Oleh karena itu, meski belum berstatus tersangka, mereka merasa malu ketika diberitakan terlibat korupsi dan akhirnya memilih mundur dari jabatannya.
Sementara politisi di Indonesia, kata Alfan, lebih mengedepankan formalitas hukum ketimbang etika politik.
"Jadi, di Indonesia yang dikedepankan para politisinya jika tersangkut kasus hukum, ya, legal formalnya, bukan etika atau moral di hadapan publik. Makanya budaya malunya tidak ada," kata Alfan saat dihubungi pada Minggu (26/11/2017) malam.
Ia menambahkan, jika para politisi di Indonesia memiliki budaya malu dan mengedepankan etika politik, mereka akan mundur ketika dikaitkan dalam sebuah kasus.
Para politisi seharusnya juga tak perlu mati-matian mempertahankan jabatan publik yang diembannya hingga menunggu proses hukum inkrah.
Minimnya budaya malu dalam politik di Indonesia, lanjut Alfan, juga ditopang masyarakat Indonesia yang permisif terhadap politisi berkasus.
Ia mencontohkan, ada politisi atau pejabat publik yang berstatus tersangka, tetapi masih diterima masyarakat.
Hal itu terlihat saat kunjungan kerja sang politisi. Tak ada penolakan dari masyarakat.
Bahkan, para politisi ini masih diberi panggung untuk berpidato di hadapan masyarakat yang dikunjunginya.
Di Jepang, sambung Alfan, masyarakatnya sangat resisten terhadap pejabat yang tersangkut kasus hukum. Budaya malu dalam politik di Jepang bisa terbangun.
"Jadi, ini dari dua sisi. Dari pejabat dan politisinya begitu, dari masyarakatnya juga permisif sama politisi dan pejabat yang tersangkut kasus," kata Alfan.
(Rakhmat Nur Hakim)
Artikel ini sudah tayang di kompas.com dengan judul “Setya Novanto dan Minimnya Budaya Malu dalam Politik Indonesia”
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR