Advertorial

Cara Unik Warga Karangasem, Bali, Mendatangkan Hujan: Menggelar Tarian Sakral nan Magis Warisan Kerajaan

Moh Habib Asyhad

Editor

Mereka bukan memanggil pawang hujan, tapi menggelar tarian gebug ende, yang sakral dan dianggap menyimpan kekuatan magis untuk mendatangkan hujan.
Mereka bukan memanggil pawang hujan, tapi menggelar tarian gebug ende, yang sakral dan dianggap menyimpan kekuatan magis untuk mendatangkan hujan.

Intisari-Online.com – Desa Seraya, Kecamatan Karangasem, Bali, memiliki wilayah geologis perbukitan yang kering kerontang.

Apalagi di kala musim kemarau, masyarakat menderita karena hasil panen tak bisa maksimal.

Untuk mendatangkan hujan, warga Seraya mempunyai kiat unik.

(Baca juga:Gunung Agung Meletus, Setengah Triliun Rupiah pun Berpotensi Melayang)

(Baca juga:Kepala Pusat Data dan Humas BNPB: Ada Potensi Terjadinya Erupsi yang Lebih Besar di Gunung Agung)

Mereka bukan memanggil pawang hujan, tapi menggelar tarian gebug ende; tarian sakral dan dianggap menyimpan kekuatan magis untuk mendatangkan hujan.

Upacara ini menjadi keyakinan turun temurun.

Menurut I Ketut Jineng (60), yang waktu itu Kepala Desa Seraya, tarian gebug ende pengundang hujan itu warisan sejak Kerajaan Karangasem.

Berawal dari keberangkatan pasukan perang yang dipimpin Raja Karangasem diikuti warga Seraya menuju Teh Melet, melawan Raja, Klungkung dan Sasak (Lombok).

Seusai perang, Raja Karangasem memperingati kegiatan megegebug.

Megegebug kemudian berubah menjadi gebug (pukul) yang dilakukan dua penari membawa pemukul dan semacam tameng, yang disebut tamiang ende.

Tarian it kemudian dinamai gebug ende.

Tarian gebug ende ini diiringi tetabuhan terdiri atas kendang, cengeang, reog, kempul, dan gong.

Begitu gamelan ditabuh, dua penari itu mulai "gatal" memukul, dan terjadilah adegan saling gebug.

Tarian ini dipimpin seorang wasit, untuk menentukan menang kalah dan menghentikan permainan.

(Baca juga:Gunung Agung Masuk Tahap Kritis, Bali Mendadak Tegang)

Menurut keyakinan warga, bila penari yang digebug mengeluarkan darah, maka hujan akan segera turun.

Anehnya, sekalipun penari luka memar dan berdarah-darah, di antara mereka tidak muncul rasa permusuhan.

Luka pun tidak diobati secara medis, cukup dengan daun sirih dan luka itu berahgsur-angsur sembuh.

Sebagai contoh, saat menghadapi kemarau panjang tahun 1997, tiap Banjar (setingkat rukun warga atau kampung) tanpa dikomando menyelenggarakan tarian gebug ende.

Hasilnya, daerah itu dua kali diguyur hujan. Suatu kebetulan? (Kartiana)

(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 1999)

Artikel Terkait