Advertorial

Terjebak di Atas Lembah, para Pilot Garuda Ini Selamat Berkat ‘Lembaran Doa di Halaman Terakhir’

Ade Sulaeman

Editor

Intisari-Online.com - Demi mendukung kekuatan udara dalam Operasi Jaya Wijaya untuk merebut Irian Barat (Papua) dari tangan Belanda (1960-1963), Komando Tertinggi (KOTI) Trikora membentuk Wing Garuda (WG) dan Wing Garuda 011 (WG001) yang merupakan kekuatan bala cadangan udara untuk mendukung kekuatan angkutan udara AURI.

Tugas utama yang dibebankan kepada WG dan WG001 adalah melaksanakan penerbangan penyusupan, penerjunan sukarelawan dan pasukan tempur, angkutan logistik, komando Kendali udara, pelacak cuaca, angkut personel, dan SAR.

Untuk melaksanakan sejumlah misi yang cukup riskan itu, WG dan WG001 menggunakan pesawat-pesawat transport seperti C-47 Dakota, C-47 Sky Train, Convair B-36, dan pesawat yang bisa terbang dan mendarat di air, Sea Beaver PK-68D.

(Baca juga: Kisah Dokter Militer yang Ditugaskan dalam Misi Trikora untuk Membebaskan Irian Barat: Pernah Harus 'Menukar' Bayi dengan Babi)

Dalam setiap penerbangannya para pilot WG dan WG001 akan menghadapi risiko dihadang oleh pesawat-pesawat tempur Belanda yang saai itu tergolong canggih, yakni MK-06 Hawker Hunter, AS-4 Firefly, P2V-7 Neptune, dan B-26 Invader.

Selain sergapan pesawat tempur penerbangan rahasia WG dan WG001 juga kerap menghadapi cuaca buruk, serta radar musuh sehingga harus terbang pada ketinggian rendah (tree top) di atas kawasan hutan lebat atau perairan yang ganas saat siang maupun malam hari.

Pesawat amfibi Beaver
Setelah Irian Barat diserahkan ke pangkuan RI melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 1 Oktober 1962, tugas yang harus dilaksanakan WG dan WG 011 untuk membereskan Irian Barat tetap berlangsung.

Kisah-kisah penerbangan yang mendebarkan dan nyaris terjadi accident pun kerap terjadi tapi para pilot WG dan WG001 tetap melaksanakan tugasnya dengan penuh patriotisme.

Mereka lebih mementingkan tugas demi kepentingan bangsa dan negara, rela meninggalkan keluarga serta orang-orang yang dicintainya.

Salah satu kisah penerbangan tree tops yang nyaris menimbulkan accident berlangsung pada 27 April 1963.

Hari itu sebuah pesawat Sea Beaver PK-6BD yang diawaki oleh Captain Sudarsono, Captain Arifin, Captain Pratomo take off dari landasan udara berupa air danau, water base, Biak pada pukul 0.6.00 WIT untuk melakukan survei dari udara.

Pesawat Beaver yang digunakan merupakan pesawat yang dihibahkan oleh Belanda (Perusahaan Penerbangan Kroonduif) setelah Belanda meninggalkan Papua.

(Baca juga: Pesawat yang Pernah Intai Indonesia dan Picu Penyerahan Irian Barat ke Indonesia Itu Siap Pensiun)

Tujuan penerbangan di pagi hari yang masih berkabut itu adalah untuk menghidupkan kembali rute dari kawasan Agats (South Coast) yang terhenti sejak pertengahan Januari 1963.

Rute penerbangan Biak menuju Agats terhenti setelah satu-satunya pesawat Beaver yang rutin terbang mengalami kecelakaan di kawasan Pirimapun.

Sebelum terbang menuju Agats, Beaver PK-68D, terlebih dahulu terbang ke arah Kokonau unuk mengisi bahan bakar.

