Advertorial
Intisari-Online.com – Pengkhianatan Gerakan 30 September 1965 terjadi tepat 52 tahun yang lalu. Kami menggali beberapa peristiwa yang tak banyak diingat orang lagi dari Kompas dan Sinar Harapan terbitan waktu itu.
(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1990, ketika itu peristiwa G30S baru berlangsung 25 tahun).
Sana makan!
Tidak selalu ABRI menggunakan senjata untuk menaklukkan musuh. Misalnya saja ketika mereka berusaha merebut kembali RRI Semarang yang waktu itu sempat diduduki komplotan Gestapu.
(Baca juga:Mengenang G30S: Ilham Aidit Nyaris Ikut Dihabisi oleh para Tentara, Jika Bukan karena Ini)
Sementara RRI mengumandangkan siaran-siaran yang disponsori PKI, salah seorang penjaga bersenjata di luar gedung RRI sudah mulai lesu.
Seorang anggota ABRI mendekatinya, lalu menegur, "Bertugas, Bung?"
“Ya," jawabnya.
"Sudah makan?"
"Belum."
"Sana makan dulu di belakang. Kumpulkan dan ajak kawan-kawan yang lain."
Si penjaga langsung beranjak dengan mengajak kawan-kawannya. Pada saat itu juga kesatuan ABRI segera menyergap dan berhasil melucuti senjata mereka tanpa mendapat perlawanan sedikit pun. Studio RRI Semarang berhasil direbut kembali.
(Sinar Harapan, Minggu, 17 Oktober 1965)
Haus
Taktik memang kadang-kadang lebih ampuh daripada perlawanan langsung. Misalnya saja ketika Brigjen Surjo Sumpeno yang waktu itu Pangdam VII Diponegoro didatangi seorang kapten yang berkata,
"Jenderal, mulai sekarang, Jenderal ditahan."
"Tahan boleh saja, tapi saya haus. Coba, tolong ambilkan teh dulu," sahutnya.
Maka pergilah si kapten mencari teh dan Brigjen Surjo Sumpeno memanfaatkan kesempatan itu untuk meloloskan diri. Beberapa waktu kemudian sebuah batalyon dan pasukan taruna AMN (sekarang AKABRI) di bawah pitnpinan sang brigjen bergerak membebaskan Yogya dan kemudian Solo. •
(Kompas, Selasa, 12 Oktober 1965)
Gara-gara knalpot
Sebuah truk melewati istana kepresidenan di Cipanas. Satuan Cakrabirawa yang bertugas menjaga istana mengira mendengar tembakan.
Mereka membalas sambil tak lupa memadamkan penerangan di istana. Satuan-satuan angkatan darat yang bertugas mengawasi istana tersebut agaknya mengira tembakan itu diarahkan kepada mereka.
Maka mereka pun membalas menembak ke istana. Untunglah beberapa anggota satuan AD berinisiatif merangkak mendekat ke istana untuk menanyakan duduk perkaranya.
Siapa sangka yang semula dikira tembakan oleh pasukan Cakrabirawa adalah letupan-letupan knalpot bocor dari truk yang tadi lewat.
(Kompas, Selasa, 26 Oktober 1965)
Grogi
Jam malam ternyata kurang cocok untuk orang-orang yang gampang grogi. Ini dialami oleh seorang petugas (tidak disebutkan petugas apa) ketika ia melewati pos penjagaan.
"Batu," penjaga yang bersenjatakan bedil menyapanya.
Si petugas sadar betul bahwa ia harus menyahut dengan kata sandi tertentu. Tapi apa, ya? Padahal ia tak mempunyai pas malam. Keringat dingin mulai mengucur.
"Batu," penjaga berteriak.
Ia belum juga ingat.
Penjaga memberinya kesempatan satu kali lagi dengan meneriakkan, "Batu!"
Si penjaga nekat saja menjawab, "Genteng."
Kontan ia diciduk, karena yang betul hanya huruf awalnya saja. Kata sandi yang harus diucapkannya malam itu adalah, "Gading".
Syukurlah, usut punya usut, akhirnya ia dibebaskan juga.
Masalah semacam inilah yang membuat petugas-petugas malam yang gampang grogi membuat contekan di telapak tangannya. Memang kerahasiaannya jadi berkurang, tapi apa boleh buat? •
(Sinar Harapan, Jumat, 22 Oktober 1965)
Terlalu bersemangat?
Lain lagi yang terjadi di lingkungan media. Entah karena begitu bersemangat dalam suasana mengganyang Gerakan 30 September, sebuah surat kabar memasang iklan ucapan selamat atas pengangkatan Pak Harto yang waktu itu panglima Kostrad menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Dengan huruf-huruf yang mencolok terpampang di iklan itu bahwa Mayjen Soeharto diangkat menjadi Menteri Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno ....
Tentu saja wartawan surat kabar ybs. menjadi cukup sibuk meminta maaf ketika iklan itu disodorkan kepadanya oleh kepala perwira penerangan Kostrad saat itu.
(Kompas, Sabtu, 23 Oktober 1965)
Kejutan
Pagi-pagi buta tanggal 23 Oktober 1965 sebuah truk yang mengangkut beberapa orang pemuda merayapi salah satu jalan di Sala. Para pemuda itu berseru, "Bantuan ... bantuan ... Kampung Madu (bukan nama sebenarnya) diserang ... ayo bantuan ...!"
Dalam sekejap berjubel-jubellah truk itu dengan orang-orang yang ingin memberikan bantuan kepada kampung yang dikenal simpatisan G30S dan ketika itu sedang dilanda kaum demonstran.
Di sebuah tanjakan di Jl. Sorogenen terjadi kejutan. Beberapa prajurit baret merah muncul.
"Angkat tangan semua!" perintah anggota RPKAD tersebut.
Dengan saling berpandangan terpaksalah mereka patuh digiring ke hotel perdeo. Mau nolong malah ketodong.
(Kompas, Jumat 3 Desember 1965)
Pisaunya terhunus
Suatu malam di Ponorogo, pada pukul 20.00, 22 November 1965, seorang pemuda berusia sekitar 20 tahun berjalan sendiri melewati jalanan yang gelap.
Mendadak ia merasa dibuntuti. Ketika menengok ke belakang dilihatnya dua orang wanita makin lama makin mendekat. Hatinya mulai ciut.
Maklumlah, di masa itu cerita-cerita mengenai kekejaman anggota Gerwani cukup bikin bulu kuduk berdiri.
Apalagi ketika ditengoknya lagi, nampak kedua wanita itu membawa pisau terhunus! Ia mempercepat jalannya sampai tersandung-sandung.
Entah bagaimana, rupanya tersusul juga pemuda ini oleh kedua ibu, sehingga akhirnya ia menyapa mereka,
'Ya Allah, Buu ..., sampai saya tersandung-sandung. Mau ke mana?"
"Mau rewang. Membantu memasak di rumah yang terang itu!"
"Saya kira .... Mari Bu, selamat malam!"
Salah seorang ibu kebetulan istri koresponden Kompas.
(Kompas, Sabtu 4 Desember 1965)
Garwane?
Bu Sastrosularno sedang sendirian ketika pasukan tentara dari Batalyon G mengadakan gerakan pembersihan di daerah Nusukan - Prawit, Sala.
Mereka melihat setumpukan buletin di atas meja. Salah satu buletin bertuliskan "G.S." Karena sedang menumpas G30S, tak heran mereka menaruh perhatian khusus dan menanyakan artinya.
"Anu, Pak ...," Bu Sastro gelagapan. "G artinya Gotong-Royong, S artinya ...," ia terhenti. Mulutnya cuma komat-kamit.
Para anggota Yon G kontan curiga.
"Sudah, terus terang saja."
Bu Sastro semakin gugup. Kepanjangan dari huruf "S" itu benar-benar hilang dari ingatannya. Untunglah seorang anak angkatnya muncul dan segera menyela bahwa "S" adalah singkatan dari "subur".
Mendengar jawaban si anak, petugas dengan wajah agak lega bertanya lagi, "Siapa pemilik buletin-buletin ini?"
"Suami saya, Pak Sastrosularno."
Mungkin sekadar untuk meyakinkan dirinya si petugas bertanya lagi, "Ibu Gerwani, ya?"
"Inggih (ya), Pak," sahut si ibu mantap!
"Apa? Jadi ibu adalah anggota Gerwani? Ayo, ikut ...!" bentak si petugas.
"Maaf, Pak. Saya bukan anggota Gerwani. Saya kira Bapak bertanya 'Garwane? (Istrinya?), maka saya iyakan. Saya bukan Gerwani. Saya garwane Pak Sastro yang menjadi pegawai Sekolah "Warga" itu.
(Kompas, Kamis 9 Desember 1965)