Advertorial
Intisari-Online.com – Di Indonesia tak banyak surat kabar yang bisa berumur panjang. Saat ini hanya beberapa koran yang melewati usia 40 tahun.
(Tulisan ini ditulis oleh H. Rosihan Anwar, seorang wartawan senior, pada saat Intisari berulang tahun ke-40, tahun 2003).
--
Arnold Mononutu adalah nasionalis Indonesia Bagian Timur yang pro Republik Indonesia di zaman perjuangan kemerdekaan.Ia juga teman Bung Hatta semasa mahasiswa di Negeri Belanda tahun 1920-an.
Ketika Presiden Soekamo melarang terbit surat kabar Pedoman, Indonesia Rayadan Abadi, Januari 1961, tokoh yang akrab dipanggil Om No ini berkomentar di depan saya, "Koran-koran yang dibredel itu koran perjuangan zaman revolusi. Nilai sejarahnya dilenyapkan begitu saja. Tanda kita sebagai bangsa tidak tahu menghargai sejarah kita sendiri."
Dengan datangnya Orde Baru, ketiga koran itu terbit kembali. Namun, tidak lama. Pada Peristiwa Malari, Januari 1974, pemerintahan Soeharto memberangusmereka kembali.
Om No yang mantan Menteri Penerangan RI dalam Kabinet Wilopo (1952 - 1954) itu kembali berkomentar.
"Matematikan koran-koran itu menunjukkan pemerintah tidak mempunyai sense of history, nalar sejarah. Di India ada koran berusia lebih dari seabad, seperti The Hindu di Madras dan Times of India di Bombay.
Di India, tradisi dipertahankan dan warisan sejarah dihormati. Sedangkan di negeri kita hal itu dianggap enteng dan tidak penting. Bila pemerintah tidak senang terhadap koran yang beroposisi, ya langsung dicabut izin terbitnya. Bagaimana kita mau berkembang jadi dewasa sebagai bangsa?"
Di Amerika Serikat, Koran New York Times yang pertama terbit tahun 1851 kini (artikel ini ditulis pada 2003) berusia 152 tahun. Di Indonesia mustahil ada koran setua itu.
Jika dihitung sejak proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, ada beberapa koran saja yang bisa disebutkan. Kebanyakan sudah mati.
Didukung intellectual community
Koran yang terhitung panjang usia misalnya Kedaulatan Rakyat (KR) di Yogyakarta. Kini usianya lebih dari 40 tahun (sekarang 72 tahun). KR didirikan tanggal 27 September 1945.
Perintisnya, H. Samawi (1913 - 1984) dan M. Wonohito (1912 - 1984). Pada 1945 – 1946 KR dipimpin oleh Soemantoro sebagai pemimpin redaksi (pemred).
Ketika itu dia kerap mendampingi Ibrahim Tan Malaka yang tengah menggalang Persatuan Perjuangan sebagai oposisi terhadap kabinet Sjahrir yang melaksanakan kebijakan diplomasi dan perjuangan dalam menghadapi Belanda.
Soemantoro pula yang membawa Tan Malakake Solo untuk berbicara di konferensi pembentukan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 9 Februari 1946.
Setelah Wonohito, mantan mahasiswa Sekolah Hukum Tinggi (RHS) di Batavia memegang kendali redaksi, KR menjadi koran yang mendukung pemerintah dan bersikap moderat. Karena itu, KR selamat melalui badai politik.
KR adalah contoh community paper yang terbatas pada Daerah Istimewa Yogyakarta. la juga mendapat dukungan intellectual community seperti dari Universitas Gadjah Mada.
Kini dalam jajaran pimpinannya terdapat putra almarhum Wonohito, Dr. H. Soemadi M. Wonohito, S.H. sebagai direktur utama, Dr. Ir. Sapuan Gafar sebagai direktur keuangan, dan Drs. Oka Kusumayudha sebagai pemred.
Kabarnya, tiras KR mencapai 60.000 eksemplar tiap hari. Kini KR juga menerbitkan media cetak lain yang berada di bawah payung grup KR seperti Minggu Pagi, dan Iain-lain.
Tak jauh dari Yogyakarta, tepatnya di Semarang ada Harian Suara Merdeka. Pada awal 1950 koran ini dipimpin oleh Hetami, mahasiswa drop out dari Faculteit Letteren en Wijsbegeerta Batavia.
Di zaman Jepang Hetami bersama Gadis Rasid bekerja pada Harian Sinar Baroe yang pemrednya Parada Harahap.
Hetami bukan penulis yang menarik dan jenaka seperti Wonohito dalam kolom profilnya di Minggu Pagi. Kekuatan Hetami terletak pada keterampilannya menulis tajuk berita yang "catching" dan serta merta menangkap perhatian pembaca.
la teliti menyunting berita luar negeri yang pada waktu itu harus didengar dan dimonitor sendiri dari pesawat radio. la suka berita atau tulisan pendek, bernas, dan mudah dipahami.
Lay out Suara Merdeka dibuatnya khas, tidak sama dengan penampilan koran lain. Berkat kepemimpinannya, Suara Merdeka berkembang pesat, survive di tengah partijpolitiek zaman Orde Lama.
Setelah Hetami meninggal, ia digantikan oleh Ir. Santoso. Menantu Hetami ini kemudian menjelma menjadi manajer nomor wahid dan membawa Suara Merdeka ke tingkat sukses.
Praktis, koran itu dominan di Provinsi Jawa Tengah.
Santoso juga menerbitkan media cetak lain yang berada di bawah naungan Suara Merdeka, seperti Harian Sore Wawasan.