Penerbangan menuju Kokonau ini akan melintasi udara di atas lembah Enarotali yang pemandangannya sangat indah jika dilihat dari udara.

Karena ketiga awak Beaver semuanya merupakan pilot, mereka menerbangkan pesawat secara bergantian.

Dalam penerbangan awal itu, Captain Pratomo mendapat jatah terbang giliran pertama, sementara kedua rekannya istirahat sambil tiduran.

Saat itu penunjuk ketinggian terbang pesawat, altimeter, berada pada posisi ketinggian 14.000 kaki sehingga aman dari halangan puncak bukit dan pegunungan di sepanjang jalur penerbangan yang telah ditentukan.

(Baca juga: Kisah Ajaib di Balik Jatuhnya Pesawat Dakota AURI yang Ditembak oleh Pesawat Tempur Belanda pada Operasi Trikora)

Terjebak di Eranotali

Tapi tanpa disadari oleh ketiga awak Beaver, altimeter pesawat ternyata mengalami kerusakan.

Pada saat itu Beaver justru sedang terbang rendah di atas lembah Enarotali. Sebagai lembah yang masih perawan, Eranotali diapit oleh sejumlah gunung dan bukit, yakni Gunung Bobairo, Bukit Diary, serta selanjutnya bukit-bukit tinggi yang mengarah ke Gunung Jaya Wijaya yang memiliki ketinggian 16.024 kaki.

Laju terbang pesawat pun terasa tidak normal karena mulai bergoyang dan berjuntau-juntau.

Merasakan adanya yang tidak beres itu baik Captain Sudarsono maupun Captain Arifin, segera terbangun dari tidurnya.

Keduanya sama-sama terkejut karena Beaver ternyata sedang terbang sangat rendah (tree tops) padahal altimeter menunjukkan ketinggian terbang di atas 14.000 kaki.

Semua awak Beaver akhirnya menyadari bahwa altimeter pesawat sedang rusak dan kini penerbangan Beaver justru terjebak di atas lembah Enarotali yang sulit ditembus.

Posisi terbang di atas lembah Enarotali sebenarnya tidak berbahaya, tapi kesulitan yang muncul adalah bagaimana terbang melintasi rute berupa gap-gap-gap sehingga bisa menembus pegunungan dan bukit yang mengarah ke Gunung Jaya Wijaya.

(Baca juga: Kisah Dokter Militer yang Ditugaskan dalam Misi Trikora untuk Membebaskan Irian Barat: Pernah Harus 'Menukar' Bayi dengan Babi)

Rute atau gap yang biasa dilintasi oleh para penerbang itu kini sedang tertutup awan tebal sehingga jika nekat menembus, pesawat bisa menabrak tebing gunung atau bukit.

Saat itu karena terjebak di atas lembah, Beaver juga tidak bisa terbang naik lagi sehingga hanya bisa berputar-putar sementara bahan bakar makin menipis.

Semua awak Beaver pun harus berpikir keras agar segera bisa keluar dari jebakan di atas lembah Enarotali yang masih kental dengan suasana mistis itu.

Semua awak pesawat mulai gelisah dan dicekam rasa khawatir dan takut. Captain Sudarsono termasuk awak yang paling gelisah karena tiga bulan lagi akan menikahi gadis pujaannya, Tieneke.

Dalam hatinya Captain Sudarsono hanya bisa berdoa semoga mereka bisa lolos dari jebakan di atas lembah Enarotali.

Ketiga awak Beaver karena merasa tidak segera menemukan celah untuk keluar dari lembah Enarotali lalu mencari solusi dengan cara membuka-buka buku emergency yang berada di kokpit pesawat.

Tapi mereka ternyata tidak segera menemukan solusi yang tepat baik secara teknis maupun berdasar teori-teori penerbangan yang berada di buku.

Namun, dalam kesulitan penerbangan yang harus segera diatasi itu, ketiga awak Beaver justru menemukan tulisan berupa doa-doa agama Islam dan Kristen yang berada di halaman terakhir.

