Advertorial

Demi Hancurkan 60 Ranpur Lawan, Pilot Tempur AURI Ini Nekat Jatuhkan Pesawatnya

Ade Sulaeman

Editor

Intisari-Online.com - Salah satu peristiwa pemberontakan terhadap pemerintah sah RI yang hingga saat ini menjadi seperti trauma sejarah karena butuh pengorbanan besar untuk mengatasinya adalah pemberontakan yang dilancarkan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958.

Trauma yang ditimbulkan dari perseteruan yang bersifat menghancurkan itu adalah hilangnya putera-putera terbaik bangsa yang seharusnya saling bahu-membahu untuk membangun negara.

Apalagi penumpasan terhadap PRRI oleh Pemerintah Pusat RI sesungguhnya merupakan perang saudara karena yang berseteru adalah sesama bangsa dan warga RI sehingga hasil dari perseteruan bersenjata itu hanya kerugian belaka.

Pemicu berdirinya PRRI di Sumatera yang ingin memisahkan diri dari Pemerintah RI adalah Mr Sjafrudin Prawiranegara yang sebenarnya merupakan tokoh yang sangat berjasa bagi Pemerintah RI waktu itu dan juga merupakan sosok yang dikenal baik oleh Presiden Soekarno.

(Baca juga: Kisah Ajaib di Balik Jatuhnya Pesawat Dakota AURI yang Ditembak oleh Pesawat Tempur Belanda pada Operasi Trikora)

Selama Perang Kemerdekaan (1948-1949), khususnya ketika berlangsung agresi Belanda yang kedua di Yogyakarta, setelah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap serta diasingkan ke Pulau Bangka, Sjafrudin diangkat menjadi Ketua Pemerintah Darurat RI (1948).

Berkat usaha Pemerintah Darurat yang dipimpin Sjafruddin, Belanda yang semula mengedepankan kekuatan militer kemudian terpaksa berunding dengan Indonesia melalui Perjanjian Roem-Royen.

Hasil perundingan sangat menguntungkan RI karena Seokarno dan kawan-kawannya dibebaskan serta kembali lagi ke Yogyakrta.

Pemerintahan Darurat kemudian diserahkan lagi ke Soekarno-Hatta pada 14 Juli 1949 di Jakarta. Setelah itu, Sjafruddin menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri dan selanjutnya Menteri Keuangan serta Gubernur Bank Indonesia (1951).

Upaya pemisahan diri PRRI yang dimotori oleh Mr Sjafrudin itu jelas merupakan hal yang mengejutkan sekaligus menjadi ancaman serius bagi Pemerintahan Presiden Soekarno dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta harus segera diambil tindakan tegas.

Presiden Soekarno yang menyadari betapa besar jasa Sjafruddin kepada RI berusaha keras menyelesaikan masalah secara damai tapi tidak berhasil.

Mr Sjafruddin bahkan berkali-kali menolak upaya damai itu jika Presiden Soekarno tidak segera bisa melepaskan diri dari pengaruh PKI.

Sikap memberontak PRRI ditunjukkan dengan menyerbu markas-markas militer yang masih memberikan dukungan terhadap Pemerintah Pusat RI seperti Pangkalan Udara Polonia Medan yang dipertahankan oleh pasukan AURI di bawah pimpinan Kapten Udara Nico Juluw, satuan artileri di bawah pimpinan Mayor Hanafie, dan belasan personel Polri di bawah pimpinan Komisaris Polisi Hoegeng Iman Santosa.

(Baca juga: Sofyan Tsauri, Eks Anggota Al-Qaeda yang Mengaku Pernah Sengaja Ditabrak Anggota Densus 88 di Pasar Rebo)

Sebelum pasukan PRRI menyerbu Bandara Polonia, sejumlah pesawat AURI (TNI AU) telah terlebih dahulu duterbangkan menuju ke tempat yang aman sesuai perintah dari KSAU Laksamana Udara Suryadarma.

Pasukan PRRI sebenarnya menyadari jika untuk menyerbu Bandara Polonia harus menghadapi pasukan yang masih setia kepada Pemerintah Pusat dan terkenal pula sebagai pasukan pertahanan pangkalan yang terlatih baik.

Apalagi KSAU Komodor Udara Surjadi Surjadarma sebelumnya telah mengeluarkan perintah agar lapangan udara Polonia dipertahankan habis-habisan

Oleh karena itu pasukan PRRI hanya berani melakukan pengepungan sambil melakukan serangan dengan cara menembakkan mortir.

Selama gempuran mortir tidak kurang tiga lubang bekas jatuhnya peluru hampir merusakkan landasan.

Salah satu mortir bahkan jatuh di sebelah kanan kantor pegawai sipil persenjataan dan jaraknya lebih kurang sepuluh meter dari gudang senjata. Mujur peluru mortir tidak meledak.

Kendati mendapat gempuran sengit PRRI, namun pasukan yang bertahan berhasil memperkuat parimeter pertahanannya sehingga serangan musuh dapat ditahan.

Namun, mereka tetap dalam kondisi terkepung rapat, mengingat pasukan PRRI memblokade semua jalur keluar masuk Bandara Polonia.

(Baca juga: Melalui Stasiun Radio AURI di Playen, Berita Serangan Umum 1 Maret 1946 Sampai ke Telingan PBB)

Sehari setelah terjadinya serangan pemberontak ke Bandara Polonia, Medan keesokan paginya pasukan PRRI secara diam-diam ternyata sudah mengundurkan diri.

