Intisari-Online.com - Gadis muda belia berjilbab itu turun dari sepeda motor di pelataran parkir kantor LBH Mawar Saron, dia duduk di bangku penumpang, tampak ketika motor berhenti sang pengendara motor memberi tanda kepada satpam yang menjaga halaman parkir untuk membantu wanita muda itu turun dari motornya.
Agak lain dari biasanya memang karena kebanyakan para pencari keadilan yang hendak berkonsultasi hukum di kantor ini tidak sampai harus dipapah masuk seperti ini.
Dengan sigap sang satpam kemudian membantu turun wanita tersebut dari kursi penumpang motor tersebut, ketika helm dibuka tampaklah ternyata wanita tersebut mengalami kebutaan, pandangan matanya kosong lurus ke depan, langkahnya lunglai dan goyah, tampak kebingungan menyelimuti raut mukanya, siang itu, perlu bantuan satpam dan sang pengemudi motor untuk membantu memapah wanita tersebut masuk ke dalam kantor Lembaga Bantuan Hukum itu.
Tujuan sang pengantar yang ternyata berasal dari P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) itu adalah hendak membawa wanita muda yang berusia 18 tahun itu mengkonsultasikan masalah hukumnya, Siti Nur Amalah ialah nama gadis buta tersebut.
Sungguh tragis dan mengerikan kisah gadis muda ini, masih terbayang dalam ingatannya ketika ia memutuskan untuk merantau dari kampung halamannya di pedalaman kabupaten Pemalang.
Kemiskinan yang mendera keluarganya, memaksa Siti untuk berhenti sekolah dan bekerja untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
Mencoba merantau memperbaiki garis nasibnya, ia datang ke Jakarta dan akhirnya diterima bekerja di Yayasan Eka Karya yang beralamat di daerah Mangga Besar.
Tak perlu menunggu lama, sepasang suami isteri membawa Siti untuk bekerja di rumahnya sebagai pembantu rumah tangga. Hari itu masih jelas di ingatan Siti, Senin 19 September 2012, dia mulai bekerja di rumah majikan barunya yang bernama Pak Usman.
Disinilah ternyata awal dari segala petaka itu terjadi, selama 4 bulan bekerja gadis belia yang baru berusia 18 tahun itu kerap disiksa oleh kedua majikannya tersebut. Siti kerap disiksa hanya karena masalah yang sepele, seperti cucian yang tidak bersih.
Selain itu, jika majikannya pergi, Siti akan dikurung di dalam kamar dan tidak diberi makan. Dia bahkan pernah tidak diberi makan selama tiga hari dan hanya diberikan air putih untuk minum.
Penyiksaan demi penyiksaan kerap menjadi “makanan” sehari-hari baginya, sudah tidak terhitung berapa kali kepala Siti dibenturkan ke tembok, rambutnya dijambak hingga kulit kepalanya terkelupas, cairan otak di kepalanya pun sampai pernah keluar saking seringnya kepala Siti dibenturkan ke tembok.
Belum puas sampai di situ, tidak hanya dinjak-injak tubuhnya bahkan wajan panas pun kerap mampir ke sekujur tubuh Siti.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR