Advertorial
Intisari-Online.com -Tak lama setelah dilantik menjadi presiden untuk pertama kalinya, Presiden Soeharto langsung melakukan lawatan luar negeri.
Hal itu lumrah mengingat seorang presiden baru juga memerlukan dukungan internasional.
Negara yang dituju oleh putra Kemukus itu adalah Jepang dan Kamboja.
(Baca juga:Genjer, Lagunya Lekat dengan PKI, Sayurnya Kaya Manfaat)
Kunjungan ke Jepang jelas mecerminkan silaturahmi dengan negara sekutu AS, yang disebut telah member dukungan politis dalam membasmi komunis di Indones.
Tapi kunjungan kedua Pak Harto ke Kamboja, yang condong ke komunis, pada 1 April 1968 jelas mengandung risiko.
Perdana Menteri Kamboja saat itu, Norodom Sihanouk, meskipun berasal dari Partai Demokrat, secara politik lebih dekat dengan negara komunis Rusia, China, dan Korea Utara.
Sihanouk juga merupakan teman dekat Bung Karno. Saat itu di Kamboja juga masih eksis Partai Komunis yang sangat berpengaruh, Pracheachon.
Kunjungan Pak Harto ke Kamboja dengan tujuan agar mencapai keseimbangan politik luar negeri. Ibarat kata, baik yang pro-Amerika maupun pro-komunis harus sama-sama dikunjungi.
Kedatangan Pak Harto ke Kamboja sebenarnya membuat Sihanouk sangat ketakutan.
Bagaimanapun juga, Soeharto sedang gencar-genacrnya melakukan penumpasan komunis di Indonesia. Kehadiran Pak Harto dikhawatirkan bisa menimbulkan masalah bagi pendukung komunis di Kamboja.
Sihanouk khawatir jangan-jangan massa pendukung Pracheachon melakukan unjuk rasa sehingga bisa memicu kerusuhan.
Tapi kunjungan Pak Harto ke Kamhoja ternyata disambut oleh rakyat Kamboja dengan meriah dan penuh suka cita.
Menurut Duta Besar RI untuk Kamboja saat itu (1968), Marsekal Muda Boediardjo, seperti tertulis dalam buku otobiografinya Siapa Sudi Saya Dongengi, untuk menyambut Pak Harto meriam dibunyikan sebanyak 21 kali dan ribuan orang dikerahkan berkumpul di stadion serta membentuk konfigurasi raksasa yang berbunyi “Hidup Presiden Soeharto”.
Tapi di tengah sambutan yang gegap-gempita dan membuat bangga Pak Harto itu tiba-tiba ribuan rakyat Kamboja menari dan menyanyi dengan lagu yang sangat mengejutkan: Genjer-Genjer.
Tembang Genjer-Genjer adalah lagu rakyat Banyuwangi yang dianggap punya kedekatan dengan PKI.
Sebagai seorang tentara Boediardjo segera berbisik kepada Seoharto bahwa dirinyalah yang salah karena tidak melakukan penelitian terhadap lagu-lagu yang akan dinyanyikan rakyat Kamboja dalam acara sambutannya.
(Baca juga:4 Taktik yang Harus Dijalankan Soeharto untuk Mengakhiri Kisah Petualangan 'G30S' di Ibukota)
Boediardjo menyatakan bertanggung jawab atas keteledoran itu dan Soeharto ternyata hanya diam saja dengan senyumanya yang misterius.
Setelah kejadian itu karier Boediharjo justru semakin melejit. Ia dipercaya oleh Presiden menjadi Menteri Penerangan dari tahun 1968 hingga 1973.