Advertorial
Intisari-Online.com - Selain menjanjikan negara merdeka bagi kaum Yahudi demi kepentingan perangnya, Inggris dan sekutunya juga menjanjikan kemerdekaan bagi Arab.
Janji yang ditebarkan agar negara-negara Arab mau memberikan bantuan untuk kepentingan perang itu memang diwujudkan.
Negara-negara Arab yang kemudian memperoleh kemerdekaannya antara lain Suriah, Libanon, dan Irak.
Tapi saat itu Inggris ternyata belum memberikan kemerdekaan bagi Palestina meskipun PD I sudah berakhir dan Inggris termasuk pihak yang menang perang.
(Baca juga: Luar Biasa! Bermodal Satu Tangan, Mantan Nelayan Ini Borong 5 Emas dan Pecahkan 3 Rekor ASEAN)
Pasca PD I, sebagai salah satu negara pemenang perang, Inggris bukannya keluar dari wilayah Palestina tapi malah makin bercokol kekuasaannya.
Liga Bangsa Bangsa (PBB) yang kemudian terbentuk bahkan memberikan mandat kepada Inggris untuk memerintah sementara wilayah Palestina dan segera melaksanakan Deklarasi Balfour.
Langkah Inggris untuk mendirikan negara bagi kaum Yahudi pun makin jelas.
Tapi pada saat itu warga Arab, yang sudah mulai tumbuh rasa nasionalismenya, khususnya Arab-Palestina ternyata sudah bereaksi lain.
Mereka mulai menentang pendirian negara bagi orang Yahudi mengingat warga Arab Palestina sendiri belum memiliki negara merdeka yang berdaulat.
Nasionalisme Arab yang saat itu mulai tumbuh di pusat kota Yerusalem juga telah memunculkan gerakan untuk menentang terbentuknya negara bagi kaum Yahudi.
Nasionalisme Arab tumbuh setelah munculnya negara-negara arab merdeka dan negara-negara Arab itu kemudian membentuk persatuan (Liga arab).
Mereka menyadari negara-negara Arab yang bersatu akan menjadi kekuatan yang menentukan di kawasan Timur Tengah baik secara politik maupun militer.
(Baca juga: Misteri Kubah Batu Yerusalem: Sumur Jiwa, Pusat Dunia, dan Tempat Disimpannya Tabut Perjanjian)
Sejumlah tokoh yang selalu mengobarkan pentingnya nasionalisme dan persatuan negara-negara Arab pun bermunculan.
Salah satu tokoh pergerakan nasionalisme Arab yang antipendirian negara Yahudi adalah Haj Amin el-Husseini.
Seorang tokoh berpengaruh yang kemudian menginspirasi pergerakan antinegara Yahudi berikutnya.
Berbagai kerusuhan anti-Yahudi pun pecah di Palestina dan kerap menimbulkan korban jiwa.
Aksi kerusuhan anti-Yahudi bahkan terus meningkat dan berlangsung hingga tahun 1936.
Akibat kerusuhan yang makin tak terkendali itu, Husseini lalu diasingkan oleh Inggris.
Tujuan pengasingan itu agar Husseini tidak memiliki pengaruh lagi di Palestina.
Tapi hingga kematiannya yang berlangsung pada tahun 1974, Husseini ternyata masih memiliki pengaruh dan para simpatisannya terus mengobarkan perlawanan anti-Yahudi di Palestina.
(Baca juga: Israel Pindahkan Ibukota ke Yerusalem, Tugas Pasukan PBB Asal Indonesia pun Makin Berat)
Mendapat perlawanan berupa gerakan anti-Yahudi yang kerap diwarnai kekerasan itu, warga Yahudi tidak tinggal diam.
Kelompok militan Yahudi pun membentuk organisasi perlawanan yang dinamai Irgun Hahaganah yang kemudian disingkat menjadi Haganah.
Organisasi Haganah yang lebih suka bicara dengan senjata itu pun membuat perseteruan gerakan anti-Yahudi dan Haganah makin memanas.
Mereka sering bentrok dan justru membuat masalah menjadi semakin rumit. Inggris pun tidak tinggal diam karena pasukannya juga makin kerepotan untuk mengatasi bentrokan bersenjata yang kerap menimbulkan korban jiwa itu.
Pada tahun 1937, Inggris membentuk komisi khusus untuk mencari solusi bagi warga Israel dan Arab Palestina.
Kesimpulan dari solusi yang dihasilkan Komisi Kerajaan Inggris itu sebenarnya sudah bisa ditebak.
Yakni, bahwa warga Yahudi dan warga Arab tidak mungkin hidup bersama-sama dalam satu wilayah.
Upaya untuk melaksanakan rekonsiliasi juga mustahil mengingat aspirasi nasionalisme masing-masing adalah memiliki negara yang merdeka.
Untuk mengatasi masalah pelik itu Komisi Kerajaan akhirnya memberikan rekomendasi untuk membagi wilayah Palestina menjadi dua negara.
(Baca juga: Perang Enam Hari, Mengingat Kembali Sejarah Jatuhnya Yerusalem ke Tangan Israel)