Intisari-online.com - Indonesia semasa zaman Perang Kemerdekaan. Pemuda Soeharto menjadi tentara. Pemudi Sri Hartinah aktif di Laskar Wanita (Laswi) dan Palang Merah Indonesia.
Namun jangan pernah membayangkang mereka bertemu di medan juang. Si tentara terluka dan sang wanita PMI membalut lukanya dengan selendang laiknya film-film romantis.
Kisah cinta Soeharto, presiden kedua republik ini jauh dari itu semua. Toh tak berarti romansa mereka biasa-biasa saja. Mereka saling mencintai tanpa hiruk pikuk. Cinta yang mewujud dalam setiap laku dan napas.
Hingga akhir hayat, hanya ada satu nama wanita di hati Soeharto, juga hanya ada satu nama pria di hati Tien, sapaan Sri Hartinah. “Kami, istri saya dan saya, memang sama-sama setia, saling mencintai, penuh pengertian, dan saling memercayai” - Soeharto.
MEMORI BANGKU SEKOLAH
Soeharto dan Hartinah sudah saling kenal sejak kanak-kanak. Keduanya sama-sama bersekolah di satu SMP, di Wonogiri, Jawa Tengah.
Di sana, Hartinah merupakan adik kelas Soeharto. Kebetulan dia satu kelas dengan Sulardi, sepupu Soeharto.
Soeharto sendiri diceritakan tak pernah menunjukkan tanda-tdanda naksir kepada Hartinah. Justru Hartinah yang sempat berkelakar kepada Sulardi bahwa suati saat nanti dirinya akan menjadi kakak ipar Sulardi.
Selepas sekolah, keduanya berpisah. Soeharto melanjutkan ke PETA dan terjun ke dunia ketentaraan. Sementara Hartinah aktif di Laswi dan PMI.
(Konsumsi Ini Sebelum Sarapan Agar Racun Tubuh Hilang)
KETIKA NYALI SOEHARTO CIUT
Yogyakarta, 1947. Suatu hari, Soeharto yang sudah menginjak 27 tahun, bertandang ke kediaman keluarga Prawirowiardjo yang lama mengasuhnya.
Keluarga bibi dan pamannya itu belum lama pindah ke Yogyakarta dari Wuryantoro, Wonogiri.
"Harto," kata Bu Prawiro, adik Pak Karto, ayahanda Soeharto.
"Sekarang umurmu sudah 27 tahun," lanjutnya, "Sekalipun engkau bukan anakku sendiri, aku sudah mengasuhmu sejak ayahmu mempercayakan engkau pada kami. Aku pikir, sebaiknya segera mencarikan istri untukmu."
O.G. Roeder dalam Soeharto--Dari Pradjurit Sampai Presiden, buku biografi pertama presiden kedua RI, mengisahkan, bahwa Soeharto sempat ngeles menyikapi tawaran bibinya.
Dia beralasan masih ingin berkonsentrasi di dunia militer. Tapi setelah dibujuk terus menerus, akhirnya Soeharto luruh juga.
Dia pun berkata, siapa kiranya yang akan dijodohkan dengan dirinya.
Bu Prawiro tersenyum. Dia berkata pelan bahwa Soeharto sebenarnya sudah kenal dengan gadis tersebut.
“Masih ingatkah kamu dengan Sri Hartinah,” kata Bu Prawiro eperti dikisahkan di buku Falsafah Cinta Sejati Ibu Tien dan Pak Harto.
Soeharto mana mungkin lupa. Adik kelas manis yang suka mengolok-olok sepupunya sebagai adik ipar.
Mendadak nyali Soeharto menciut. Hartinah adalah keluarga ningrat. Putri RM Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmati Hatmohoedojo, wedana dari Kraton Mangkunegaran, Surakarta. Mana mungkin pria dari kelas bawah macam dirinya, bisa bersanding dengan putri ningrat. Begitu pikir Soeharto. "Tapi bu, apakah orangtuanya akan setuju? Saya orang kampung biasa. Dia orang ningrat…"
Bu Prawiro meyakinkan bahwa dirinya cukup dekat dengan keluarga Soemoharjomo. Selain itu, “Keadaan sudah berubah,” terang Bu Prawiro.
