Minim Sosialisasi, Banyak Orang Kesulitan Membedakan Low vision dan Kebutaan Total

Moh Habib Asyhad

Penulis

Masyarakat kita masih kesulitan membedakan antara buta total dan low vision. Terkesan seperti tidak mau membaca, kita lebih kerap menyebut kedua jenis gangguan penglihatan itu dengan “buta” saja.

Intisari-Online.com -Nining (40) tidak mau apa yang terjadi pada anak pertamanya terjadi anak keduanya, Diva.

Oleh sebab itu, ia melakukan beragam upaya supaya putrinya yang kini berusia 10 tahun itu bisa mempertahankan penglihatannya, meski sangat rendah.

Ya, Diva, yang lahir dari orangtua yang dua-duanya buta, didiagnosis mengalami low vision alias penglihatan rendah sejak lahir.

Kakak Diva juga sama, ia punya low vision sejak lahir. Tapi karena tidak ditangani dengan semestinya, kini ia buta total.

Selain itu, waktu itu Nining belum tahu apa itu low vision sehingga tahu apa yang mesti ia lakukan terhadap anak pertamanya itu.

(Baca juga:Hati-Hati! Gangguan Penglihatan dan Berbicara bisa Menandai Gejala Stroke)

Data global menyebutkan bahwa ada sekitar 285 juta orang (4,24 persen) mengalami gangguan penglihatan, 39 juta (0,58 persen) mengalami kebutaan, dan 246 juta (3,65 persen) mengalami low vision.

Indonesia sendiri menempati urutan ketiga negara dengan tingkat kebutaan tertinggi di dunia. Jumlahnya sekitar 3,5 juta orang. Angka itu, 1,5 persen lebih tinggi dibanding negara-negara di kawasanAsia Tenggara lainnya.

Lepas dari itu semua, masyarakat kita masih kesulitan membedakan antara buta total dan low vision. Entah karena tidak mau repot atau sebab lainnya, kita lebih kerap menyebut kedua jenis gangguan penglihatan itu dengan “buta” saja.

Evie Tarigan, Ketua Umum Yayasan Pelayanan Anak dan Keluarga (LAYAK) yang punya konsentrasi tinggi terhadap kasus-kasu low vision, mengamini itu.

Dalam beberapa kali pendampingan di beberapa wilayah di Indonesia, ia kerap menemui, masih banyak orangtua yang belum tahu apa itu low vision. Bagi mereka, merujuk Evie, gangguan penglihatan ya buta. Tidak ada yang lain.

“Ini semua karena minimnya sosialisasi tentang low vision. Institusi kesehatan yang punya perhatian terhadap kasus ini juga jumlahnya belum banyak,” ujar Evie dalam acara pelatihan peningkatan kapasitas guru dalam membantu anak-anak berkebutuhan khusus dengan low vision di Pusat Pelatihan Yayasan Pendidikan Dwituna Rawinala Jakarta awal Agustus lalu.

Acara itu sendiri merupakan bagian dari kampanye “Seeing is Believing” yang digawangi oleh Standar Chartered Bank.

Apa itu low vision?

Low vision alias penglihatan rendah adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan gangguan penglihatan yang signifikan yang tidak dapat dikoreksi sepenuhnya oleh kacamata biasa, lensa kontak, pengobatan, atau operasi mata.

(Baca juga:Dokter Mata Anggap Lampu Kilat Kamera Bukan Penyebab Kebutaan pada Mata Bayi di China)

Sementara menurut Mitchell Scheiman, dkk. dalam bukunya Low vision Rehabilitation: A Practical Guide for Occupational Therapists, seperti dikutip dari Visionaware.org, low vision adalah sebagai berikut:

“Penglihatan rendah adalah adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh penyakit mata, di mana ketajaman penglihatannya 20/70 atau lebih buruk untuk mata normal dan tidak dapat ditolong oleh kacamata biasa.”

20/70 artinya: apa yang dilihat orang low vision dari jarak 20 kaki bisa dilihat orang dengan mata normal dari jarak 70 kaki).

