Advertorial

Inilah Kisah Pierluigi Collina, Wasit Sepakbola yang ‘Galak’ dan Selalu ‘Ditolak’ Klub Besar

Moh Habib Asyhad

Editor

Intisari-Online.com – Sebagai anggota korps men in black (baca: wasit), sosoknya gampang dikenali. Kepalanya plontos, tatapannya tajam, bola matanya bulat besar. Sabdanya tegas, susah diganggu gugat.

Pierluigi Collina, hakim lapangan hijau terbaik dunia dalam lima tahun terakhir memang menyimpan pesona, sekaligus misteri.

Mengapa di tanah kelahirannya, ada klub besar yang ogah diwasiti si "Kojak" ini?

(Baca juga:Profesi Lain Para Wasit di Piala Dunia 2014, dari Polisi Hingga Arsitek)

Collina memang bukan malaikat, karena dia juga tak luput dari kesalahan saat memimpin pertandingan.

Namun, sebagai manusia normal, prestasi pria kelahiran Bologna, Italia, di kancah perwasitan boleh dibilang luar biasa.

Anak semata wayang pasangan Elia (pegawai negeri) dan Luciana (guru SD) itu tercatat sebagai pemegang penghargaan Premio Bernardi sebagai wasit pendatang baru terbaik Seri A (Liga Utama Italia) pada musim kompetisi 1991/1992.

Dia juga menerima Premio Dattilo (wasit internasional Italia) terbaik 1996/1997 serta Premio Mauro (wasit terbaik) Serie A 1998/1999.

Selain penghargaan dari Asosiasi Wasit Italia, hasil poling Asosiasi Pesepakbola Italia juga menghadiahkan medali Oscar del Calcio buat Collina pada 1997, 1998, dan 2000.

Bahkan induk organisasi sepakbola sejagad, FIFA, memilihnya sebagai wasit terbaik empat kali dalam lima tahun terakhir: 1998, 1999, 2000, dan 2001. '

Puncak prestasi diukir Collina saat FIFA mempercayainya menghakimi partai final Piala Dunia 2002. Duel yang sangat diidam-idamkan wasit di seluruh dunia itu begitu berkesan buat pria 42 tahun ini.

“Saya sangat bangga. Penunjukan ini juga penghormatan buat dunia perwasitan Italia," ucap bapak dua anak kelahiran 13 February 1960 itu.

Collina sekaligus mencatat sejarah sebagai wasit Italia kedua yang pernah memimpin final Piala Dunia setelah Sergio Gonella pada 1978.

Pelanggan kartu merah

Padahal, ini ajaibnya, Pierluigi ternyata memulai kariernya di geng serba hitam secara tidak sengaja. Selepas SMU, suami Gianna ini melanjutkan sekolahnya ke Fakultas Ekonomi Universitas Bologna dan lulus dengan sangat memuaskan pada 1984.

Bahkan sejak kecil, tim olahraga favoritnya bukanlah kesebelasan sepakbola, tapi tim basket Fortitudo asal Bologna yang sangat disegani di Seri A-nya basket Italia.

Sejak 1991, dia tinggal di Viareggio dan membina karier sebagai penasihat keuangan, hingga kini.

Akan tetapi, seperti kebanyakan kawan sebayanya, Collina kecil juga gemar menyepak si kulit bundar. Masa kecilnya dihabiskan di kesebelasan Don Orione, Bologna.

Hanya saja, lantaran lebih sering duduk di bangku pemain cadangan, dia akhirnya hijrah ke Klub Pallavicini.

Uniknya, dua tahun bermain sebagai bek tengah, pria yang fasih berbicara dalam beberapa bahasa (termasuk Inggris) itu ternyata cukup sering diganjar kartu merah, lantaran ganjalan-ganjalannya dianggap membahayakan.

Tampaknya, pengalaman sebagai mantan pelanggan kartu merah itulah bekal awal Collina di lapangan hijau.

Sebelum berhak mengusir pemain dari lapangan, dia sudah merasakan sendiri pahitnya diusir wasit.

Suatu ketika, Collina muda cedera. Ketimbang bengong, seorang teman SMPnya Fausto Capuano mengajak remaja cerdas ini mengikuti kursus wasit.

Tak dinyana, aksi iseng-iseng di tahun 1977 itu membuat Pierluigi jatuh cinta.

"Sampai umur 17 tahun, saya masih bermain sepakbola. Tapi setelah kursus wasit, semuanya berubah. Mungkin karena saya bukan pemain bola yang jago banget, ya," jawabnya ketika ditanya mengapa tak meneruskan karier sebagai pesepakbola.

Dasar berbakat, Pierluigi Cuma butuh waktu tiga tahun untuk langsung berkancah di level regional.

Tahun 1983, dia sudah lulus ujian tingkat nasional dan mulai berkeliling Italia. Sedangkan tahun 1988, sudah mewasiti divisi tiga.

Setelah itu, jalan menuju Seri A dan Seri B seperti terbuka lebar. Tahun 1991 menjadi tahun keberuntungan buat Collina. Selain sukses meminang dan menikahi Gianna, di tahun itu pula, tepatnya 15 Desember 1991, dia memuiai langkah besarnya di Seri A, saat Verona menjamu Ascoli.

Ketika itu kepala plontos ala Telly Savdlris-nya mulai dikenal khalayak dan menjadi trade mark penampilan wasit partai final sepakbola Olimpiade Atlanta 1996 itu.

Jalan kian halus mulus setelah tahun 1995, namanya masuk daftar wasit eksklusif FIFA.

Apa sebenarnya modal dasar Collina? Orang Italia bilang, si plontos ini memang lahir ke dunia khusus untuk menjadi pengadil lapangan hijau.

Hakim langganan event penting internasional itu dinilai memiliki karakter sangat pas, yang nyaris membuatnya sempurna.

Fans beratnya di Indonesia bahkan menyebut "sifat teladan wasit" sudah menempel erat di nama Collina itu sendiri: (C)ermat, (O)bjektif, (L)ihai, (L)ugas, (I)novatif, (N)etral, (A)dil. Weleh, welehl

Praktiknya, Collina memang tipikal wasit yang begitu teguh meyakini setiap keputusan yang diambil.

Bila sudah bilang A, tak sedikit pun terpancar keraguan di wajahnya, apalagi untuk mengubahnya menjadi B.

Sepintas terkesan galak, tapi karena selalu dilaksanakan dengan konsisten, justru menjadi kunci kekuatan Collina.

Kekuatan yang membuat para pemain menaruh kepercayaan penuh pada sistem, sehingga bisa mengeluarkan kemampuan terbaik mereka.

Para pengamat juga menyebut Collina sebagai orang yang sangat teliti dan mau bersusah payah demi mendapatkan posisi sedekat mungkin dengan pusat permainan.

Saat memberi hadiah penalti buat Inggris di partai melawan Argentina (Piala Dunia 2002) contohnya.

Tayangan ulang menunjukkan, Michael Owen sempat meloncat untuk menghindari jegalan bek Pabio Pochettino.

Namun, Pablo sendiri terlihat menyodorkan kakinya melintang di depan Owen, meski bola sudah melewati mereka.

Para pemain Argentina yang hendak memprotes membatalkan niatnya karena Collina benar-benar berada di tempat kejadian perkara.

Jika sedang menjadi orang ke-23 di lapangan hijau, Collina memang menjadi sangat serius. Hal ini lantaran dia menganggap semua pertandingan berat.

"Seperti pemain, wasit juga harus berkonsentrasi penuh pada setiap pertandingan yang dipimpinnya. Jika sebuah tim sepakbola menjalani sebuah pertandingan dengan setengah hati, mereka pasti akan dilibas lawannya. Begitu juga dengan wasit. Kalau enggak serius, dia akan 'kalah', terang ayah Francesca Romaha dan Carolina ini.

Gading retak

Collina juga bernyali besar. Jika ada pemain yang cenderung meneror dan bersikap di luar batas, pria bermata tajam itu bisa bersikap lebih keras lagi.

