Yang pasti kami menampilkan berbagai makanan khas. Makanan tidak harus mewah, mahal, atau dijual di restoran besar. Yang penting bersih, sehat, memiliki kekhasan, dan enak. Intinya memang makanan khas rakyat.
Bukannya saya anti pizza atau burger, tetapi begitu banyak makanan khas Indonesia yang sehat dan enak.
Selain itu, saya melihat orang Indonesia tidak pernah melihat makanan sebagai bagian dari budaya. Orang makan yang penting bikin kenyang.
Padahal ada hubungan antara makanan dan budaya. Nah, saya ingin melalui Wisata Kuliner masyarakat lebih bisa memahami itu.
Bagaimana Anda bisa tertarik dengan bidang kuliner?
Semua berawal karena saya doyan makan dan hobi masak sejak muda. Misalnya, tiap jalan-jalan ke luar kota atau luar negeri saya selalu hunting tempat makan. Bahkan tak jarang saya ikut kursus memasak singkat saat di Bangkok, China, atau manapun.
Namun, saya tidak bisa disebut sebagai ahli kuliner atau food critics. Saya memang tak punya keahlian formal di bidang itu. Saya selalu menganggap diri saya sebagai food promotor, seperti halnya saya tampil di Wisata Kuliner.
Maksudnya supaya masyarakat jadi kenal, kepingin, dan ngiler untuk mencoba masakan yang saya tawarkan.
Tentu banyak pengalaman di balik syuting Wisata Kuliner yang padat, ya?
Benar. Suatu hari di sela syuting, saya naik taksi di Surabaya. Si sopir tiba-tiba bilang, ia sangat berterima kasih pada saya. Saya ‘kan, bingung. Ternyata ia adalah lulusan S1. Karena belum mendapat pekerjaan sesuai bidangnya, ia menjadi sopir taksi.
Kadang ia merasa malu karena hanya mampu makan makanan pinggir jalan. Padahal di Wisata Kuliner, saya malah kerap mempromosikan makanan-makanan khas yang ada di pinggir jalan.
Itulah yang membuatnya tak malu lagi makan makanan pinggir jalan. Ada juga beberapa pemilik rumah makan yang setelah masuk Wisata Kuliner, menjadi banyak dikunjungi tamu.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR