Advertorial
Intisari-Online.com -Situasi di Semenanjung Korea semakin hari semakin memanas.
Dilaporkan New York Post, Korea Selatan siap menggunakan bom grafit yang tidak mematikan—biasa disebut sebagai bom pemadam—untuk memutus jaringan listrik Korea Utara, jika nanti perang nuklir benar-benar terjadi.
Bom tersebut bekerja dengan cara menyebarkan filamen grafit karbon ke jaringan listrik yang ditarget.
(Baca juga:Ancaman AS untuk Hancurkan Korut Bukan Gertak Sambal, karena Pernah Dilakukan saat Perang Korea)
Masih dari sumber yang sama, bom ini dikembangkan oleh Badan Pengembangan Pertahanan Korea Selatan (ADD) sebagai bagian dari program serangan pendahuluan “Kill Chain”.
Serangan itu akan dilakukan bila musuh melancarkan serangan dalam waktu dekat.
“Semua teknologi untuk membangun bom tersebut telah diamankan, dan kami berada pada tahap bisa membuat bom itu kapan saja,” ujar seorang pejabat militer Korsel kepada Yonhap.
Kementerian Pertahanan telah meminta agar tahun depan disediakan anggaran sekitar 436 ribu dolar AS (sekitar Rp5,8 miliar) untuk pengembangan proyek tersebut—walau permintaan itu telah ditolak mentah-mentah oleh Kementerian Keuangan.
Bom itu sering disebut sebagai “bom lunak” karena hanya mempengaruhi sistem tenaga listrik yang menjadi target—tapi ia bekerja sangat efektif.
Bom ini pertama kali digunakan oleh AS saat berperang melawan Irak dalam Perang Teluk 1990. Saat itu, bom ini sukses menghancurkan sekitar 85 persen pasokan listrik di seluruh Irak.
(Baca juga:Militer AS Siapkan Pesawat Pengebom Nuklir Siluman untuk Menggempur Korut)
Bom ini juga pernah digunakan NATO saat melawan Serbia pada 1999, dan sukses merusak 70 persen pasokan listri di negara tersebut.
Para analis percaya bahwa bom tersebut akan bekerja dengan baik di Korea Utara, yang jaringan listriknya kuno dan tidak terisolasi.
Kita tahu, Korsel, yang sedang meningkatkan kemampuan pertahanannya melawan Korut, sangat ingin mengembangkan bom grafit karena dianggap tidak mematikan bagi warga sipil.
Negara sekutu AS itu menaikkan penyebaran “tiga pilar” pertahannya tiga tahun lalu sebagia akibat semakin gemarnya Kim Jong-un melakukan uji coba rudal.
Strategi itu sejatinya akan diperlakukan pada 2020-an, namun meningkatnya sifat ingin bertempur dan tidak dapat diprediksinya Pyongyang memaksa Seoul untuk mengubah garis waktu itu.
Program Kill Chain sendiri dirancang untuk mendeteksi, mengidentifikasi, dan mencegat rudal yang masuk dalam waktu sesingkat mungkin.
(Baca juga:Lucu, Tiga Wanita Ini Tertahan di Bandara Korea Selatan Gara-gara Wajah Mereka ‘Berubah’)
Komponen terakhir strategi itu adalah rencana Korea Massive Punishment and Retaliation, di mana Seoul akan menyerang pusat kepimimpinan Korea Utara jika ada tanda-tanda bahwa negara tersebut berencana menggunakan senjata nuklir.