Advertorial

Imam Bonjol Panglima Perang Digdaya, Hanya Bisa Dikalahkan Belanda dengan Taktik Tipu Daya

Moh Habib Asyhad

Penulis

Hingga kejatuhan Benteng Bonjol yang kedua kali itu, Imam Bonjol yang makin terdesak daerah kekuasaannya belum mau berunding.
Hingga kejatuhan Benteng Bonjol yang kedua kali itu, Imam Bonjol yang makin terdesak daerah kekuasaannya belum mau berunding.

Intisari-Online.com -Imam Bonjol dikenal sebagai pejuang sekaligus pahlawan orang Minang. Semua itu peroleh dari keberaniannya bertempur melawan pasukan Belanda dari tahun 1821-1837.

Imam Bonjol, yang lahir di Tanjung Bunga, Sumatera Barat, pada 1772, punya nama asli Muhammad Syahab.

Nama Imam Bonjol ia peroleh ketika dipercaya memimpin pertempuran di Benteng Bonjol.

Ide Benteng Bonjol, yang secara militer dikenal sangat kuat dari sisi arsitektur, berasal dari Muhammad Syahab sendiri.

Semasa mudanya Imam Bonjol aktif dalam gerakan kaum Padri yang secara gigih menegakkan syariat Islam.

Perjuangan kaum Padri yang mengalami kemajuan pesat ternyata mengancam kekuasaan Raja Minangkabau.

Ia khawatir suatu saat kekuasaan monarkinya akan beralih ke tangan kaum Padri.

Konflik itu akhirnya melahirkan pertempuran besar antara kaum Padri dan pasukan kerajaan.

Pertempuran yang berlangsung beberapa kali itu berhasil dimenangkan kaum Padri pimpinan Tuanku Nan Renceh.

Untuk mengokohkan dan menyukseskan gerakan kaum Padri, Tuanku Nan Reenceh lalu memerintahkan muridnya yang paling pandai dan berani, Muhammad Syahab untuk membangun benteng yang kuat.

Benteng yang oleh Syahab dibangun secara sungguh-sungguh dan melibatkan tenaga kerja sukarela ribuan orang itu akhirnya berhasil dibangun di sebelah timur Alahan Panjang, di kaki Bukit Tarjadi.

(Baca juga:Kanjeng Kiai Tjokro, Tongkat Pusaka Pangeran Diponegoro Akhirnya Kembali ke Indonesia)

(Baca juga:Tak Peduli Kerabat Sendiri, Raja Salman Murka dan Langsung Menyuruh Menangkapnya Saat Tahu Ada Pangeran Arab Saudi Menyiksa Warga)

Benteng itu kemudian dinamai Benteng Bonjol, dengan luas area 90 hektar dan panjang keliling 800 m.

Tembok yang menglilingi benteng berparit itu tingginya empat meter dan lebar tiga meter.

Sebagai benteng yang dipersiapkan untuk pertahanan, selain dilengkapi enam meriam, sekeliling benteng ditanami semak berduri yang sulit ditembus.

Muhammad Syahab kemudian dipercaya memimpi Benteng Bonjol dan mendapat gelar Tuanku Imam Bonjol.

Di dalam benteng, kaum Padri yang tinggal mampu menghidupi para anggotanya dengan cara bertani dan hidup secara eksklusif.

Keberadaan Benteg Bonjol tenyata menimbulkan kekhawatiran penguasa Alahan Panjang, pimpinan Datuk Sati.

Prajurit Alahan Pajang lalu berusaha menggempur Benteng Bonjol tapi upaya itu ternyata gagal total.

Kaum Padri pimpinan Imam Bonjol yang digdaya dan telah berpengalaman perang dengan mudah memukul mundur prajurit Alahan Panjang.

Imam Bonjol kemudian terus memperluas kekuasaannya hingga ke Tapanuli Selatan dan bagian barat Minangkabau.

Gerakan kaum Padri yang berkembang pesat itu rupaya tetap mendapat perlawaan dari kaum Adat.

Pasalnya, secara kekuasaan dan pengaruh adat istiadat, mereka merasa terancam.

Belanda yang saat itu sudah berada di Padang tahu betul bahwa gerakan kaum Padri akan menjadi hambatan besar.

Politik pecah belah pun diterapkan. Belanda lalu memihak kaum Adat untuk bertempur menghadapi kaum Padri.

Ambisi Belanda adalah segera mungkin menguasai Sumatera Barat mengingat tanahnya sangat subur untuk perkebunan kopi.

Pada 1821 Belanda melancarkan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol dan mengerahkan pasukan legiun yang terdiri atas beragam suku.

Serangan ini berhasil dipatahkan oleh laskar Imam Bonjol. Pertempuran makin berlarut-larut karena yang dihadapi Belanda bukan hanya laskar Imam Bonjol namun seluruh rakyat Minang.

Seperti biasa, untuk menekan kerugian, Belanda mengadakan perjanjian damai, yang ditandatagani pada 1824.

Tapi Belanda yang memanfaatkan situasi damai untuk menyusun kekuatan, kembali melancarkan serangan lebih terencana.

Tahun 1832 pasukan Belanda berhasil merebut Benteng Bonjol. Meski begitu, jatuhnya benteng itu belum mampu melumpuhkan perlawanan kaum Padri.

Belanda yang sedang mengalami kesulitan ekonomi bahkan menawarkan kerjasama yang dinamai Plakat Panjang (1833). Mereka juga mengajak orang-orang Minang untuk berdagang serta menanam kopi lebih banyak lagi.

Imam Bonjol dan pengikutnya bahkan diperbolehkan kembali lagi ke benteng dan diam-diam kerap melancarkan serangan.

Tahun 1837 Belanda mengepung lagi Benteng Bonjol dan berhasil merebutnya.

Tapi Imam Bonjol dan pengikutnya berhasil meloloskan diri dan terus berjuang serta makin sulit ditangkap.

Belanda pun mencoba mengajak Imam Bonjol untuk mengadakan perundingan damai.

Namun hingga kejatuhan Benteng Bonjol yang kedua kali itu, Imam Bonjol yang makin terdesak daerah kekuasaannya belum mau berunding.

Akhirnya berkat tipu muslihat seperti yang diperlakukan terhadap Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol mau berunding tapi kemudian dijebak.

Imam Bonjol selanjutnya diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, lalu ke Ambon, dan terakhir ke Manado.

Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864.

Artikel Terkait