Adapun pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dinyatakan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Selasa (6/12/2017) dan langsung mendapat penolakan dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
(Baca juga: Ini yang akan Dilakukan Jokowi di KTT OKI dalam Menolak Langkah AS Terkait Yerusalem)
Tidak mengikat
Sidang darurat Majelis Umum PBB ini digelar atas permintaan dari Palestina dan mendapat dukungan dari sejumlah negara, menyusul langkah veto Amerika Serikat di Dewan Keamanan PBB.
Sehari sebelum sidang digelar, Amerika Serikat mengancam akan melakukan sanksi ekonomi kepada negara-negara anggota PBB yang bersuara berseberangan dengannya.
Resolusi PBB 377 yang terbit pada 1950 menjadi payung hukum penyelenggaraan sidang darurat Majelis Umum PBB dalam hal Dewan Keamanan PBB gagal membuat resolusi terkait perdamaian karena penggunaan hak veto.
Prosedur ini dikenal dengan sebutan "uniting for peace". Ketentuan lengkap mengenai prosedur ini dapat disimak lewat link https://www.un.org/en/ga/sessions/emergency.shtml.
Sayangnya, resolusi yang dihasilkan dari sidang darurat Majelis Umum PBB seperti ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Resolusi tersebut juga tak bisa memaksa penggunaan hukum internasional seperti bila resolusi dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB.
Namun, resolusi Dewan Keamanan PBB yang terbit pada 1980 terkait larangan bagi setiap negara untuk menggelar misi diplomatik di Yerusalem belum pernah dicabut.
Resolusi mengenai status akhir Yerusalem harus diputuskan lewat negosiasi langsung Palestina dan Israel—terbit pada 1967—juga masih berlaku.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR