Advertorial

Kisah Seorang Sopir Taksi yang Sangat Berterima Kasih pada Bondan Winarno

Ade Sulaeman

Editor

Ada juga beberapa pemilik rumah makan yang setelah masuk Wisata Kuliner, menjadi banyak dikunjungi tamu.
Ada juga beberapa pemilik rumah makan yang setelah masuk Wisata Kuliner, menjadi banyak dikunjungi tamu.

Intisari-Online.com – Seiring digemarinya tayangan Wisata Kuliner, sang pembawa acara kian dikenal masyarakat.

Mulai anak kecil hingga orang dewasa. Ia pun sering disapa: Mak nyus!

(Baca juga: Kabar Duka, Bondan Winarno ‘Maknyus’ Tutup Usia)

Anda menggeluti bidang kuliner. Bagaimana muasalnya?

Sekitar Oktober 2000, Mas Ninok Leksono membuka Kompas Cyber Media (KCM). Dia meminta saya menulis kolom tentang pariwisata. Ya saya memang suka sekali traveling.

Tiap minggu saya menulis kolom tentang traveling. Ternyata dibandingkan tulisan saya yang lain, responsnya luar biasa.

Kolom itu saya namakan Jalansutra. Pendek cerita, suatu hari di Singapura saya menemukan buku berjudul Makansutra. Sutra, kan, berarti pengetahuan dan keterampilan. Artinya, itu buku pengetahuan tentang makan.

Wah, saya pikir menarik juga. Dari situ tercetus ide Jalansutra, yaitu pengetahuan tentang jalan-jalan.

Tiga bulan menulis Jalansutra, saya diminta menjadi pemimpin redaksi harian sore Suara Pembaruan. Lalu, saya tanya Mas Ninok, bagaimana nasib kolom Jalansutra di KCM.

Ternyata dia ingin tetap diteruskan. Akhirnya Jalansutra dimuat di Suara Pembaruan edisi Minggu dan KCM. Satu tahun menulis tentang perjalanan dan pariwisata, saya mulai melirik tentang kuliner.

Ternyata responsnya bertambah deras. Ya, akhirnya hingga sekarang Jalansutra lebih banyak mengupas cerita tentang kuliner.

(Baca juga: Makan, Makan, dan Makan Terus, Bagaimana Cara Bondan Winarno Bisa Tetap Sehat?)

Kalau tak salah Anda juga membentuk komunitas Jalansutra?

Ya. Karena respons yang demikian besar, tahun 2004 saya membentuk forum milis atau komunitas Jalansutra. Yaitu, sebuah komunitas yang peduli terhadap hal-hal yang berkaitan dengan boga dan budaya.

Semboyannya Sekali Jalan-jalan Terus Makan-Makan. Anggotanya bisa siapa saja dan sekarang sudah mencapai 6.600 orang. Banyak agenda acara kami, terutama jalan-jalan dan makan. Kami sempat mengadakan acara Heritage Food In Heritage City di Gedung Arsip Nasional.

Setelah itu tercetus ide membuat sesuatu yang sifatnya multimedia. Akhirnya lahir Bango Citarasa Nusantara (2005).

Saya keliling Indonesia selama setahun tiga bulan untuk mencicipi dan mempromosikan makanan-makanan khas berbagai daerah. Acara itu bertajuk Pusaka Kuliner Nusantara.

Kapan Anda mulai tampil di Wisata Kuliner?

Setelah Pusaka Kuliner Nusantara selesai, saya diminta membuat acara sendiri di TransTV bertajuk Wisata Kuliner. Di acara itu saya juga mempromosikan makanan-makanan khas Indonesia.

Saya dikontrak per tiga bulan. Syutingnya cukup padat, setiap Senin hingga Kamis, kadang Minggu juga. Program ini ‘kan, kejar tayang dan lokasi syuting banyak di luar kota. Saya jalani saja, tidak terlalu ngotot.

(Baca juga: Bondan Winarno Meninggal, Begini Ceritanya Bondan Menemukan Istilah Maknyus )

Apa yang ingin Anda sajikan?

