Advertorial

Laporan HRW: Militer Myanmar Memperkosa Perempuan Rohingya Secara Sistematis

Moh Habib Asyhad

Editor

Laporan tersebut didasarkan pada wawancara dengan 52 perempuan dan gadis Rohingya yang melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh.
Laporan tersebut didasarkan pada wawancara dengan 52 perempuan dan gadis Rohingya yang melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh.

Intisari-Online.com -Penyiksaan militer Myanmar terhadap muslim Rohingya dalam beberapa bulan terakhir semakin diperkuat dengan banyaknya laporan tentang pembunuhan, kekerasan seksual, dan kekejaman lainnya.

Kita tahu, persekusi ini telah menyebabkan gelombang ribuan pengungsi dan PBB mengutuknya sebagai genosida.

Bahkan, berdasarkan laporan Human Rights Watch, yang fokus pada kekerasan seksual, pada Kamis (16/11) pagi, pemerkosaan yang dilakukan terhadap para perempuan dan anak-anak, tampaknya lebih luas dan sistematis dibanding dugaan sebelumnya.

(Baca juga:Soal Krisis Rohingya, Sekjen PBB Puji Peran Penting Indonesia Terutama Menlu Retno Marsudi)

(Baca juga:Leonard Akhirnya Bertemu Putrinya, 23 Tahun Setelah Ia Hilang dalam Genosida Rwanda)

Dan anggota militer Mynmar yang berseragam harus bertanggung jawab atas itu semua.

Laporan tersebut didasarkan pada wawancara dengan 52 perempuan dan gadis Rohingya yang melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh.

Di antara mereka, termasuk 29 korban pemerkosaan dari 19 desa yang berbeda di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.

HRW mengatakan, kesimpulan laporan itu juga mengacu pada wawancara dengan 17 perwakilan organisasi kemanusiaan yang memberikan layanan kesehatan kepada perempuan dan gadis-gadis Myanmar di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh.

Wawancara juga dilakukan kepada pejabat kesehatan setempat.

Laporan itu menemukan, pasukan keamanan Myanmar telah “memperkosa dan melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak, tak hanya selama serangan besar ke desa-desa tapi juga dalam minggu-minggu sebelum serangan besar itu terjadi. Berulang-ulang.”

Tanpa tedeng aling-aling, laporan itu menuding pelaku utamanya adalah anggota militer yang masih berseragam.

Meski HRW tidak merinci berapa kasus pemerkosaan yang terjadi, tapi yang jelas ada puluhan hingga ratusan kasus telah dilaporkan.

“Lebih dari satu, dari banyaknya kasus yang dilaporkan kepada HRW, adalah kasus gang rapes, yang melibatkan dua atau lebih pelaku,” tulis laporan tersebut.

“(Ada) delapan kasus, perempuan dan anak-anak dilaporkan diperkosa oleh lima atau lebih tentara. Mereka diperkosa saat berada di rumah dan saat melarikan diri dari desa yang terbakar.”

Nisha Varia, direktur advokasi divisi hak asasi manusia HRW, mengatakan, laporan tersebut menunjukkan pola yang memberikan pengertian yang lebih dalam tentang bagaimana serangan tersebut dilakukan.

Pola itu, katanya, termasuk kepastian anggota pasukan keamanan berseragam sebagai pelaku, tingginya insiden pemerkosaan, beberapa kasus pemerkosaan massal, dan pola pelecehan dan kekerasan seksual dalam minggu-minggu menjelang serangan besar ke desa-desa.

Sebagai informasi, dirilisnya laporan HRW ini seiring dengan meningkatnya tekanan dunia internasional terhadap Myanmar untuk menghentikan kekerasan terhadap etnis Rohingya.

Laporan itu muncul sehari setelah Menteri Luar Negeri AS Rex W. Tillerson mengunjungi Myanmar.

Di sana, Tillterson bilang kepada para pemimpin untuk menyelidiki kekejaman tersebut—tuduhan yang terus-menerus dibantah oleh elite Myanmar.

The United State Holocaust Memorial Museum and Fortify Rights, sebuah kelompok advokasi, mengatakan dalam laporan yang dirilis Rabu (15/11), ada “bukti yang menguat” bahwa kampanye anti-Rohingya di Myanmar adalah genosida.

(Baca juga:Perempuan Rohingya: Tiga Tentara Myanmar Memperkosa Saya)

(Baca juga:Fenomena Gunung Es di Balik Kekerasan Seksual: Ketika Para Korban ‘Memilih’ Diam)

Laporan tersebut didasarkan pada satu tahun penelitian dan lebih dari 200 wawancara.

Pada Minggu (11/11), Pramila Patte, diplomat PBB yang merupakan perwakilan khsusu kekerasan seksual dalam konflik, juga menyebut, Rohingya adalah korban genosida dan pelaku harus diadili di Pengadilan Pidana Internasional.

Patter mengatakan itu setelah melakukan kunjungan tiga hari ke kamp-kamp Rohingya di Bangladesh. Di sana, secara ekstensif, ia bertemu dengan para perempuan dan anak-anak yang lolos dari kekerasan tersebut.

“Pemerkosaan adalah tindakan dan senjata genosida,”ujarnya, dikutip Reuters.

“Ancaman dan penggunaan kekerasan seksual yang meluas adalah pendorong dan ‘faktor pendorong’ untuk pemindahan paksa dalam skala besar, dan alat teror yang ditujukan untuk pemusnahan dan pemindahan Rohingya sebagai sebuah kelompok etnis.”

Artikel Terkait