Advertorial
Intisari-Online.com -“Tiga tentara memperkosa saya.”
Shamila, bukan nama sebenarnya, masih ingat betul tentang kegetiran yang baru saja ia alami. Ia diperkosa oleh tentara Myanmar di depan anak-anaknya.
Shamila adalah salah satu warga Rohingya yang kini berada di kamp penampungan Reda, di Banglades.
(Baca juga:Tega! Australia Janjikan Beri Rp265 Juta Kepada Pengungsi Rohingya yang Mau Kembali ke Myanmar)
Kisah semacam ini berulang kali terdengar dari mulut para pengungsi Rohingya, yang ada di kamp-kamp penampungan.
Pengamat Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pun mengaku telah mendapati sejumlah korban perkosaan, pada mereka yang kabur dari kekerasan di Myanmar dalam beberapa pekan terakhir.
Hampir semuanya mengatakan, pelaku adalah orang-orang berseragam yang mereka yakini sebagai anggota militer Myanmar.
Kasus tersebut, menurut para ahli, hampir pasti merupakan puncak gunung es dari perkara serupa yang jumlahnya lebih banyak lagi.
Stigma sosial seputar korban pemerkosaan dan tantangan untuk menemukan tempat berteduh dan makanan, semakin menambah beban kaum perempuan yang menjadi korban.
Shamila mengaku masih berdarah bahkan saat ia tiba di pengungsian di Banglades. Untuk sampai pengungsian itu, ia harus berjalan kaki selama tiga hari.
“Semua tiga tentara memperkosa saya,” katanya sambil menangis.
Sembari bercerita, ia terus mencengkeram tangan anaknya yang berusia enam tahun yang duduk di sampingnya.
“Ketika mereka pergi, saya berlari keluar rumah dengan dua anak saya. Saya mengikuti kerumunan orang yang berlari untuk menyelamatkan hidup mereka.”
Suami Shamila keluar saat serangan terjadi, namun ia belum pernah terlihat kembali sejak serangan itu terjadi.
Shamila pun tidak tahu di mana ketiga anaknya yang lain—mereka bermain di luar rumah saat tentara datang, dan menghilang saat kejadian usai.
(Baca juga:Selamatkan Wanita Dari Aksi Pemerkosaan, Pria Asal Filipina Ini Justru Ditembak Oleh Pelaku Sampai Tewas)
Misi pencarian fakta PBB sedang bekerja di kamp-kamp pengungsian untuk menyelidiki tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar, termasuk kekerasan seksual.
Perwakilan Khusus PBB untuk Urusan Kekerasan Seksual dalam Konflik, Pramila Patten mengatakan, minggu ini dia sangat prihatin dengan operasi keamanan di negara bagian Rakhine, Myanmar.
Korban selamat menggambarkan kekerasan seksual yang digunakan sebagai alat teror untuk memaksa populasi Rohingya melarikan diri.
(Artikel ini sudah tayang di Kompas.com dengan judul "Aksi Perkosaan oleh Militer Myanmar Hantui Wanita-wanita Rohingya")