Inilah Para 'Highlander' dari Vietnam yang Selalu Berkumpul Setiap Sabtu dan Minggu

Moh Habib Asyhad

Penulis

Orang Prancis menjuluki mereka montagnard, orang Inggris bilang highlander, orang Jawa bilang wong nggunung. Tapi sementara orang Vietnam malah menyebut mereka moi, suku liar.

Intisari-Online.com – Sapa, sebuah kota kecil di ujung utara Vietnam, menjadi ajang berkumpulnya suku-suku terasing di kawasan itu pada hari Sabtu dan Minggu.

Kesempatan itu dimanfaatkan para turis mengamati penampilan mereka yang eksotik, terutama busana tradisional mereka yang beraneka rupa.

Orang Prancis menjuluki mereka montagnard, orang Inggris bilang highlander, orang Jawa bilang wong nggunung. Tapi sementara orang Vietnam malah menyebut mereka moi, suku liar.

(Baca juga:Petaka Militer AS di Perang Vietnam: dari Duel Satu Lawan Satu Menggunakan Bayonet hingga Dibuat Stres Viet Cong yang Bertempur dari Bawah Tanah)

Selama ini Vietnam hampir identik dengan perang brutal antara tentara Viet Cong dan tentara Amerika (1955 - 1975).

Mungkin karena film-film laga yang dibuat tentang negeri ini hampir selalu menggambarkan keganasan perang yang terjadi di negara seluas 331 km2 atau sekitar 70% dari luas Pulau Sumatra ini.

Selain memiliki gerilyawan hebat dan mampu bikin kecut tentara Amerika, Vietnam juga menyimpan sejumlah daya tarik lain yang mampu menyedot sejumlah wisatawan untuk berkunjung ke negeri republik sosialis yang beribu kota di Hanoi ini.

Salah satu daya tarik itu, selain kebudayaan dan pemandangan alamnya yang elok, adalah adanya suku-suku minoritas yang hidup terasing di dataran tinggi atau pegunungan.

Untuk dapat bertemu dengan mereka, seorang teman mengajak saya ke Sapa. Karena letaknya yang hampir berbatasan dengan Cina dan Laos ini, Sapa menjadi sangat khas dan menarik.

Sejumlah suku terasing hidup bersama di sini dengan damai. Suku-suku yang hidup di daerah ini juga kami jumpai di negara tetangganya.

Ketika berkunjung ke pedalaman Laos, kami bertemu dengan suku Hmong dengan sikap hidup dan gaya berpakaian yang sama dengan suku Hmong (Meo) yang tinggal di Vietnam, ataupun suku Giay yang gaya pakaiannya sama dengan yang kami temui di Cina Selatan.

Pada saat tertentu, terutama di hari-hari pasaran Sabtu dan Minggu, suku-suku terasing ini berkumpul di Sapa. Mereka membawa hasil bumi ataupun kerajinan yang mereka buat untuk diperjualbelikan di sini.

(Baca juga:Huynh Van Dat, Pria Asal Vietnam yang Kehilangan Wajahnya Akibat Virus Pemakan Daging Misterius)

Mulai dari kain khas suku mereka lengkap dengan pernik-pernik aksesorinya hingga sayur-mayur.

Saat-saat seperti itulah waktu yang tepat untuk bertemu dengan beberapa suku sekaligus tanpa harus bersusah payah melakukan hiking berkilo-kilometer untuk bertemu dengan satu suku di satu tempat.

Orang liar

Di Vietnam tercatat ada sekitar 54 suku terasing yang hidup secara berkelompok dan umumnya selalu di pegunungan.

Tiap kelompok hidup di ketinggian tertentu. Jadi sekalipun hidup berpindah-pindah, mereka selalu membuat rumah baru di ketinggian yang sama.

Banyak dari mereka yang masih hidup secara nomaden (mengembara) dan menerapkan sistem slash-and-burn (membuka hutan dengan cara tebas-bakar).

Seperti halnya di tanah air, cara ini sangat dibenci pemerintah Vietnam. Alasannya masuk akal, jika- tiap keluarga atau suku menjalankan penghancuran dengan cara begini, tentunya luas hutan lambat laun akan semakin berkurang.

Namun saat ini pemerintah Vietnam mencoba mengajarkan kepada mereka untuk bertani secara menetap.

Prancis, yang pernah menjajah Vietnam.selama hampir seabad (1859 - 1954), menyebut mereka montagnard (padanan Inggrisnya highlander atau mountain man), yang berarti orang pegunungan Istilah ini masih digunakan oleh mereka sendiri hingga kini.

Namun penduduk Vietnam sering kali menjuluki suku-suku terasing ini moi, orang-orang liar. Saat ini pemerintah Vietnam secara halus mengistilahkan mereka sebagai national minorities.

Ini berkaitan dengan usaha pemerintah untuk menyatukan suku terasing ini dengan kebudayaan, bahasa, sosial, dan ideologi penduduk mayoritas (90%) Vietnam (Vietnamese).

