Advertorial
Intisari-Online.com - Manuver Setya Novanto tak berhenti meski sudah berada di balik jeruji besi.
Pada Selasa (21/11/2017), dari dalam tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi, Novanto menulis dua surat.
Satu surat ditujukan untuk pimpinan DPR dan satu surat lain ditujukan untuk Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar.
Kedua surat dibubuhi materai Rp6.000 dan ditandatangani Novanto.
(Baca juga: Tertidur saat Sedang Diperiksa, Setya Novanto Disebut Alami Gangguan di Otak oleh Pengacaranya)
Dalam surat untuk pimpinan DPR, Setya Novanto meminta diberikan kesempatan membuktikan bahwa dirinya tak bersalah dalam kasus korupsi proyek e-KTP.
Ia meminta tak dicopot, baik sebagai Ketua DPR maupun sebagai anggota Dewan.
"Saya mohon pimpinan DPR lain dapat memberikan kesempatan saya membuktikan tidak ada keterlibatan saya," kata Novanto dalam suratnya.
"Dan, untuk sementara waktu tidak diadakan rapat pleno sidang MKD terhadap kemungkinan menonaktifkan saya, baik selaku ketua DPR maupun selaku anggota Dewan," tulis Novanto.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah membenarkan adanya surat itu. Menurut Fahri, surat itu diantarkan langsung pengacara Novanto, Fredrich Yunadi.
Fahri mengatakan, surat tersebut memberikan informasi bahwa Novanto sebagai ketua umum DPP Partai Golkar mengambil keputusan menunda pergantian pimpinan DPR sampai proses hukumnya diselesaikan.
Dengan begitu, surat tersebut menguatkan tak perlu ada pergantian ketua DPR untuk saat ini.
"Karena beliau masih ketua umum yang sah, tentu sesuai dengan Undang-Undang MD3 tidak akan ada surat dari DPP Partai Golkar yang mengusulkan pergantian pimpinan," kata Fahri.
(Baca juga: Akhirnya, Setya Novanto Memakai Rompi Oranye KPK Juga)
Langsung Dikabulkan
Selain surat kepada pimpinan DPR, Novanto juga mengirimkan surat untuk DPP Partai Golkar.
Dalam surat tersebut, Novanto juga meminta tak ada pemberhentian dirinya sebagai ketua umum, baik untuk sementara maupun permanen.
"Tidak ada pembahasan pemberhentian sementara/permanen terhadap saya selaku ketua umum Partai Golkar," tulis Novanto dalam surat itu.
Hanya saja, karena Novanto tak bisa memimpin partai, ia menunjuk Sekjen Golkar Idrus Marham sebagai pelaksana ketua umum.
Sementara untuk menjadi Plt sekjen menggantikan Idrus, ia menunjuk dua orang, yakni Yahya Zaini dan Aziz Syamsuddin.
Surat itu muncul disela-sela rapat DPP Partai Golkar yang membahas Novanto, Selasa petang.
(Baca juga: Hadapi Setya Novanto yang Licin, Begini Pesan Bibit Samad Rianto kepada KPK)
Bagai sebuah surat sakti, keinginan Novanto yang ada dalam surat itu pun langsung terkabul.
Hasil rapat pleno Partai Golkar memutuskan bahwa Novanto tetap menjabat ketua umum partai setidaknya sampai ada putusan praperadilan yang ia ajukan.
Idrus juga ditunjuk sebagai Plt ketua umum untuk menggantikan tugas Novanto yang tengah berada di tahanan KPK.
"Apabila gugatan Setya Novanto diterima di praperadilan, Plt dinyatakan berakhir," kata Ketua Harian Partai Golkar Nurdin Halid membacakan putusan rapat.
Jika Novanto memenangi praperadilan dan lolos dari jeratan KPK, ia akan otomatis kembali memimpin Golkar.
Namun, jika kalah, baru Golkar menggelar musyawarah nasional luar biasa untuk mencari ketua umum definitif menggantikan Novanto.
Keinginan Novanto mempertahankan jabatannya sebagai Ketua DPR juga dikabulkan Partai Golkar.
Rapat memutuskan menunggu praperadilan sebelum mengambil keputusan soal posisi Novanto sebagai Ketua DPR.
Apabila menang praperadilan, Novanto bisa kembali lagi memimpin di Senayan.
"Posisi Setya Novanto sebagai Ketua DPR menunggu putusan praperadilan," kata Nurdin membacakan poin terakhir keputusan rapat.
Kalah
Padahal, sebelum rapat dimulai, Nurdin memastikan bahwa rapat akan menarik Novanto dari posisi Ketua DPR.
Sebelum rapat dimulai, Nurdin menegaskan bahwa ketua DPR adalah jabatan politis yang strategis untuk kepentingan rakyat.
Anggota Generasi Muda Partai Golkar (GMPG), Mirwan Bz Vauly, menilai, hasil rapat pleno DPP Partai Golkar itu menunjukkan bahwa Partai Golkar sudah lemah dan kalah dihadapan Novanto.
"Bisa dibayangkan dua pucuk surat Novanto dari tahanan membuat rapat tertinggi di partai Golkar itu harus berakhir tidak berdaya," kata Mirwan.
Mirwan menilai, hasil rapat pleno itu sangat jauh dari harapan publik yang sudah tidak ingin diwakili Novanto.
"Untuk kesekian kalinya Golkar kalah melawan Novanto. Dan, sekali lagi Partai Golkar sukses diperdayai dengan dalil-dalil kepastian hukum," ucapnya.
Pernah Menang
Setya Novanto memang pernah memenangi gugatan praperadilan melawan KPK.
Pada 29 September, hakim tunggal Cepi Iskandar mengabulkan sebagian permohonan Novanto.
Hakim menyatakan penetapan Novanto sebagai tersangka dugaan korupsi proyek e-KTP oleh KPK dianggap tidak sah alias batal.
Hakim juga meminta KPK menghentikan penyidikan terhadap Novanto.
Hakim Cepi beralasan, penetapan tersangka Novanto tidak sah karena dilakukan di awal penyidikan, bukan di akhir penyidikan.
Hakim juga mempermasalahkan alat bukti yang digunakan KPK untuk menjerat Novanto.
Sebab, alat bukti itu sudah digunakan dalam penyidikan terhadap Irman dan Sugiharto, dua pejabat Kementerian Dalam Negeri yang sudah divonis di pengadilan.
Namun, sesuai undang-undang, KPK memiliki kewenangan untuk kembali memulai penyidikan terhadap Novanto.
Pada 10 November, KPK mengumumkan kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka kasus e-KTP.
Surat perintah penyidikan atas nama tersangka Setya Novanto sudah terbit sejak 31 Oktober.
Karena terus mangkir dari panggilan pemeriksaan, KPK akhirnya melakukan penahanan terhadap Novanto pada 20 November.
Namun, sebelum ditahan, tepatnya pada 15 November, Novanto sudah terlebih dahulu mendaftarkan gugatan praperadilan melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
(Ihsanuddin)
Artikel ini sudah tayang di kompas.com dengan judul “Surat Sakti Setya Novanto dari Balik Jeruji Besi”