Advertorial
Intisari-Online.com – Di Indonesia, catur termasuk olahraga yang lumayan populer. Di setiap sudut wilayah, kita dapat menjumpai orang bermain catur.
Entah untuk mengisi waktu, entah untuk mempererat pertemanan. Saat perayaan hari kemerdekaan, catur juga hampir pasti ikut dipertandingkan.
Selain persiapannya mudah, biaya murah, bisa diterapkan di lingkungan RT/RW, catur juga bisa dimainkan oleh siapa saja.
Bahkan bagi beberapa orang, olahraga otak ini punya gengsi tersendiri.
(Baca juga:Catur Brata Penyepian, Empat Pantangan Bagi Umat Hindu Saat Nyepi)
(Baca juga:Kode Rahasia Ini Akan Membantu Kita Bermain Catur di Facebook Messenger)
Gambaran seperti di atas tentu berbeda dengan masa olahraga ini saat pertama dimainkan.
Dahulu catur hanya dimainkan oleh para raja di istana. Makanya, kala itu catur sering disebut sebagai the royal game.
Soal negara asal catur, masih ada silang pendapat.
Menurut H.I.R. Murray, penulis buku A History of Chess (1913), catur berasal dari India dan mulai ada pada abad ke-6.
Di sana catur dikenal dengan nama chaturanga, yang artinya empat unsur yang terpisah.
Awalnya, buah catur memang hanya empat jenis.
Menurut mistisisme India kuno, catur dianggap mewakili alam semesta ini, sehingga sering dihubungkan dengan empat unsur kehidupan, yaitu api, udara, tanah, dan air.
Dalam permainannya, catur mewakili unsur-unsur yang dimiliki manusia dalam hidup, yakni kekuasaan, nafsu untuk mengalahkan, kelicikan, pengorbanan, rencana, risiko, strategi dalam menentukan langkah, dan banyak lagi pelajaran yang terkandung.
Namun, pendapat Murray itu dibantah Muhammad Ismail Sloan, yang banyak mempelajari sejarah catur.
(Baca juga:Sedih, Dikira Saling Cinta Ternyata Wanita Ini Menemukan Dirinya Hanya Korban 'Permainan')
(Baca juga:Dengan Pokeball Ini, Anda Bisa Menangkap Pokemon di Permainan Pokemon Go dengan Lebih Nyata)
Menurut Sloan, jika catur ditemukan di India, seharusnya permainan itu disebut-sebut dalam literatur-literatur Sanskrit.
Kenyataannya, tak ada satu pun literatur Sanskrit di India yang menyebutkan soal permainan catur sebelum abad ke-6.
Sebaliknya, para pujangga Cina sudah menyebutkan permainan ini dalam syair-syair mereka, 800 tahun sebelumnya.
Jadi, menurut Ismail Sloan, di Cinalah catur pertama kali dimainkan.Tapi pada waktu itu bentuk arena caturnya tidak kotak-kotak, melainkan bulat-bulat.
Buah caturnya juga hanya terdiri atas empat jenis, yaitu raja, benteng, ksatria (kuda), dan uskup (gajah).
Baru pada abad ke-6, catur dibawa orang Islam dari India dan Persia ke seluruh penjuru dunia.
Konon, di zaman kekhalifahan Ali bin AbuTholib, catur sering dimainkan. Bahkan mungkin juga oleh Khalifah Ali sendiri.
Khalifah Harun Al-Rasyid pun diketahui pemah menghadiahkan sebuah papan catur kepada seorang raja di Eropa, pendiri dinasti Carolia, yaitu Charlemagne.
Pada abad ke-8 ketika bangsa Moor menyebarkan Islam ke Spanyol, catur mulai menyebar ke daratan Eropa hingga sampai di Jerman, Italia, Belanda, Inggris, Irlandia, dan Rusia.
Di Nusantara, olahraga otak ini dibawa oleh bangsa Belanda pada waktu penjajahan dulu.
Awalnya, hanya orang Belanda yang bermain catur, tetapi menjelang kemerdekaan, mulailah banyak pribumi yang memainkannya.
Dalam sejarah catur, bangsa Eropa telah banyak mengembangkan permainan catur ini, antara lain dengan membuat papan caturnya berwarna hitam dan putih.
Ini terjadi kira-kira di abad ke-10. Sebelumnya, kotak-kotak itu berwarna sama.
Malah sering orang membuat arena permainan catur ini di atas pasir atau di mana saja yang bisa diberi garis.
Dari Eropa ini juga dibuat peraturan bahwa pion boleh maju dua kotak pada langkah pertama dan menteri (ratu) boleh bergerak lebih leluasa baik maju ke depan maupun diagonal.
(Baca juga:Gara-gara Makanan Ini Seorang Raja Harus Menyamar Jadi Rakyat Jelata untuk Menikmatinya)
Perlahan catur mengalami perubahan. Dari nama, bentuk, serta peraturan permainannya.
Kesemuanya itu mewakili simboi perubahan peradaban.
Dalam buku The Art of Chess (2002), Colleen Schafroth mengabadikan keanekaragaman bentuk papan dan buah catur di berbagai negara dari zaman ke zaman dalam bentuk foto dan lukisan. (Rina Nazrina)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 2007)