bom atom melainkan mengenai militer AS saja.

Feklisov bahkan menegaskan, Ethel sama sekali tidak terlibat dalam kegiatan mata-mata yang dilakukan Yulius.

Sementara itu seorang yang bernama Theodore Hall turut mengharu biru kontroversi.

Ilmuawan mantan pekerja di Proyek Manhattan itu, yang kemudian pindah ke Inggris karena selalu di kejar – kejar FBI, sebelum meninggal ternyata memberikan pernyataan yang sangat menghebohkan.

Hall mengklaim bahwa dirinyalah yang memberikan informasi tentang rahasia bom atom kepada Uni Soviet, bukan Yulius atau bahkan Ethel.

Menurut Hall, Ethel sama sekali tidak pantas untuk menjadi seorang mata – mata.

Secara sarkastik, Hall menggambarkan Ethel, “hanya seorang ibu rumah tangga miskin dan tinggal di kawasan terbelakang, Lower East Side, New York”.

Memoar yang ditulis Presiden Uni Soviet, Nikita Khrushchev, juga tak menjelaskan siapa orang yang telah membantu memberikan informasi tentang rahasia bom atom.

(Baca juga: (VIDEO) Profesor Norman G. Finkelstein, Yahudi Korban Holocaust yang Begitu Gigih Membela Palestina)

Khrushchev hanya menulis ungkapan “terima kasih” kepada para pembantu signifikan pembuat bom atom tanpa menyebut nama seorang pun.

Tahun 1995 atau setelah 42 tahun kontroversi berkecambuk, Badan Keamanan Nasional AS, akhirnya mengeluarkan dokumen Venona Project.

Dokumen itu berisi informasi yang berasal dari agen rusia dan KGB/NKVD serta menjelaskan seperti apa keterlibatan Yulius.

Dokumen ini menyebutkan, Yulius memang merupakan mata – mata yang ditanam Uni Soviet.

Tetapi ketika Uni Soviet menerima dokumen rahasia bom atom, informasi itu bukan berasal dari Yulius melaikan dari Klaus Fuch dan Doalnd Maclean.

Dokumen Venona Project juga menegaskan bahwa Ethel tidak bersalah.

Para pakar yang “lahir” pada generasi terkini pun turut terseret dalam arus kontroversi itu.

Mereka kemudian mencoba memberikan pernyataan berdasarkan rasionalitas.

Meurut mereka, pemahaman Yulius – Ethel dan David terhadap “ilmu” bom atom hanya sedikit.

Uni Soviet justru banyak mendapatkan informasi yang memungkinkan untuk membuat bom atom dalam waktu cepat dari Fuch dan Theodore Hall.

Dengan demikian info yang dimiliki Yulius – Ethel seharusnya tak membawanya ke kursi listrik.

Putra Yulius – Ethel, Robert dan Michael, yang kemudian mendirikan yayasan Rosenberg Fund for Children pada 1990, akhirnya turun tangan.

Keduanya rupanya tak mau terjebak dalam arus kontroversi yang seolah tak berujung itu.

Untuk memberikan tanggapan, mereka memilih menulis buku.

Dua buku yang mengisahkan pengalaman mereka, yakni We Are Your Sons : The Legacy of Ethel and Julius Rosenberg (1975) dan buku karangan Robert yang terbit pada 2004, An execution in the family: One son’s journey.

Kedua putra Yulius – Ethel itu pada prinsipnya tak mempercayai orangtuanya telah bersalah.

Menurut mereka kalau pun rahasia pembuatan bom atom memang diberikan kepada Uni Soviet, bukanlah dimaksudkan untuk mengkhianati AS.

Baik Robert maupun Michael berpendapat, informasi tentang rahasia bom atom ke Uni Soviet yang saat itu masih terlibat dalam PD II bukan untuk berperang melawan AS.

Melainkan sebagai upaya melawan musuh terbesar Uni Soviet dan sekaligus masyarakat Yahudi pada saat itu, Nazi Jerman.

Dengan semangat bahwa orangtua mereka tak bersalah, Robert-Michael akhirnya memilih berjuang lewat yayasannya.

Sebuah yayasan non profit dan bertujuan membantu anak – anak yang memiliki orang tua aktivis progresif serta sedang terlibat dalam kasus di pengadilan.

(Baca juga: ‘Yerusalem Milik Kami, Sebagai Orang Kristen, Yahudi dan Muslim. Orang Luar Tak Boleh Ikut Campur’)

Artikel Terkait