Advertorial

Jamur, Antara Kelezatan dan Kematian. Ini Caranya Agar Tak Sampai Salah Makan!

Ade Sulaeman

Editor

Nikmatnya tak kalah dengan madu. Keadaan jadi berbalik jika yang masuk ke perut kita jamur bermasalah alias mengandung racun. Nyawa bisa jadi taruhannya.
Nikmatnya tak kalah dengan madu. Keadaan jadi berbalik jika yang masuk ke perut kita jamur bermasalah alias mengandung racun. Nyawa bisa jadi taruhannya.

Intisari-Online.com –Tak susah mencari jamur. Di musim hujan, ia bahkan menjadi primadona. Hadir di pekarangan rumah, kayu yang sudah lapuk, atau bingkai jendela yang lembab.

Namun awas, beberapa di antaranya dapat diolah menjadi santapan lezat, sekaligus makanan mematikan. Pada jamur memang ada madu dan racun.

Di antara tanaman bahan makanan, jamur termasuk istimewa. Kalau dimasak, ia membuat hidangan yang dihasilkan menjadi berkelas. Namun, itu terjadi kalau jamur memang laik makan.

Nikmatnya tak kalah dengan madu. Keadaan jadi berbalik jika yang masuk ke perut kita jamur bermasalah alias mengandung racun. Nyawa bisa jadi taruhannya.

(Baca juga: Kabar Bahagian untuk Dunia Medis, Senyawa Jamur Ajaib Ini Bisa untuk Mereset Otak Penderita Depresi)

Meski dekat dengan kehidupan sehari-hari, sampai kini racun jamur masih menyimpan banyak misteri yang belum terpecahkan. Racun jamur memang kerap membuat masalah.

Saking berbahayanya, sampai-sampai di pekarangan sebuah gereja tua di Fishkill, Dutchess County, New York, Amerika Serikat, didirikan sebuah "monumen" tak lazim. Wujudnya batu sederhana.

Di salah satu bagian batu itu terdapat tulisan: "Dibuat untuk memperingati wafatnya William Gould (38 tahun), meninggal 2 Oktober 1938 bersama Sarah (istri, 34 tahun) serta Charles (putra, 4 tahun), setelah menyantap jamur liar yang tumbuh di pekarangan rumahnya."

Pesan di monumen itu jelas, jangan sampai nasib buruk keluarga besar Gould terulang pada para penyuka jamur lainnya.

Riset kecil-kecilan

Di Indonesia, kasus keracunan jamur cukup sering terdengar. Tingkat keparahannya pun bermacam-macam. Ada yang dapat membuat pemakannya sekadar melayang-layang ke "alam" lain, tapi ada pula yang langsung mengirim penyantapnya ke surga atau neraka.

Jamur psilocybe, misalnya, dipercaya "hanya" memiliki efek halusinogenik, yang kalau dimakan atau dihisap seperti rokok akan menyebabkan halusinasi atau fly.

Namun, tak sedikit pula jamur yang mengandung racun serius. Senyawa mematikan pada jamur beracun ada beberapa macam. Kholin, misalnya, dikenal sebagai senyawa racun yang paling berbahaya dan paling mematikan.

(Baca juga: Inilah Jamur Paling Berbahaya di Dunia, Bisa Merusak Hati Bahkan Bisa Menyebabkan Kematian)

Semua jenis jamur yang disebut sapa upas mempunyai senyawa ini, seperti Amanita, Lepoita, Russula, Collybia, Boletus, dan sebagainya.

Senyawa lainnya, muskarin, tak kalah mematikan. Bayangkan, pada takaran 0,033 - 0,005 g saja, ia sudah dapat membuat menyandang nama almarhum. Seperti kholin, senyawa beracun ini juga terdapat pada semua jenis jamur yang tergolong supa upas.

Falin, atropin, dan asam halvelat merupakan racun lain pada jamur yang bahayanya tak beda jauh dengan muskarin.

Jika yang tertelan racun serius, korbannya jelas tak akan dimanjakan dengan halusinasi atau fly. Si korban malah menderita pusing kepala, yang biasanya disertai muntah-muntah. Jika pada tahap ini korban cepat ditangani, serangan sang racun mungkin saja masih dapat ditangkal.

