Penulis
Intisari-Online.com – Walau namanya identik dengan lambang "kegalakan", kini keindahannya mulai diminati. Bahkan berperan besar sebagai benteng pembersih udara.
Daunnya keras. Dari sinilah ia dijuluki mother in law's tongue. Entahlah, mungkin diibaratkan mertua yang suka berkata tajam.
Sedangkan orang Jawa Tengah, menyebut keluarga Agavaceae ini sebagai "pedang-pedangan". Daunnya yang lurus panjang dan kaku memang mirip pedang.
Nama ilmiahnya Sansevieria trifasciata, merupakan penghormatan untuk Raimondo di Sangro (1710 - 1771), Ratu San Severo, Italia. Dari kata san severo akhirnya menjadi sanseveria, dilafalkan sansevieria.
Jika kondisi iklim sesuai dan tanaman sudah menjadi rumpun besar, sanseviera bisa berbunga. Berwarna putih, bunganya dalam satuan tangkai panjang. Baunya harum dan mekar bergantian sehingga awet.
Keluarga besar marga sansevieria sekitar 70 jenis. Beberapa jenis sudah dikenal sejak zaman baheula. Sebelum ngetren, jenis tanaman ini tak ada harganya.
Kebanyakan sebagai tanaman lansekap dalam jumlah banyak. Namun, belakangan muncul beberapa jenis pendatang baru yang unik dan langka. Tak heran, harganya pun melonjak jadi jutaan rupiah.
Tahun 2005, sansevieria menyodok pasar sebagai tanaman tren. Gencarnya pemberitaan media dan ramai obrolan para pemain tanaman hias meningkatkan harkat lidah mertua jadi tanaman yang diburu.
Harganya pun naik drastis. Yang jenis biasa awalnya Rp 5.000,- per batang, melonjak jadi Rp 50.000,-. Sedang jenis khusus sampai jutaan rupiah.
Sayang, belum sempat mencapai puncak, keburu digusur anthurium. Baru pada tahun 2008 ini, sansevieria mulai dilirik kembali untuk jadi tanaman mahal.
Asal Afrika, ngetren di AS
Sejumlah pengusaha tanaman hias tetap setia membudidayakan sansevieria ini. Benny Tjia, Ph.D., ekportir tanaman hias tropis di Bogor, pernah menjadikannya salah satu komoditi ekspor unggulan ke Amerika Serikat.
Selain itu, Lanny Lingga di bawah naungan Seederama, sebuah perusahaan benih, telah mengekspor sansevieria dalam jumlah banyak ke Jepang pada tahun 2000-an.
Mereka menggunakannya sebagai tanaman hias pot (pot plant) dan juga lansekap.
Jenis yang dibudidayakan secara massal adalah yang berpinggiran kuning tanpa margin, dinamai Laurentii.
Keseluruhan daun lidah mertua berwarna hijau gelap dengan garis acak warna kelabu. Panjang daunnya ada yang sampai 1 m dan kaku.
Bentuk demikian membuatnya pas untuk tanaman pot plant dan cut foliage (daun potong). Selain awet, lantaran mudah dibiakkan dan cepat tumbuh, lidah mertua merupakan tanaman favorit untuk lansekap sehingga harganya tidak mahal.
Bila tidak menjadi tanaman tren, satu pot yang sudah rumpun hanya Rp 10.000,-. Namun jika dianggap booming, harganya melonjak 5 hingga 7 kalinya.
Menurut Robert Lee Riffle dalam buku The Tropical Look (1998), Sansevieria trifasciata berasal dari kawasan tropis timur laut Afrika Selatan, Mozambique, Zaire, dan Zimbabwe.
Namun pembudidayaan secara komersial dan penemuan varietas unggul dilakukan di Amerika Serikat.
Diantaranya kelompok berdaun panjang Moonshine (berwarna keperakan), Nelsonii (berwarna hijau gelap}, dan Robusta (dengan margin kuning).
Ada juga kelompok daun panjang yang eksklusif misalnya Betel's Sensation yang ditemukan oleh Gustav Bantel dari St. Louis, Missouri, AS, pada tahun 1948.
Lidah mertua berdaun pendek, di Indonesia disebut kodok-kodokan, umum dijadikan tanaman pengisi di taman.
Yang terkenal golden birdnest atau golden hahnii, merujuk nama penemunya, Sylvan Hahn pada tahun 1953. Warnanya hijau gelap dengan margin kuning.
Selain yang biasa, ada beberapa jenis sanseviera yang dijadikan koleksi eksklusif. Kelompok ini biasanya lama sekali tumbuh.
Karena lambat pertumbuhannya, pedagang yang tidak tahu mengelompokkannya sebagai tanaman kaktus.
Misalnya saja S. pinguicula, harganya bisa jutaan rupiah per potnya. Daunnya tebal dan berlekuk membentuk huruf V.
Berwarna hijau kepekatan dengan margin coklat tua dan putih. Sekilas mirip tanaman kering. Susunan daunnya roset (seperti mawar) dan kompak.
Laju pertumbuhan tanaman ini lambat, makanya jangan heran bila setahun hanya tumbuh satu daun.
Ada lagi yang daunnya silindris. Bahkan tak ada yang menyangka S. pearsonii termasuk sansevieria. Jenis asli asal Afrika ini banyak dijadikan tanaman pagar di negaranya.
Kendati tak semahal S. pinguicula, S. pearsonii termasuk tanaman eksklusif untuk terarium. Panjang daun sekaligus tinggi tanaman bisa mencapai 1 m.
Selain bentuk, warna daun pun ada yang unik. Sansevieria kirkii memiliki daun dengan warna dominasi cokelat, seakan-akan seperti daun kering yang sudah mati.