(Baca juga:Inilah Suku Terasing di Amazon yang Bahkan Belum Tahu Bahwa Sudah Ada Peradaban Modern)

Sejumlah suku terasing ini memang punya hubungan dengan suku terasihg di Thailand, Laos, dan Cina (Selgtan).

Karena itu bahasa, gaya berpakaian, maupun sikap hidup mereka sama dengan suku-suku yang berada di negara tetangganya itu.

Suku Hmong (Meo) serta Giay yang ada di Sapa berasal dari Cina Selatan sejak 300 tahun lalu.

Gelombang besar imigrasi sejumlah suku di Cina ke Vietnam ini terjadi sesudah tahun 1868, ketika lebih dari 10.000 orang dari Propinsi Kweichow, Yunnan, dan Kwangsi berpindah ke Vietnam setelah gagal dalam Pergerakan Taiping melawan dinasti Ming.

Walaupun telah berpindah tempat dan jauh dari asalnya, sejumlah suku ini tetap mempertahankan tradisi nenek moydng mereka.

Dalam kehidupan sehari-hari mereka tetap menggunakan pakaian tradisional yang tak terjamah arus modernisasi yang berjalan di Vietnam.

Direkrut untuk perang

Kota kecil Sapa, tempat berkumpulnya suku-suku terasing di hari-hari pasaran itu sebenarnya merupakan stasiun bukit tua yang dibangun pada tahun 1922 di lembah cantik berketinggian 1.600 m dpl yang dikelilingi pegunungan.

Daerahnya yang indah serta iklimnya yang dingin, membuat kota kecil ini kemudian menjadi populer di kalangan orang Prancis yang saat itu menjajah Vietnam.

Pada saat Perang Vietnam berkecamuk, pihak komunis (Viet Cong) maupun Amerika secara aktif merekrut orang-orang lelaki di antara kaum montagnard ini.

Pasalnya, mereka rata-rata adalah pemberani dan loyal selama diperlakukan dengan baik.

Di tahun 1979 kota ini sempat menjadi ajang pertempuran akibat perebutan hak atas perbatasan yang sesungguhnya antara Vietnam dan Cina.

Beberapa bangunan dihancurkan dan hingga kini belum diperbaiki.

Saat ini Sapa merupakan kota kecil yang ramai dikunjungi para turis asing (setelah Vietnam dinyatakan terbuka untuk para turis) di hari Sabtu dan Minggu.

Setelah hari-hari tersebut, Sapa kembali menjadi kota mati: sepi dan lengang karena hanya beberapa keluarga yang tinggal di sana.

Saat pertama tiba di Sapa, suasana khas dan unik langsung terasa, karena kebetulan saya tiba di sana hari Sabtu.

Beberapa wanita Hmong yang sudan nenek-nenek berebut menawarkan pernik-pernik aksesori khas mereka pada turis asing yang tiba secara bergelombang.

Mereka kelihatan sangat pintar berbisinis dan merayu wisatawan. Bahkan terkadang dengan setengah memaksa sehingga akhirnya para turis asing tersebut bersedia membeli.

(Baca juga:Perang Melawan Terorisme di Afghanistan Terancam Gagal, Bahkan Presiden Trump Nyaris Menyerah)

Mereka menjual hasil kerajinan mereka dalam dolar AS. Nantinya uang dolar itu mereka tukarkan dengan dong, mata uang Vietnam.

Baru setelah itu nenek-nenek ini membeli kebutuhan sehari-hari di pasar Sapa dan pulang ke rumah.

Namun beberapa di antara mereka tetap bermalam di sana, di sudut-sudut pasar untuk keesokan harinya kembali berjualan.

Minggu sore setelah berbelanja berbagai kebutuhan, mereka baru kembali ke rumah masing-masing.

Setelah meletakkan barang di wisma tamu, rombongan kami cepat-cepat ke pasar, karena telah ramai dengan kedatangan sejumlah suku dari kampung yang berjauhan.

Saat itu hanya terlihat 4 suku yang sibuk berjual-beli di pasar. Suku yang dominan terlihat adalah suku Hmong, selain itu Dao, Giay, dan Tai (Thai).

Masing-masing suku dapat dengan mudah dibedakan dari cara mereka berpakaian.

Memperhatikan keunikan tiap-tiap suku serta pakaian mereka yang berbau etnik merupakan keasyikan tersendiri.

Teman saya yang telah dua kali ke tempat ini tahu banyak tentang mereka karena kunjungannya yang peritama ke kota kecil ini untuk penelitian suku minoritas yang terdapat di Sapa.

Bahkan ia dapat bercakap-cakap dengan orang Hmong. Dengan senang hati dia bercerita tentang keunikan tiap suku pada kami.

Suku Hmong selalu berpakaian hitam (black Hmong). Wanitanya nampak cantik-cantik dan kuat.

Gaya mereka berpakaian terlihat modis dan praktis dengan kepala ditutup gulungan kain hitam menyerupai topi, dan anting-anting perak besar berayun-ayun di telinganya.

Sistem perkawinan mereka boleh dibilang rada aneh. Calon pengantin pria harus lebih dulu menculik calon mempelai wanita.

Perayaan perkawinan yang lengkap baru dilaksanakan saat sang mempelai wanita kembali ke orang tuanya dengan membawa suaminya serta sejumlah hadiah dan persembahan dari keluarga barunya.

Lalu jika sang suami meninggal, wanita Meo atau Hmong menghadapi dua pilihan yang belum tentu disukainya: menikahi saudara lelaki suaminya atau pria dari lingkungan keluarga suaminya tanpa membawa apa-apa, dan jika memungkinkan kembali pada orang tuanya.

"Menjual" anak gadisnya

Busana tradisional wanita suku Dao tergolong "mewah" untuk dipakai sehari-hari. Sulit dibayangkan mereka menggunakan pakaian dengan sulaman khas yang begitu indah tersebut dalam keseharian.

Rambut mereka umumnya panjang-panjang hingga ke kaki. Sayang sekali rambut-rambut indah itu tertutup rapat di balik topi yang dihiasi koin-koin perak dan membuat mereka nampak mencolok dari suku-suku lain.

(Baca juga:Petaka Militer AS di Perang Vietnam: dari Duel Satu Lawan Satu Menggunakan Bayonet hingga Dibuat Stres Viet Cong yang Bertempur dari Bawah Tanah)

Ketika wanita suku Dao berusia 13 tahun, pihak keluarga membuat perayaan dan menutup kepala putri mereka dengan penutup kepala khas.

Sementara keluarga yang memiliki anak laki-laki harus mengadakan upacara pemberian nama untuknya saat berumur 10 tahun.

Upacara perkawinan mereka pun unik. Pasangan muda yang akan menikah menyanyikan lagu untuk pasangannya (semacam berbalas pantun di Sumatra Barat).

Isi lagunya berupa gambaran atribut fisik dan kemampuan mereka dalam pertanian.

Sementara itu wanita suku Giay juga mempunyai pakaian tradisional yang disulam dengan baik pada blus, roknya yang lebar dan berat, maupun lilitan kain yang menutupi lutut hingga mata kaki dengan warna-warni yang meriah.

Menurut cerita, sulaman khas suku ini dulunya jauh lebih rumit daripada sekarang yang, menurut mereka, lebih sederhana.

Para wanita Giay mempunyai status yang rendah dibandingkan dengan kaum prianya. Mereka seolah-olah terlahir untuk mengabdi: pada ayahnya sebelum menikah, pada suaminya setelah kawin, dan pada anaknya setelah kematian suaminya.

Perkawinan itu sendiri pada dasarnya lebih menyerupai "menjual" anak gadis untuk kehidupan yang lebih baik. Saat ini kaum muda Giay sudah berani menikah dengan orang dari suku lain.

Suku Tai yang punya hubungan sangat erat dengan minoritas di Thailand Utara mempunyai bahasa yang mirip dengan bahasa Thai dan Laos (bahasa Laos hampir samg dengan bahasa Thailand).

Nenek moyang suku ini berimigrasi ke Vietnam pada awal abad-sebelum Masehi.

Di suku ini sudah merupakan hal yang lumrah jika anak yang lebih tua berstatus lebih tinggi dibandingkan dengan adiknya.

Saat ini suku Tai banyak yang hidup di perkampungan bersama suku lain, serta melakukan pernikahan campuran dan bahkan meninggalkan sikap hidup tradisional mereka untuk hidup di daerah lain.

Suku ini diangap paling dapat beradaptasi dengan kebudayaan Vietnam.

Di Sapa sendiri suku ini tidak banyak ditemui. Namun ini sulit dipastikan karena banyak dari mereka yang telah melepaskan busana tradisionalnya dan menggantinya dengan busana yang umum dipakai penduduk Vietnam lainnya.

Setelah dua hari melihat keramaian di pasar Sapa, kami mencoba untuk dapat mengamati dari dekat kehidupan suku minoritas ini.

Maka kami pun hiking ke perkampungan suku Hmong yang terletak cukup jauh dari Sapa. Kehidupan mereka ternyata benar-benar sangat sederhana.

Satu, keluarga hidup dari bertani dengan hanya memiliki sedikit tanah garapan.

(Baca juga:Naoto Matsumura, Orang Terakhir di Fukushima yang Memberi Makan Semua Binatang yang Tertinggal Pascatsunami Jepang 2011)

Untuk lauk pauk umumnya anak lelaki tertua di keluarga tersebut mencari ikan di sungai, sementara anak perempuan membantu ibunya memasak dan menenun kain untuk dijual ke pasar pada hari pasar. Pembagian tugas ini mulai berjalan sejak mereka kecil.

Empat hari berada di Sapa membuat saya sulit melupakan kota kecil yang menarik ini, dan berjanji suatu saat akan kembali mengunjunginya.

Dengan harapan suku-suku minoritas itu tetap mempertahankan tradisi mereka, tidak terpengaruh oleh budaya tuns asing yang semakin banyak berkunjung ke kota ini. (Vryedta Tjandra Ilfia)

(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 1996)

Artikel Terkait