Yang gawat, jika korbannya sendiri tak menyadari telah mengonsumsi racun jamur, atau penanganannya setelah teracuni sangat terlambat. Seperti yang terjadi pada keluarga Gould, nyawa akan sulit diselamatkan.

Agar tak terjebak racun, informasi tentang jamur yang hendak disantap - terutama informasi kandungan racunnya – menjadi faktor kunci yang harus dipahami setiap penggila makanan berbahan baku jamur.

Kalau perlu, lakukan riset kecil-kecilan mengenai ada tidaknya si racun ganas sebelum memutuskan memakan satu jenis jamur.

(Baca juga: Jupe Meninggal Dunia: Benarkah Jamur Shiitake dapat Membunuh Penyebab Kanker Serviks?)

Dari sekian belas ribu jenis jamur liar yang hidup di alam bebas, seperti di kebun, di hutan, di pekarangan rumah ataupun di taman-taman kota, memang baru beberapa ratus jenis yang sudah diketahui beracun atau tidaknya.

Dengan kata lain, masih lebih banyak jamur liar yang belum dikenal manfaat dan mudaratnya. Jamur seperti ini mesti disikapi dengan sangat hati-hati.

Bahkan, masyarakat tertentu yang dalam kehidupannya banyak memanfaatkan jamur pun masih banyak yang belum mampu mengungkap"isi" dari suatu jamur.

Sudah bukan rahasia lagi, penggunaan jamur sudah dikenal sejak zaman kebesaran Romawi Kuno, era keemasan Mesir Kuno, kejayaan suku Indian di Amerika, sampai ke tradisi masyarakat Cina atau India.

Ilmu prajurit

Karena banyaknya misteri yang menyelimuti sang jamur, sebaiknya kita memang tidak mudah tergoda pada bentuk fisiknya yang beraneka ragam atau kelirnya yang berwama-warni.

Jamur lapangan atau jamur liar, pada umumnya lebih banyak diidentifikasi sebagai jamur beracun. Lalu, bagaimana cara membedakan jamur layak makan dan jamur mematikan?

Apakah bentuk, warna, atau tempat tumbuhnya dapat dijadikan acuan untuk menentukan suatu jenis jamur beracun atau tidak? Jawabnya, ya.

(Baca juga: Kabar Bahagia Bagi Dunia Medis, Ternyata Jamur yang Tumbuh di Danau Bekas Tambang Bisa Jadi Antibiotik Baru)

Meski harus diakui, sampai saat ini, melihat dari sisi penampilan saja belum cukup, apalagi jika dijadikan acuan untuk membedakan tingkat keamanan sebuah jamur.

Cara ini juga tidak dapat menjadi pedoman yang harus dipercaya 100%, ketika kita menemukan jamur jenis baru di pekarangan atau saat berkemah di tengah hutan, misalnya.

Namun setidaknya, masih ada filter yang dapat mencegah masuknya racun jamur ke dalam perut.

Dari beberapa panduan sederhana yang biasa digunakan oleh para penjelajah hutan, misalnya, atau adopsi dari mata ajaran survival para calon prajurit pasukan elite di luar maupun dalam negeri, terungkap adanya beberapa pedoman yang dapat dijadikan bekal dalam menghadapi racun jamur.

Menurut "mata pelajaran" itu, jenis jamur beracun pada umumnya memiliki warna cukup mencolok mata. Misalnya, merah darah, hitam, cokelat, hijau tua, biru tua, dan sejenisnya.

Sebaliknya, menurut teori ini, jamur-jamur berwarna terang tergolong ke dalam kelompok yang dapat dimakan.

Namun, teori warna ini juga ada pengecualiannya. Sepanjang pengetahuan para ahli, jamur shiitake ternyata tidak mengandung racun, padahal ia berwama cokelat. Begitu juga dengan sejumlah jamur berkulit terang, di kemudian hari ternyata diketahui mengandung racun.

Jamur beracun biasanya juga memiliki ciri lain, yaitu berbau busuk akibat senyawa sulfida di dalamnya. Jamur beracun juga mengandung senyawa sianida yang membuat beragam serangga atau binatang kecil lainnya kalau bisa jangan menclok di situ.

Gampangnya, kalau lalat dan kawan-kawannya saja menjauh, masak kita mau mendekat, bahkan mengolahnya menjadi santapan makan malam?

Ciri lainnya, jika jamur beracun dikerat, kemudian dilekatkan dengan benda yang terbuat dari perak asli (pisau, sendok, garpu, atau cincin), pada permukaan benda-benda itu akan muncul warna hitam (karena sulfida) atau kebiruan (karena sianida).

Cara ini lumayan efektif jika kita Cuma punya sedikit waktu untuk menentukan suatu jamur beracun atau tidak saat sedang berkemah atau mendaki gunung, misalnya.

Namun, kalau punya waktu panjang dan mau sedikit repot, tips turun-temurun dari sejumlah desa di Nusantara ini layak dicoba.

Untuk memastikan ada tidaknya racun, kita masak atau pepes saja jamur yang dicurigai bersama nasi putih.

Jika warna nasi berubah menjadi cokelat, kuning, merah, atau hitam, besar kemungkinannya jamur itu beracun. Keruan, bukan cuma jamurnya yang harus dihindari, nasinya pun tak boleh disantap lagi.

Babi pelacak

Ada lagi? Tentu. Yang cukup menarik adalah cara yang biasa digunakan para pemburu jamur di beberapa negara Eropa, terutama tradisi-tradisi di negara-negara Skandinavia (Swedia, Norwegia, Denmark, dan sebagainya).

Ketika musim berburu jamur tiba, para pemburu biasanya akan membawa binatang "pelacak jamur" andalan.

Bukan anjing, tapi babi yang sebelumnya sudah diberi latihan khusus. Konon, babi-babi pelacak itu dapat membedakan mana jamur beracun dan mana yang tidak. Entah apakah trik itu bisa juga diterapkan (atau malah sudah dicoba) di Indonesia.

Yang pasti, para peneliti di sini biasanya bertanya pada penduduk setempat ketika menemukan sebuah jamur asing. Penduduk sekitar mestinya tahu, jenis jamur itu beracun atau aman untuk dimakan.

Tips terakhir, jika tak punya referensi atau informasi cukup, pikirkan kembali niat untuk memasak atau mengonsumsi jamur liar.

Kita tidak ingin musibah keluarga Gould menimpa diri kita bukan?

Ramuan arang pengusir racun

Keracunan akibat mengonsumsi jamur mempunyai beberapa gejala. Keracunan karena muskarin misalnya, setelah 5 - 10 menit, si pemakan biasanya akan mengeluarkan air mata, peluh, atau ludah. Gejala itu disambung dengan penyempitan pupil mata.

Berikutnya, dapat diikuti dengan sesak napas, sering buang air, pusing, lemah, pingsan, kejang-kejang, sampai akhirnya koma dan meninggal.

Jika disebabkan racun lainnya, 4 - 6 jam usai mengonsumsi jamurnya, si pemakan akan merasakan haus, sakit perut hebat, muntah-muntah, dan mencret (muntaber). Lama-kelamaan, korban akan mengalami shock, yang juga akan membawanya pada kematian.

Cara paling aman untuk keluar dari jeratan racun jamur liar ini tentu saja dengan meminta bantuan dokter. Dokter biasanya akan melakukan usaha simptomatik atau suportif, dengan memberikan thiosulfas natrikus.

Untuk penderita yang shock dapat diberi larutan garam fisiologis. Sedangkan pada penderita yang kondisinya gawat, dapat diberi suntikan 0,25 mg antropin.

Di beberapa daerah, sering juga digunakan obat penawar berupa ramuan alternatif. Ramuan itu terdiri atas dua bagian arang kayu (dapat diganti dengan bakaran roti atau beras sampai hangus), satu bagian garam inggris, dua bagian asam tannin (dapat diganti dengan teh kental).

Satu sendok ramuan di atas kemudian diseduh di dalam satu gelas air masak, lalu diminum.

Namun sekali lagi, mengunjungi dokter tetap jalan terbaik.

(Ditulis oleh H. Unus Suriawiria. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 2005)

Artikel Terkait