Terdapat garis berlekuk warna hitam dengan permukaan daun mengilap keperakan. Kirkii merupakan tanaman koleksi yang banyak dicari di Indonesia.
Pertumbuhannya lambat, sesekali terdapat anakan yang menggembirakan pemiliknya. Hanya saja penantiannya lama.
S. arborescens merupakan spesies endemik dari Afrika timur. Spesies ini langka karena memiliki batang. Tingginya antara 12 cm - 1,2 m dengan daun berbentuk silindris, meski ada juga yang datar. Daun menempel pada batang dengan susunan spiral, berwarna hijau kecokelatan.
Sansevieria dalam pot
Sansevieria termasuk tanaman yang mudah tumbuh. Menyukai sinar matahari penuh, tetapi juga bisa tahan naungan bahkan dalam ruangan.
Media tanamnya campuran antara sekam bakar, kompos, dan pasir dengan perbandingan 1 : 1 : 1. Pembiakan dengan stek daun, stek batang, dan pemisahan anakan.
Ada juga melalui biji, hanya di Indonesia biji jarang terbentuk.
Pemeliharaannya cukup disiram jika sudah mulai kering. Kalau terlalu banyak air justru busuk.
Pemupukan dengan pupuk yang lambat terurai (slow release fertilizer) agar awet dan tidak terlalu repot. Pupuk berbentuk butiran itu ditaburkan di media.
Sansevieria kini tampil dalam bentuk terarium. Berupa tanaman pot yang terdiri atas beragam sansevieria yang diatur sesuai kaidah lansekap sehingga membentuk kesatuan yang enak dilihat.
Pengurai senyawa racun
Dari sekian pesona keindahan sansevieria, ada manfaat lain yang lebih menarik bagi pecinta tanaman untuk menanamnya yaitu sebagai penyerap polutan.
Proses pengolahan makanan dalam tanaman yang dikenal sebagai fotosintesa, membutuhkan karbondioksida, salah satu pemicu gas rumah kaca. Fotosintesa melepaskan oksigen (02) yang berguna bagi manusia.
Penelitian yang dilakukan NASA menemukan bahwa tanaman bekerja timbal balik untuk mengubah senyawa lain (yang dikategorikan sebagai polutan) yang dihasilkan oleh tanaman lain, manusia, dan industri.
Selain akar dan daun, mikroorganisme dalam tanah juga ikut berperan aktif dalam menguraikan senyawa racun.
"Jadi, yang berperan mungkin bukan hanya tanamannya saja, lebih tepat sebagai sistem tanaman," kata Dr. Ir. Budhi Priyanto, M.Sc, koordinator Program Balai Teknologi Lingkungan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Walaupun kecil sekali prosentase senyawa racun dari atmosfer yang bisa diserap oleh daun dan akar, tanah dan mikroorganisme dalam tanah.
Lantas, kemanakah perginya senyawa racun tersebut setelah diserap oleh tanaman? Dugaan umum, senyawa racun tersebut akan disimpan dalam bagian tanaman (akar, daun, dan batang).
Jika sudah jenuh dilepaskan lagi ke udara. Pusat Penelitian Nasional untuk Lingkungan dan Kesehatan Jerman melacak jejak senyawa racun di dalam tanaman.
Fokus penelitian pada formaldehid, senyawa racun dalam ruangan terbanyak. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa enzim dalam daun menguraikan senyawa racun menjadi senyawa tak beracun yang bisa digunakan oleh tanaman.
Proses ini mirip dengan mekanisme organ hati pada manusia untuk menetralisir racun dengan bantuan empedu.
Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa senyawa racun yang diserap melalui akar, daun, dan batang dikumpulkan di dalam sistem perakaran, termasuk tanah di sekitar akar tempat mikroorganisme juga membantu menguraikan senyawa racun.
Kerja tanaman tersebut akan lebih efektif dalam melakukan penyerapan dari dalam ruangan. Di Indonesia, penelitian tentang fotoremiadiasi pernah diteliti oleh Puslitbang Jalan, Bandung.
Penelitian itu tentang kemampuan tanaman peneduh jalan untuk menyerap polutan.
Tetapi untuk tanaman dalam ruangan belum pernah diteliti di Indonesia sehingga masih mengacu pada penelitian NASA.
Penelitian yang dilakukan NASA tersebut menemukan data bahwa satu pot tanaman seluas 30 m2 mampu menyerap polutan satu rumah atau kantor.
Peningkatan luasan tanaman akan meningkatkan luasan ruangan yang dibersihkan polutannya.
Perlu diketahui, setiap bagian tanaman dari jenis tanaman tertentu mampu menyerap senyawa tertentu.
Jadi, kerja bagian tanaman tersebut sangat spesifik. Sansevieria trifasciata "Laurentii" misalnya, bagus untuk menyerap bensena, formaldehid, dan trikloroetana.
Aplikasinya, kebanyakan sebagai tanaman pot yang diletakkan di dalam ruangan.
Selain itu, ada teknik yang sedang dikampanyekan di AS yaitu menggunakan tanaman sebagai biofilter.
Penanamannya dilakukan pada dinding vertikal gedung-gedung tinggi. Dinding bagian luar dari gedung dilapisi media yang cocok bagi tanaman dan aman bagi gedung.
Dilengkapi juga dengan sistem irigasi yang dipompa dari dasar gedung. Lingkaran air tersebut akan mengairi taman vertikal berdasarkan alat pengatur waktu.
Sanseviria juga banyak dipakai berdampingan dengan paku boston dan lili paris.
Di Indonesia, percobaan membuat taman vertikal telah dilakukan oleh Hagani, desainer lansekap di Jakarta.
Walau belum diterapkan pada gedung, baru dinding rumah hunian salah satu kliennya.
Semoga menginspirasi. (Titik Kartitiani)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 2008)