Yang pasti kami menampilkan berbagai makanan khas. Makanan tidak harus mewah, mahal, atau dijual di restoran besar. Yang penting bersih, sehat, memiliki kekhasan, dan enak. Intinya memang makanan khas rakyat.

Bukannya saya anti pizza atau burger, tetapi begitu banyak makanan khas Indonesia yang sehat dan enak.

Selain itu, saya melihat orang Indonesia tidak pernah melihat makanan sebagai bagian dari budaya. Orang makan yang penting bikin kenyang.

Padahal ada hubungan antara makanan dan budaya. Nah, saya ingin melalui Wisata Kuliner masyarakat lebih bisa memahami itu.

Bagaimana Anda bisa tertarik dengan bidang kuliner?

Semua berawal karena saya doyan makan dan hobi masak sejak muda. Misalnya, tiap jalan-jalan ke luar kota atau luar negeri saya selalu hunting tempat makan. Bahkan tak jarang saya ikut kursus memasak singkat saat di Bangkok, China, atau manapun.

Namun, saya tidak bisa disebut sebagai ahli kuliner atau food critics. Saya memang tak punya keahlian formal di bidang itu. Saya selalu menganggap diri saya sebagai food promotor, seperti halnya saya tampil di Wisata Kuliner.

Maksudnya supaya masyarakat jadi kenal, kepingin, dan ngiler untuk mencoba masakan yang saya tawarkan.

Tentu banyak pengalaman di balik syuting Wisata Kuliner yang padat, ya?

Benar. Suatu hari di sela syuting, saya naik taksi di Surabaya. Si sopir tiba-tiba bilang, ia sangat berterima kasih pada saya. Saya ‘kan, bingung. Ternyata ia adalah lulusan S1. Karena belum mendapat pekerjaan sesuai bidangnya, ia menjadi sopir taksi.

Kadang ia merasa malu karena hanya mampu makan makanan pinggir jalan. Padahal di Wisata Kuliner, saya malah kerap mempromosikan makanan-makanan khas yang ada di pinggir jalan.

Itulah yang membuatnya tak malu lagi makan makanan pinggir jalan. Ada juga beberapa pemilik rumah makan yang setelah masuk Wisata Kuliner, menjadi banyak dikunjungi tamu.

Mereka telepon saya. Wah, bagi saya pengalaman seperti itu benar-benar mengharukan. Ternyata apa yang saya lakukan, ada artinya untuk mereka.

Bagaimana respons dari masyarakat ?

Saya sangat gembira, penggemar Wisata Kuliner ternyata datang dari berbagai lapisan dan profesi. Mulai dari anak usia dua tahun hingga orang tua. Bayangkan, setiap jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, ada saja anak-anak kecil yang ketika bertemu saya bilang: mak nyusss..Haha ha.

(Dalam tayangan Wisata Kuliner, Bondan memang sering berucap maknyus, untuk mengomentari kelezatan makanan yang dicicipi.)

Omong-omong sejak kecil apa Anda ingin jadi ahli kuliner?

Oh tidak. Sejak kecil saya hobi menulis. Di usia 10 tahun, saya memenangkan lomba mengarang di Majalah Si Kuncung. Saat SMP dan SMA ,tulisan saya dimuat di Harian Indonesia Raya, Angkatan Bersenjata, dan Majalah Varia.

Saya kemudian berpikir, memang inilah jalan hidup saya. Saya ingin menjadi penulis. Saat duduk di bangku kelas dua SMA saya ingin memilih bidang sosial budaya. Saya pun sudah bertekad masuk Fakultas Publisistik. Tetapi, saya malah masuk Arsitektur.

Kenapa begitu?

Ketika ibu tahu saya ingin jadi penulis, beliau malah menangis. Katanya, saya harus jadi dokter atau insinyur. Akhirnya, dengan ogah-ogahan saya daftar di Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro dan diterima.

Karena tidak minat, kuliah tidak saya selesaikan. Tahun 1970 saya malah nekat pindah ke Jakarta untuk bekerja.

Di mana Anda bekerja?