Doa-doa itu segera mereka baca dan anehnya begitu usai membaca, tak berapa lama kemudian mereka menemukan lubang atau gap yang bisa dilalui pesawat dengan aman.

Beaver pun segera terbang melintasi gap itu menuju Kokonau untuk mengisi bahan bakar.

Pendaratan di Kokonau merupakan proses pendaratan Beaver yang cukup menantang karena berlangsung di atas air sungai yang mengalir cukup deras.

Tapi berkat keterampilan dan pelatihan yang memadai, para pilot Wing Garuda itu bisa mendaratkan Beaver dengan mulus di atas sungai.

Ketika para awak Beaver menuju ke darat untuk mengambil bahan bakar, mereka dikejutkan oleh drum-drum berkarat dan sudah kadaluwarsa.

Untuk memastikan bahan bakar masih bagus, mereka membuka salah satu drum dan ternyata tidak melihat adanya air yang menggenang.

Melalui penilaian sederhana tersebut, bahan bakar itu pun kemudian dimasukkan ke tanki Beaver menggunakan pompa yang sudah disiapkan.

Wajah ketiga awak Beaver sebenarnya masih bertanya-tanya apakah bahan bakar itu aman atau tidak.

Tapi karena tak ada pilihan lain mereka hanya berpedoman keyakinan bahwa penerbangan survey yang sedang dilaksanakan pasti akan selamat.

Pesawat kandas

Setelah diisi bahan bakar full tank, berat pesawat pun bertambah dan untuk take off, Beaver harus bergerak terlebih dahulu menuju tengah-tengah sungai yang luas dan berarus deras.

Tapi ketika sedang persiapan take off, muncul kesulitan baru karena badan Beaver ternyata kandas di pasir dalam air.

Berat Beaver yang bertambah setelah diisi berdrum-drum bahan bakar rupanya berakibat pada kandasnya pesawat yang seharusnya take off di perairan dalam dan berarus tenang itu.

Untuk mengatasi kendala itu, berdasarkan pengalaman yang pernah didapat para pilot Wing Garuda ketika pesawatnya kandas di sungai, langkah pertama adalah mematikan mesin.

Dalam kondisi mesin mati, badan Beaver kemudian secara perlahan akan dihanyutkan oleh arus sungai dan akan mengambang lagi.

Ketika fuselage Beaver sudah terangkat, mesin cepat-cepat dinyalakan untuk memposisikan pesawat siap terbang.

Dalam posisi siap take off itu untuk sekian lama Beaver meluncur di atas air yang menjadi landasan pacu dan kemudian mengudara.

Ketiga awak Beaver pun merasa lega ketika pesawatnya sukses mengudara kendati kini mereka terbang menggunakan altimeter visual. Beaver kembali terbang tinggi di atas awan menuju Agast.

Semua awak Beaver kembali merasa lega ketika akhirnya Beaver mendarat di Sungai Agast, yang pada waktu itu, sebagai kota kecil, Agast telah memiliki kantor perwakilan RI.

Masyarakat setempat yang masih berpakaian adat pun turut menyambut kedatangan Beaver yang sudah sekian waktu tak pernah menampakkan diri di water base Sungai Agast.

Captain Sudarsono sempat terpana oleh sambutan perwakilan RI dan masyarakat Agast yang begitu antusias.

Semuanya memakai pakaian adat, berkoteka, membawa tombak, busur panah, dan memiliki tatoo di sekujur tubuhnya.

Beberapa orang di antaranya malah memilik tatoo di dahi dengan tulisan ‘’TIENEKE’’. Captain Sudarsono hatinya jadi terkesiap karena tulisan bernama ‘’TIENEKE’’ itu adalah nama pujaan seorang gadis tercinta.

Gadis yang sudah lama ditinggalkannya demi tugas negara, yang akan dinikahinya tiga bulan lagi.

Artikel Terkait