Artinya lagi, orang dengan low vision masih bisa melihat—jika harus menggunakan kacamata maka harus dengan kacamata khusus.

Penyakit mata adalah penyebab umum low vision. Antara lain:

Faktor genetik dan kecelakaan mata juga bisa berakibat pada terjadinya low vision.

Apa dampaknya?

Anak-anak low vision bisa disebabkan faktor genetik dan kecelakaan. Mereka yang punya masalah ini mungkin akan memiliki masalah belajar sehingga memerlukan instruksi khusus, selain soal penglihatan juga keterampilan sosialisasi.

Sementara bagi orang dewasa, melemahnya penglihatan bisa berakibat traumatis, yang menyebabkan frustrasi dan depresi. Mereka tidak bisa lagi mengemudi dengan aman, membaca dengan cepat, menonton televisi dengan nyaman.

Lebih dari itu, mereka tidak bisa menikmat hari tua dengan lebih mandiri.

(Baca juga:Eko Ramaditya Adikara Membuktikan bahwa Buta Tak Menghalanginya Jadi Dosen)

Dalam beberapa kasus, orang dengan low vision juga kesulitan mencari nafkah. Di Indonesia memang belum ada datanya, tapi mari kita menengok di Amerika Serikat yang hidupnya penuh dengan statistik-statistik.

Tingkat lapangan pekerjaan untuk orang Amerika berusia 21-64 (usia kerja) dengan gangguan penglihatan hanya 37,2 persen pada 2010, sementara tingkat kepegawaian paruh waktu hanya 24 persen.

Dan dari mereka yang tidak punya pekerjaan, hanya 13,5 persen yang secara aktif mencari pekerjaan.

Selain itu, pendapatan rata-rata tahunan rumah tangga yang di dalamnya ada pasien low vision adalah 33.400 dolar AS (sekitar Rp445,33 juta). Bandingkan dengan rumah tangga yang tidak ada pasien low vision yang sebesar 59.400 dolar AS (sekitar Rp792 juta) per tahun.

Selain itu, beberapa orang dengan low vision menjadi sangat bergantung pada teman atau saudaranya, sementara yang lain hidup menderita sebatang kara.

Persoalan ini sejatinya bisa diatasi bila sosialisasi tentang low vision lebih digalakkan sehingga orang-orang tahu ada alat-alat khusus yang bisa membantu orang-orang dengan low vision menjadi lebih produktif.

Lebih penting lagi, sosialisasi itu akan menghalangi kita untuk memvonis orang low vision buta.

Apa yang mesti dilakukan?

Jika Anda, atau orang terdekat Anda, punya masalah penglihatan yang mengarah ke low vision, langkah pertama adalah segera pergi ke ahli mata. Lakukanlah tes mata di sana.

Di sana, Anda mungkin akan didiagnosis dengan beberapa gangguan mata seperti degenerasi makular, glaukoma, terinitis pigmentosa, atau katarak. Tapi apa pun masalahnya, ini adalah langkah paling bijaksana untuk mencegah terjadinya kondisi yang lebih buruk.

Dokter mata yang tidak bekerja di ranah low vision biasanya akan mengarahkan Anda ke spesialis low vision. Nah, orang inilah yang nantinya akan mengevaluasi tingkap penglihatan yang kita punya, memberi anjuran untuk menggunakan alat bantu seperti pembesar desktop digital dan teleskop biopik, dan membantu Anda mempelajari cara penggunaannya.

(Baca juga:Glaukoma, Si Pencuri Penglihatan Nomor 2 Setelah Katarak)

Spesialis low vision juga bisa merekomendasikan perangkap adaptif non-optik seperti printer pembesar, remakan audio, lampu khusus, dan panduan tanda tangan untuk menandatangani dokumen. Kacamata khusus dengan filter UV yang tajam juga bisa membantu pasien low vision.

Jika perlu, dokter spesialis ini juga bisa mengarahkan ke pelatih khusus untuk membantu Anda mengatasi persoalan penglihatan rendah ini.

Artikel Terkait