Advertorial

Menjadi Pemberontak Positif dalam Sebuah Perusahaan pun Ada Aturan Mainnya Lho

Moh Habib Asyhad

Editor

Intisari-Online.com – Sebelum artikel ini dituliskan, saya sempat melakukan survei terhadap 48 orang leader di jejaring yang saya miliki.

Pertanyaan pertama yang saya lontarkan kepada mereka adalah, apa yang muncul pertama kali di pikiran saat mendengar kata “pemberontak di tim kerja?”

Tiga jawaban terbanyak adalah: “melelahkan”, “pembuat onar”, dan “musuh dalam selimut”.

(Baca juga:Enam Langkah Hindari Potensi Jadi Karyawan Beracun)

(Baca juga:Kenali Tujuh Karakter Dasar Karyawan Beracun)

Di antara jawaban-jawaban mayoritas yang lebih negatif artinya, ada juga yang menjawab “dinamis” dan “anti kemapanan”, walau tidak banyak.

Jawaban minoritas itu yang justru membuat saya tertarik untuk menelaah lebih jauh.

Pertanyaan kedua yang kemudian saya lontarkan adalah, “apakah Anda mau punya pemberontak di tim Anda?”.

Hanya 7 dari 48 leader tersebut yang menyatakan “mau”. Adakah yang bisa kita pelajari dari 7 orang leader tersebut, yang justru mau memiliki anggota tim yang pemberontak?

Berikut ini adalah hasil obrolan dengan kedua leader tersebut.

The Negative Conformity

Bila tidak ada pemberontak di tempat kerja, kemungkinan organisasi bisa lebih tidak dinamis menurut ketujuh leader tersebut.

Pemberontak tidak selalu dilihat dari sisi negatifnya. Mereka bisa men-challenge status quo yang ada di organisasi, yang sudah lama terjadi karena tidak ada yang berani men-challenge-nya.

(Baca juga:Revolusi Digital Tak terbendung, Perusahaan Ini Gaji Karyawannya Dengan Bitcoin)

(Baca juga:Solusi Bagus! Perusahaan Jepang Ini Berikan Cuti Tambahan 6 Hari Bagi Karyawan yang Mau Berhenti Merokok)

Mereka juga tidak sekadar ikut arus kelompok mayoritas. Konformitas bukan menjadi target bila tidak sesuai dengan pemikiran mereka.

Secara desain organisasi, pada umumnya karyawan memang diarahkan lebih mengikuti budaya perusahaan yang ada, code of conduct, job description, dsb.

Di satu sisi, tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Namun, apakah segala sesuatu yang sudah digariskan tersebut menjawab kebutuhan terkini dan tidak ada yang perlu di-update?

Para “pemberontak” tersebut bisa saja bertanya dengan kritisnya, mengapa budaya perusahaan yang ada seperti ini, mengapa SOPnya demikian, dan lain sebagainya.

Dengan pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut, bisa dijadikan ujian positif untuk tidak sekedar menerima kondisi yang ada secara apa adanya.

Bisa saja ada organisasi yang dulunya memiliki kebudayaan bahwa “work hard” dianggap yang paling baik, dan kemudian oleh para “pemberontak” tersebut dichallenge mengapa tidak “work smart”.

Atau “fixed working hours” yang juga dipertanyakan mengapa tidak “flexi hours”.

Berarti mereka ini bisa saja disebut sebagai “positive nonconformity”, yang memberikan dampak positif justru dari tidak ketidaklatahan mereka untuk sekedar mengikuti yang sudah ada, yang bisa men-challenge organisasi untuk menjadi lebih baik.

What’s The Goal

Keberadaan para “pemberontak” di dalam organisasi ini juga perlu dikaji dari tujuan berontaknya mereka.

Ada tiga tipe yang membedakan kualitas pemberontakannya mereka.

Tipe 1: Anti Mainstream

Berontak hanya sekadar tidak mau kalau sama dengan yang lain, yang hanya sekedar menunjukkan bahwa mereka berbeda.

Tipe pemberontak ini perlu ditantang lebih jauh, untuk mengajak mereka memikirkan alasan lebih jauh dari sekedar mau berbeda.

Siapa tahu sesudah ditantang lebih jauh, mereka bisa mengeluarkan ide-ide menarik yang juga berguna.

Tipe 2: Oposisi

Mengambil posisi berlawanan dan tidak menyetujui keputusan atau pendapat pihak yang dianggap “lawannya”.

Pada umumnya kondisi ini memang terlihat sebagai situasi konflik interpersonal, namun selama konflik yang terjadi masih bisa dimanage dengan baik dan bisa dikaitkan dengan konteks pekerjaan, kedinamisan organisasi masih bisa diperoleh.

Tipe 3: Apa Yang Terbaik

Menantang kondisi yang ada untuk mendapatkan yang terbaik, bukan sekadar mengikuti apa yang sudah ada.

Tipe inilah yang paling diharapkan untuk menantang status quo dan menciptakan progress.

Tantangannya adalah mencari titik temu dari apa yang dimaksudkan sebagai terbaik, sehingga lebih untuk kepentingan bersama dan bukan hanya sepihak.

(Baca juga:Masih Mahasiswa, Mohamad Faizal Sudah Punya 150 Karyawan dan Omzet Hampir Rp1 Miliar per Bulan)

(Baca juga:Jika Dihargai, Kontribusi Karyawan di Tempat Kerja bisa Mencapai 88 Persen)

Rules of The Game

Dengan penjelasan di atas, sebetulnya keberadaan “pemberontak” di organisasi ada manfaat positifnya selama:

  1. Dilakukan dengan alasan dan tujuan yang membuat organisasi menjadi lebih baik
  2. Didasarkan pada kepentingan bersama
  3. Tidak terjebak pada konflik interpersonal yang “toxic
  4. Menantang situasi dan kondisi yang ada dengan juga mengajukan usulan yang lebih baiknya apa
  5. Memperkaya perspektif yang ada
  6. Mendorong proses pembelajaran baru dengan melakukan “unlearn” terhadap sistem, prosedur, metode, atau mekanisme yang sudah ada
Selamat menjadi the positive rebel”!

(Ditulis oleh Alexander Sriewijono, Psychologist & the Founder of Daily Meaning. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 2016)

Artikel Terkait