Beranikah Kita Mengorbankan Gaya Hidup Demi Memberi dan Berbagi Pada Sesama?

Tika Anggreni Purba

Editor

Beranikah Kita Mengorbankan Gaya Hidup Demi Memberi dan Berbagi Pada Sesama?
Beranikah Kita Mengorbankan Gaya Hidup Demi Memberi dan Berbagi Pada Sesama?

Intisari-online.com—Ketimpangan alias kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin di Indonesia demikian tinggi. Tidak heran jika kita melihat dalam satu kota ada keluarga yang tinggal dalam gubuk reyot di pinggir kota. Dengan latar gedung-gedung tinggi mewah di belakangnya.

Ketimpangan ini tidak saja terjadi karena jumlah kekayaan yang berbeda. Namun ada yang lebih penting lagi. Masyarakat kita masih kurang murah hati. Mengapa dapat disebut begitu? Sebab kepedulian mulai tergerus dan rasa tolong menolong yang mulai hambar. Jangan bingung kalau di lingkungan kita, ada orang miskin yang terus semakin miskin. Ada pula orang kaya yang terus semakin kaya.

Generasi ramah dan saling bertolong-tolongan itu mungkin sudah hampir punah. Digantikan dengan anak-anak generasi masa kini, yang mungkin saja asing dengan kata ‘menolong, berbagi, dan bersedekah’.

Sebuah kisah diceritakan oleh teman saya mengenai perilaku anak zaman sekarang. Memang tidak bisa digeneralisasikan. Namun kisah ini sangat menohok hati.

Seorang anak yang begitu dimanjakan keluarganya. Sebagai anak dari keluarga berada, segala kebutuhannya selalu dipenuhi. Masih kelas 5 SD saja sudah memegang ponsel mahal. Setiap hari diantar dan dijemput. Makan masih disuapi dan segala keperluannya disiapkan oleh mbak pengasuhnya. Tidak, tentu tidak ada yang salah dengan hal itu. Sebab memang keluarga mereka mampu.

Suatu kali, dalam perjalanan pulang dari sekolah. Tumben si anak tidak fokus pada gadget-nya. Mungkin bosan sebab kegiatan itu sudah terus menerus dilakukannya. Pada saat mobil berhenti di lampu merah, ada seorang anak pengemis yang menengadahkan tangan ke jendela mobil. Si anak bertanya pada mamanya yang sedang sibuk memperbaiki make up di wajahnya. “Ma, anak itu sedang apa,” katanya. Mamanya hanya diam tak menjawab, sibuk memoles wajah. Dia kemudian bertanya pada supir. Supir menjawab, kalau anak itu sedang meminta uang. Mengemis.

Anak tersebut melontarkan kata yang tak terduga. “Goblok banget sih! Pulang aja ke rumah minta sama mama-papanya kan bisa!” serunya dengan wajah datar.

Astaga! Dalam keadaan itu si mama tetap diam saja. Tidak berusaha memperbaiki kesalahan yang ternyata sudah tertanam dalam benak anak. Ia tidak pernah diajari untuk menoleh pada lingkungan sekitar. Ia tidak pernah diajari untuk hidup saling memperhatikan.

Mungkin banyak anak lain dari generasi muda masa kini seperti kisah anak itu. Yang bukan berarti tidak bisa diajari untuk memiliki moral. Hanya saja orangtua agaknya abai akan hal penting itu.

Dalam lain kesempatan, seorang bijak akhirnya memberi pencerahan pada saya. Dia bilang, selain dari mendidik generasi sejak dini mengenai etika dan moral, ada satu hal lagi yang bisa kita lakukan agar bisa lebih bermurah hati pada orang lain.

Berani mengorbankan lifestyle! Coba bayangkan, katanya lagi, ketika kita berani untuk mengorbankan sedikit saja gaya hidup kita untuk berbagi dan bersedekah, mungkin ketimpangan orang kaya dan miskin tidak setinggi itu.

Jika kita orang berada, mungkin kita bisa membeli mobil mewah untuk semua anggota keluarga. It’s Ok! Itu tentu tidak salah. Namun, akan menjadi salah jika kita sudah memiliki lima mobil, namun ingin terus menambah, menambah, dan menambah lagi sehingga kita membutuhkan garasi seluas 1 ha. Pertanyaannya? Buat apa mobil itu? Seandainya kita berani mengorbankan gaya hidup, tentu lima mobil cukup, dan uang untuk membeli mobil-mobil lainnya bisa diinvestasikan pada hidup orang lain.

Hal ini tentu berlaku untuk gaya hidup lainnya. Entah itu keinginan kita memiliki banyak rumah, tanah, emas, perhiasan, dan kepemilikan harta berharga lainnya. Sedikit pengorbanan kita untuk tidak memuaskan hasrat pemenuhan gaya hidup, bisa jadi pemberian yang berarti bagi hidup orang yang membutuhkan.

Apa yang sepele bagi kita, bisa jadi sangat berharga bagi orang lain. Bukan berarti kita tidak bisa menikmati harta dan materi yang kita miliki. Namun jika ingin hidup ini lebih berarti, beranikah Anda mengorbankan gaya hidup untuk memberi?