Waspada Pedoman Rakyat
Di Sumatra Utara juga ada harian tua lainnya, yaitu Waspada. Koran ini lahir 11 Januari 1947 dan dipimpin oleh Mohammad Said.
Suatu kali Said bercerita, "Ketika itu, Januari 1947, penduduk Kota Medan berjumlah 300.000 orang. Keadaan sangat sepi karena banyak penduduk yang telah mengungsi. De facto Kota Medan saat itu diperintah oleh Belanda, menyusul timbang terima dari tentara Inggris. Di jalan-jalan hanya terlihat orang Tionghoa. Mereka dilindungi Belanda dan Poh An Tui."
Berkali-kali Waspada dibredel Belanda, sehingga koran ini hidup senin-kemis. Mohammad Said dan istrinya, Ani Idrus, adalah wartawan yang dikenal dan akrab dengan masyarakat Sumatra Timur.
Maka, ketika Waspada terbit kembali setelah dibredel, penjualan ecerannya laris di Pasar Kesawan. Suatu hal yang unik, Harian Waspada mempunyai banyak pembaca di Provinsi Aceh.
Setelah Mohammad Said mengundurkan diri di tahun 1969, Ani Idrus mengambil alih pimpinan Waspada. Said tutup usia tahun 1995, Ani menyusul empat tahun kemudian. Kini, Waspada dikelola oleh putra-putri Mohammad Said-Ani Idrus.
Di Sulawesi Selatan juga terdapat harian berumur lebih dari 40 tahun. Namanya, Pedoman Rakyat. Harian ini terbit di Makassar.
Mulanya dipimpin oleh Henk Rondonuwu, Menteri Penerangan dalam pemerintah Negara Indonesia Timur (NIT). Namun, kemudian diambil alih oleh L.E. Manuhua.
Meskipun muncul di zaman Federal, surat kabar ini berorientasi pada Republik yang dipimpin oleh Soekamo-Hatta.
Ketika tahun 1987 diadakan Karya Latihan Wartawan (KLWPWI) di Makassar, posisi Pedoman Rakyat di masyarakat Sulawesi Selatan dikaji oleh para peserta.
Sebuah riset juga telah dilakukan oleh Prof. Abdul Muis, S.H., guru besar di Universitas Hasanuddin.
Salah satu hasil temuannya adalah minat baca rakyat Sulawesi Selatan pada umumnya kurang. Ada petani yang mampu membeli pesawat televisi yang dinyalakan menggunakan aki.
Di desa-desa terdapat lemari es, tetapi karena tidak ada aliran listrik, alat penyimpan bahan makanan berpendingin ini tidak bisa difungsikan.
Akibatnya, refrigerator tersebut dipakai untuk menyimpan baju. Sementara, tidak terpikirkan oleh mereka untuk membaca surat kabar seperti Pedoman Rakyat.
Koran ini sampai sekarang masih ada, tetapi Manuhua sudah sakit-sakitan. Pedoman Rakyat terus begitu saja.
Tua semu
Selain surat kabar yang benar-benar berusia lebih lebih dari 40 tahun, ada pula harian yang telah berusia lebih dari 40 tahun meski tidak sesungguhnya.
Koran Merdeka, misalnya. Koran ini terbit pertama kali 1 Oktober 1945. B.M. Diah jadi pemimpin umum/pemimpin redaksi, sedangkan redaktur pelaksananya Rosihan Anwar.
Keduanya pada akhir 1946 berpisah karena konflik soal kepemilikan surat kabar itu. Diah mengklaim Merdeka milik pribadinya. Rosihan Anwar melawan dengan menyatakan, Merdeka milik bersama wartawan dan karyawan.
Akhirnya, Rosihan mendirikan Pedoman yang mencapai posisi bagus pada dasawarsa 1950-an. Diah mengoperasikan Merdeka.
Lalu, dia bekerja sama dengan Dahlan Iskan, bos grup Jawa Pos untuk mengelola Harian Merdeka. Pecah kongsi toh terjadi kembali.
Merdeka berubah nama menjadi Rakyat Merdeka dan kepemilikannya dikuasai sepenuhnya oleh Jawa Pos.
Merdeka yang dahulu koran keluarga, sudah almarhum. Jadi, tak bisa lagi dicatat sebagai koran berusia lebih dari 40 tahun.
Koran lain yang tua semu ialah Pikiran Rakyat (PR) di Bandung. Pada awal 1950 koran ini dipimpin oleh wartawan A.Z. Palindih dan Djamal Ali.
Koran ini pun sempat menghadapi kesulitan internal. Antara pimpinan dan wartawan timbul ketidakharmonisan. Dari kalangan ekstemal, datang tekanan golongan komunis.
Serangan Partai Komunis Indonesia (PKI) begitu gencar, sehingga PR harus mencari perlindungan pada Kodam Siliwangi.
Caranya, dengan mengganti nama untuk sementara waktu dan berafiliasi dengan tentara.
Akhirnya, Sakti Alamsyah bersama beberapa rekannya seperti Atang Ruswita mendirikan Pikiran Rakyat gaya baru yang berkembang menjadi surat kabar terkemuka di Jawa Barat.
Setelah Atang Ruswita mengambil alih manajemen PR dari Sakti Alamsyah yang tutup usia, maka harian ini berkembang baik sekali.
Kini grup PR memiliki media cetak di berbagai kota di Jawa Barat. Namun, dihitung dari saat PR gaya baru terbit, usianya belum mencapai 40 tahun.
(Pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 2003)