Hartinah sendiri dikabarkan sempat membuat pusing keluarganya. Sebab berkali-kali dia menolak lamaran banyak pria yang meminangnya.
(Beriniat Resign? Pahami Dulu Aturan Pemberian Komisi Untuk Karyawan Yang Resign Ini)
CINTA DATANG KARENA TERBIASA
Tak lama setelah pertemuan itu, Soeharto dan keluarga bibinya berkunjung ke rumah Soemoharjomo di Solo, dipertemukan untuk pertama kalinya dengan Hartinh, calon istrinya.
Dalam pertemuan yang dalam adat Jawa disebut “nontoni” itu pun Soeharto masih belum percaya diri, “apakah dia akan benar-benar suka kepada saya?” Soeharto membatin.
Kenyataannya, keluarga Soemoharjomo menerima pinangan Soeharto. Pernikahan dilakukan pada 26 Desember 1947. Resepsinya sangat sederhana. Pada malam hari hanya bercahayakan temaram lilin. Tak dihadiri banyak tamu. Saat itu Soeharto berumur 26 dan Hartinah 24.
Menurut RE. Elson dalam Suharto: Sebuah Biografi Politik, hubungan cinta dua sejoli yang berbeda latar belakang status sosial itu diuntungkan oleh situasi zaman revolusi.
Era revolusi memungkinkan seorang pemuda desa seperti Soeharto memiliki “pamor” karena berkecimpung sebagai perwira militer yang memiliki tempat terhormat pada masa itu.
Itulah yang membuat gambaran Soeharto berbeda di depan mata calon mertuanya, selain tentu saja karena hubungan dekat keluarga pamannya dengan orangtua Hartinah.
“Perkawinan kami tidak didahului dengan cinta-cintaan seperti yang dialami oleh anak muda di tahun delapan puluhan sekarang ini. Kami berpegang pada pepatah, ‘witing tresna jalaran saka kulina,” kata Soeharto kepada Ramadhan KH, dalam Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya.
HINGGA MAUT MEMISAHKAN
Tak ada bulan madu bagi mereka karena tiga hari setelah pernikahan, Soeharto harus kembali ke Yogyakarta untuk berdinas. Mereka pun tinggal di Jalan Merbabu Nomor 2.
Seminggu setelah itu, Soeharto harus meninggalkan sang istri karena ditugaskan ke Ambarawa untuk menghadapi serangan Belanda dari Semarang.
Menjadi istri tentara di zaman Perang kemerdekaan memang berat. Bahkan, saat harus melahirkan anak pertamanya, Hartinah terpaksa tak bisa ditemani Soeharto yang sedang bertempur. Meski begitu, dia tetap tegar dan setia.
Pernah suatu hari, Soeharto terlihat penat karena tugas militer dan hampir menyerah. Hartinah dengan lembut berkata, “Aku dulu menikah dengan tentara, bukan dengan sopir. Jadilah tentara yang bermartabat.”
Pepatah bahwa di belakang pria hebat pasti ada wanita yang tangguh sepertinya memang benar adanya.
Dalam otobiografinya, Soeharto menulis ia dan sang istri selalu menjaga ketentraman rumah tangga dengan cinta dan pengertian.
Tak bisa dipungkiri, cinta kasih dan dukungan yang diberikan Hartinah menjadi pendorong karir Soeharto sebagai presiden.
Laiknya pasangan lain, cemburu dan cekcok suami istri juga dialami Soeharto. Namun baik Soeharto maupun Hartinah bisa menempatkan kecemburuan secara bijak.
"Hanya ada satu Nyonya Soeharto dan tidak ada lagi yang lainnya. Jika ada, akan timbul pemberontakan yang terbuka di dalam rumah tangga Soeharto," demikian tulis kata Pak Harto.
Selama 49 tahun mereka hidup berdampingan. Sampai Hartinah berpulang pada 1996. Dan, 12 tahun kemudian, Soeharto menyusul wanita terkasihnya untuk kembali bersama.