Tak heran dia selalu memiliki bargaining power kuat di mata para pemain. la pun dikenal sebagai wasit ygng selalu punya persiapan istimewa sebelum tampil di lapangan hijau.

"Saya selalu ingin menjadi bagian dari wasit-wasit terbaik dunia. Motivasi seperti itu sangat penting," katanya.

"Sebagai wasit, tugas saya bukan mengubah permainan. Tapi memuaskan semua orang," imbuhnya.

Masih kata Collina, dia merasa wajib menjaga tontonan sepakbola dengan melindungi para seniman kulit bundar dari cedera, serta mengawasi dengan ketat aksi-aksi diving.

"Pemain harus disadarkan terus-menerus pentingnya menghormati rekan seprolesi. Di Italia, kami berkampanye untuk meninggalkan permainan kasar selama bertahun-tahun. Hasilnya, jumlah pemain yang cedera makin berkurang."

Namun, sekuat apa pun karakter Collina, toh dia tetap bisa berbuat kesalahan. Klub AS Roma bahkan secara resmi meminta Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) agar tak lagi menugaskan wasit kelas dunia itu pada pertandingan mereka selanjutnya.

AS Roma menganggap Collina "membantu" AC Milan menang I - 0 dalam pertemuan kedua klub raksasa itu akhir tahun lalu. Karena gol Filippo Inzaghi pada babak kedua terjadi setelah dia menahan umpan Andriy Shevchenko dengan tangan.

Pieriuigi Collina sebenarnya sempat meragukan gol itu, tapi setelah berbicara dengan penjaga garis, dia akhirnya mensahkan gol semata wayang itu.

Kejadian kedua, saat AS Roma menghadapi Inter Milan. Collina tidak memberikan penalti untuk Roma; ketika Ivan Cordoba menarik kaus Vincenzo Montella.

Padahal, saat itu Montella sedang berancang-ancang menembak ke arah gawang. Sial buat Collina, tayangan ulang televisi menunjukkan, Cordoba jelas-jelas melakukan pelanggaran.

Si "Kojak" juga melakukan kesalahan menjelang akhir pertandingan, dengan memberikan lemparan ke dalam untuk Inter, yang berbuah gol.

Padahal, bukti foto menunjukkan, pemain terakhir yang menyentuh bola adalah pemain Inter, bukan pemain belakang AS Roma, Jonathan Zebina.

Dalam dakwaannya, Collina juga dianggap membuat kesalahan saat memimpin partai AS.Roma melawan Bologna, Modena, Brescia, Lazio, Perugia, Piacenza, dan Parma.

Peristiwa yang menurunkan kredibilitas Collina itu membuka mata, wasit berdedikasi tinggi dan intelek sekelas Pieriuigi pun bisa berbuat salah.

Belakangan, malah bukan cuma Roma yang bersuara senada. Mulai habiskah Collina? Melihat penampilannya di Piala Dunia, mestinya tidak.

Dia tetap pengadil yang akurat. Di Italia pun, hingga Januari 2003 (lepas dari kinerjanya), Collina tetap sosok favorit Asosiasi Wasit Italia.

Wasit yang berdomisili di Viareggio ini tetap mendapat "jatah" lebih banyak ketimbang hakim-hakim lainnya.

Jadi, apa kira-kira penyebab datangnya protes terhadap Collina di Italia? Banyak yang menduga, menurunnya kinerja "Mr. Kojak" itu bukan semata lantaran bertambahnya usia.

Tapi juga kejenuhan dan preferensi pada klub tertentu yang secara alamiah dimiliki setiap pencinta sepakbola, termasuk wasit.

Malang melintang bertahun-tahun di dunia perwasitan jelas bukan pekerjaan yang tak menjemukan.

Sebagai pengadil kelas dunia, Collina sudah mendapatkan semuanya. Ia barangkali butuh tantangan baru.

Kolomnis Italia Gabriele Marcotti pernah menyebut sebuah pendekatan menarik untuk memperbaiki kinerja wasit.

Terutama mereka yang berkiprah di kompetisi lokal nan ketat, seperti Seri A atau Premier League. Yakhi dengan saling bertukar wasit, terutama buat partai-partai berpotensi konflik tinggi.