Saya sempat menjadi pegawai honorer di Dephankam dengan gaji Rp 2.500 perak. Lama-lama saya merasa bosan. Saya membutuhkan tantangan kerja yang lebih tinggi.

Lalu, saya masuki dunia periklanan. Tahun 1973 saya menjadi copywriter di sebuah agensi periklanan. Saya sempat wira-wiri di beberapa agensi periklanan sebagai creative director, account executive, hingga advertising manager di perusahaan Union Carbide.

Awal 1980an saya rindu dengan dunia tulis-menulis. Saya masuk ke Harian Sinar Harapan. Saya mendapat tugas mendirikan divisi penerbitan buku, yaitu Pustaka Sinar Harapan. Saya juga menjadi redaktur pelaksana Tabloid Mutiara yang banyak mengupas masalah lingkungan.

Tahun 1985, Goenawan Mohammad mengajak saya menjadi wakil pemimpin redaksi di majalah SWA. Entah bagaimana rencana Tuhan, tiba-tiba saya tertarik menekuni bidang bisnis.

Bisa ceritakan sepak terjang Anda berkarier di dunia bisnis?

Saat sedang di kantor SWA, saya kedatangan seorang tamu, yaitu Sutrisno Bachir. Beliau meminta saya membantu negosiasi bisnis hasil laut milik kakaknya, Kamaluddin Bachir, ke Jepang. Saya hanya sebagai penerjemah.

Singkat cerita, selanjutnya Kamaluddin malah meminta saya bekerja untuknya. Kami pun mulai berbisnis. Tak disangka, bisnis kami sukses hingga ke pasar Amerika. Saya kemudian mendirikan perusahaan hasil laut di Los Angeles dan tinggal di sana bersama istri dan tiga anak.

Kebetulan putri bungsu saya, Gwen, memang bercita-cita sekolah di Amerika. Sayang, setelah tiga tahun perusahaan kami kena tipu konsultan di Amerika. Kami sangat syok, sampai akhirnya Kamaluddin pun terkena serangan jantung dan meninggal.

Saya akhirnya kembali ke Tanah Air. Tahun 1998 saya menjadi konsultan di World Bank.

Selama berbisnis, bagaimana kegiatan menulis?

Saya tetap aktif di SWA. Lalu,sejak tahun 1984 menjadi penulis kolom KIAT setiap minggu di Majalah TEMPO dan sempat dihimpun dalam dua buku. Kegiatan ini berhenti Juni 1994 ketika TEMPO dibredel.

Saya juga menulis kolom Asal Usul di KOMPAS selama tiga tahun, novel dan beberapa buku manajemen kasus.

Apa karya yang paling berkesan bagi Anda?

Satu buku saya yang berisi laporan investigasi kasus emas Busang, berjudul Bre X: Sebungkah Emas Di KakiLangit (1998). Itu sempat mengundang kontroversi. Saya dituduh melakukan investigasi karena dibayari orang.

Saya dituntut Rp 2 triliun oleh IB Sudjana yang merasa namanya tercemar. Buku itu ditarik karena tuntutan hukum. Persidangan selesai tahun 2000, saya dinyatakan kalah dan bersalah.

Satu lagi, buku saya yang terbaru, yaitu kumpulan cerpen Pada Sebuah Beranda (2005). Buku ini saya terbitkan untuk merayakan ulangtahun ke-55. Saya bahagia bisa melampaui usia kakak laki-laki dan ayah saya yang meninggal sebelum usia 55 tahun.

Sekarang apa kesibukan di luar bidang kuliner?

Saya sedang dalam proses menulis buku tentang personal branding. Selain menulis buku, saya ingin pensiun dari segala kesibukan yang rutin dan benar-benar menikmati hidup.

Omong-omong, Anda hobi makan tak takut bermasalah dengan kesehatan?

Itu pasti sangat saya perhatikan. Walau hobi, tetap harus dibatasi. Saya sangat menjaga tubuh dengan konsultasi ke dokter dan olahraga. Dan selama ini tak bermasalah.

(Ditulis oleh Ratih Sukma Pertiwi. Seperti pernah dimuat di Tabloid NOVA edisi 980/XIX Desember 2006)

Artikel Terkait