Penulis
Intisari-Online.com – Bahaya pneumonia kerap dipandang sebelah mata.
Bisa jadi karena penyakit ini lebih dicap “wabah rakyat” bernama influenza. Makanya serangannya dianggap biasa.
Apalagi kata teori, yang berisiko kematian terbatas pada kelompok balita dan lansia.
(Baca juga:Dari Pneumonia Hingga Kanker Ovarium, Inilah 4 Bahaya Bedak Tabur Bagi Bayi)
Hingga saat ini, pneumonia masih menjadi penyebab kematian tertinggi pada balita.
Berdasarkan data UNICEF, ada 5,9 juta anak di bawah usia lima tahun yang meninggal dunia tahun 2015.
Meskipun begitu, kita yang tergolong muda atau dewasa juga tak boleh memandang remeh penyakit ini. Sebab semua orang punya peluang terserang pneumonia.
Faktornya tak cuma usia saja, tapi juga gaya hidup dan “tabungan” penyakit masing-masing individu.
Usut punya usut, salah satu indikasi masih dianggap entengnya pneumonia adalah kurang lakunya vaksin khusus penyakit ini.
Rendahnya kesadaran masyarakat bisa jadi karena mereka belum mengerti bahanya. Selain itu, banyak juga yang enggan divaksin lantaran yakin tidak bakal menjadi sasaran serangan.
Namun, kalau saja Anda tahu pneumonia penyebab kematian ketiga terbesar setelah kardiovaskular dan tuberkulosis, mungkin ceritanya jadi lain.
Mirip influenza
Kalangan dokter lazim menyederhanakan pneumonia sebagai infeksi saluran paru-paru. Bakteri penyebabnya bisa beragam, tapi yang paling ditemui di Indonesia adalah Streptococus pneumoniate.
Sayangnya, untuk mengenali gejalanya gampang-gampang susah. Dibilang mudah lantaran efeknya di badan mudah dirasakan.
Seperti demam, sesak napas (bisa sampai 20-30 kali per menit), serta batuk yang diiringi lendir berwarna hijau atau warna karat.
(Baca juga:Suplemen-suplemen Pemusnah Influenza)
Susahnya, kalau diperhatikan gejala-gejala tadi mirip sekali dengan ciri-ciri serangan influenza. Pneumonia memang sering dipicu oleh penyakit flu yang tidak sembuh-sembuh.
Makanya, banyak penderita yang tidak menyadari kalau flu yang dideritanya sebenarnya sudah masuk kategori pneumonia.
Khsusus pemeriksaan penyakit ini, harus ada pemeriksaan khusus, seperti rontgen paru-paru untuk memastikan kadar lendir di saluran pernapasan.
Salah satu ciri pneumonia adalah jumlah sel darah putih yang meningkat secara signifikan. Dari kondisi normal 4.000 hingga 10.000 sel menjadi jauh di atas 10.000 sel.
Gaya hidup dan polusi bisa jadi biang keroknya
Meski lansia lebih berisiko menderita pneumonia karena daya tahan tubuh yang menurun, tapi juga ada tidaknya penyakit bawaan dan gaya hidup bisa jadi pemicunya.
Teorinya, buat anak muda dan orang dewasa, pneumonia memang mudah dijinakan. Sebab daya tahan tubuh mereka, kalau tidak sedang sakit, cukup kuat menahan agar kuman-kuman tidak merajalela.
Cukup dengan antibiotik seperti ampisilin, penisilin, atau amoksilin, bisa sembuh segera. Namun, sayangnya tak sesederhana itu persoalannya.
Usut punya usut, makin tinggi polusi udara, misalnya, sebagai faktor lain yang bisa menyulut aktivitas bakteri pneumonia.
Makanya, peluang terkena infeksi paru-paru tetap besar buat orang muda, karena daya tahan tubuh manusia bisa berubah-ubah dari waktu ke waktu.
Jika Anda mengidap penyakit kronis menahun seperti asma, diabetes, stroke, atau gangguan ginjal, usia muda tak bisa membentengi diri dari serangan bakteri hingga ke fase paling parah.
Di samping itu, gaya hidup juga ikut menempatkan seseorang dalam risiko tinggi pneumonia.
Misalnya, seorang perokok, pemakai obat-obatan, alkoholik, atau pengidap obesitas secara otomatis masuk kategori rentan serangan.
Bukannya tanpa alasan, kebiasan buruk di atas bisa membuat imunitas spesifiknya menjadi sangat berkurang.
Jadi, mereka seseorang dengan kebiasaan buruk itu hanya tinggal mengandalkan imunitas non spesifik saja.
(Baca juga:Misteri Orang-orang yang ‘Tergelincir’ ke Masa Lalu atau Masa Depan. Nyata atau Hanya Bualan?)
Pengguna narkotik dengan suntikan perlu harap-harap cemas, dampaknya lebih parah lagi.
Masuknya obat-obatan yang sering tidak steril menyebabkan paru-paru rentan terhadap infeksi dan komplikasi saluran napas.
Konon, pneumonia pada golongan ini bisa terjadi 10 kali lebih banyak dan dengan risiko kematian jauh lebih tinggi.