Alasannya, karena mendapat berita bahwa pasukan APRI akan melaksanakan serbuan secara besar-besaran.

Berita serbuan itu diumumkan oleh Kolonel Nasution melalui radio yang juga bisa didengar PRRI dengan tujuan psywar.

Kolonel Nasution mengatakan bahwa pasukan APRI telah berhasil mendarat di Sumatra melalui Palembang dan terus bergerak menuju kota-kota yang menjadi basis para pemberontak.

Medan bahkan akan diserbu oleh 3 Batalyon Lintas Udara, padahal yang menyerbu sebenarnya cuma ada dua kompi pasukan.

Taktik Psywar ini sengaja disampaikan untuk menekan moral tempur para pemberontak agar mental mereka merosot.

Perang urat syaraf itu ternyata berhasil. Pasukan RI di bawah pimpinan Kapten Benny Moerdani yang hanya berkekutan dua kompi ketika melaksanakan serbuan udara (linud) ternyata tidak mendapat perlawanan sama sekali.

Sewaktu pasukan RPKD bergerak menguasi Bandara Polonia, mereka malah menemukan pasukan PRRI yang bersembunyi di parit dan kemudian memilih menyerahkan diri bersama sejumkah senjata-senjata canggihnya.

(Baca juga: Idap Sindrom Auriculocondylar, Gadis 7 Tahun Ini Terlahir Tanpa Tulang Rahang)

Dalam waktu singkat Bandara Polonia pun bisa dikuasai oleh pasukan APRI.

Sementara itu pasukan APRI yang bergerak mundur terus dikejar dan pasukan AURI pun melancarkan serangan balasan dengan mengerahkan pesawat-pesawat tempur P-51 Mustang.

Esok harinya dilaksanakan serangan balasan oleh AURI dengan membombardir tempat pengunduran pasukan pemberontak di jalan Binjai, tepatnya di sekitar stasiun pemancar RRI meggunakan tiga pesawat Mustang.

Salah satu penerbangnya adalah Letnan Udara II (Lettu) Soewondo. Mendapat gempuran udara, pasukan pemberontak di bawah pimpinan Letkol Nainggolan akhirnya lari menuju daerah Tapanuli.

Mereka kemudian bergabung dengan pasukan pemberontak lainnya di Sumatera Barat dibawah komando Letkol Ahmad Husein, pimpinan militer PRRI dan juga pendiri PRRI.

Setelah melakukan konsolidai, Kekuatan PRRI kemudian menyusun pertahanan yang diperkuat oleh meriam-meriam penangkis serangan udara yang berada pada posisi tersembunyi.

Begitu pintarnya pasukan Nainggolan mengkamuflase senjata berat mereka, sehingga tidak satupun yang berhasil dimusnahkan dalam pemboman yang dilancarkan pada sorti pertama.

Setelah Mustang kembali ke pangkalan untuk mengisi ulang amnunisi dan bahan bakar gempuran kedua pun dilaksanakan terhadap posisi pasukan artileri PRRI.

Sejumlah meriam dan kendaraan lapis baja pun berhasil dihancurkan. Tapi serangan balasan dari bawah juga sangat gencar.

Nasib kurang mujur akhirnya menimpa Lettu Udara Soewondo.

Karena terbang terlalu rendah ketika melancarkan gempuran pada sorti kedua, sayap Mustang tersambar peluru senjata penangkis serangan udara PRRI.

Hantaman peluru meriam menyebabkan asap hitam mengepul., tapi Lettu Udara Soewondo memutuskan untuk terus bertempur.

Namun sepak terjang Lettu Soewondo dalam bertempur justru membuat heran pasukan Pemerintah Pusat yang bertempur di darat.

Setelah tertembak, Mustang tidak terbang ke selatan (basis militer Pusat), melainkan tetap nekat terbang ke utara sambil tidak henti-hentinya menumpahkan amunisinya ke daratan, menyapu pertahanan pasukan Nainggolan.

Meski pesawat Mustang yang diterbang Soewondo masih stabil dan tetap bertempur, gencarnya tembakan meriam-meriam penangkis udara PRRI membuat P51 menjadi bulan-bulanan.

Sebelum jatuh hancur berkeping-keping ke daratan, Soewondo masih sempat mengarahkan Mustangnya ‘’untuk melancarkan serangan ala kamikaze’’.

Serangan nekat menuju konsentrasi meriam-meriam dan tank lapis baja Arhanud PRRI ituselanjutnya menyebakan Mustang meledak dahsyat, bersama-sama hancurnya meriam-meriam penagkis serangan udara PRRI yang berlokasi di Desa Tangga Batu, Tapanuli Utara.

Sebanyak 60 ranpur lapis baja PRRI berhasil dihancurkan oleh Soewondo.

Jenazah Soewondo yang selanjutnya dikeluarkan oleh pasukan PRRI dari reruntuhan Mustang ternyata diperlakukan secara baik dan diserahkan ke pasukan Apri.

Banyak pasukan PRRI yang memberi salut dan hormat terhadap kegigihan dan keberanian Soewondo.

Setelah diserahkan kepada pasukan APRI, jenasah Lettu Udara Soewondo kemudian di bawa menuju Bandara Polonia untuk selanjutnya diterbangkan menuju Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Untuk tugas penjemputan, AURI mengirimkan satu pesawat C-47 Dakota yang diterbangkan oleh Captain Syafei, pilot Maskapai Garuda yang diperbantukan untuk mendukung operasi menumpas PRRI dan terwadahi dalam satuan yang dinamai Wing Garuda.

Artikel Terkait