Jika hakim Skandinavia dipinjam mengadili partai gengsi Juventus - AC Milan, misalnya, dia tak akan terpengaruh perang kepentingan dan urat saraf dua klub besar tadi.

Enaknya, sang wasit pun bisa sekalian refereshing dan memperkaya wawasan, sehingga berpeluang mengurangi preferensi pada klub tertentu.

Namun, Marcotti mengakui, supaya berjalan lancar, standardisasi sistem perwasitan kudu dilakukan. Termasuk menjejali wasit dengan pengetahuan pola kompetisi masing-masing negara.

Contohnya, definisi "pelanggaran" di Spanyol mungkin sedikit beda dengan di Inggris dan Jerman.

Data menunjukkan, wasit di Premier League Inggris meniupkan peluit pelanggaran 30% lebih sedikit ketimbang pengadil di Primera Spanyol.

Pierluigi Collina sendiri kabarnya pernah diundang memimpin partai keras yang mempertemukan klub-klub elite Liga Prancis.

Nah, kalau tradisi seperti ini dijalankan FIFA, fisik dan mental Collina dan kawan-kawan barangkali akan lebih terjaga.Sepakbola pun kian mempesona.

Tips dari si “Kojak” buat calon wasit

Menjadi wasit gampang. Tapi menjadi pengadil yang benar-benar adil dan profesional, jelas tak semudah bicara.

Selain modal karakter kuat seperti dimiliki Collina, cukup banyak persyaratan yang kudu dipenuhi.

Inilah sedikit dari sekian banyak syarat mewasiti pertandingan dengan baik dan benar versi Pierluigi "Kojak" Collina.

1. Inventarisasi tantangan dunia perwasitan. Dibanding 20 tahun lalu, peradilan, lapangan hijau sekarang jauh berkembang. Masuknya sepakbola ke televisi membuatnya ditonton jutaan orang. Tiap pertandingan di Euro 2000, misalnya, disiarkan langsung oleh 18 kamera dari 18 poisi berbeda. Makin cepat teknologi berkembang, kian besar tantangan wasit.

2. Jangan lawan teknologi, tapi manfaatkan. Dulu televisi tak dapat menayangkan ulang sebuah peristiwa di lapangan. Kini, lewat gerakan lambat dan olah rekam, keputusan wasit bisa ditelanjangi dalam hitungan detik. Tapi jangan sakit hati, belajarlah dari kesalahan yang ditayangkan televisi. Namanya juga manusia, kesalahan bisa terjadi kapan saja, di mana saja.

3. Sepakbola itu permainan yang mengandalkan kecepatan. Beberapa tahun belakangan bahkan makin kencang. Kondisi fisik yang bagus sangat dibutuhkan, agar bisa selalu berlari, mendekati, dan mengetahui persis sebagian besar peristiwa di lapangan. Jaga juga kondisi mental, karena sepanjang pertandingan wasit harus bisa berkonsentrasi penuh.

4. Pengadil yang baik harus mengikuti perkembangan dunia sepakbola. Dia harus tahu bagaimana seorang pemain dan sebuah tim bermain. Di era sepakbola modern, pemahaman karakter sangat penting. Jadi, sempatkan waktu mempelajari permainan mereka lewat video tape.

5. Jika ingin berkarier sebagai wasit internasional, tentu harus menguasai beberapa bahasa. Bagaimana mau berkomunikasi dengan pemain, kalau bahasa mereka enggak Anda mengerti?

6. Kiwari, seorang wasit kelas dunia harus menghabiskan waktu berjamjam untuk persiapan sebuah pertandingan. Begitu menyita waktu dan perhatian. So, sudah pantaskah profesi wasit dijadikan ladang mencari uang? Si "Kojak" cuma menjawab singkat, "Enggak tahu ya, susah juga ngejawabnya." Hmm, analisis sendiri maksud perkataan Collina. Soalnya, dia sendiri hingga kini masih berkarier sebagai penasihat keuangan yang cukup sukses. (Muhammad Sulhi)

(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 2003, dengan judul Collina Galak, Collina Ditolak)

Artikel Terkait