Penulis
Intisari-online.com -- “Hatiku sudah mantap untuk mendedikasikan hidup dengan memberi dan berbagi,” kata Togu Simorangkir (40) pada Intisari.
Sudah 22 tahun lamanya sejak tahun 2005, ia memang giat dalam aksi sosial untuk lingkungan dan masyarakat.
Hingga akhirnya di tahun 2010, setelah 16 tahun merantau, hatinya terpanggil untuk pulang ke kampung halaman.
Dengan satu kerinduan, memberi harapan cerah bagi anak-anak di tanah kelahiran untuk melihat dunia melalui pondok-pondok belajar dan tentu saja buku!
(Baca juga:Pahlawan Itu Bernama Serka Darwis yang Setiap Hari Berjuang Bertaruh Nyawa Demi Anak-anak Desa Bisa Sekolah)
Tergeraklah hatinya melihat kebutuhan anak-anak di Pulau Samosir, sebuah pulau vulkanik di tengah Danau Toba, Sumatera Utara.
Menurut pengamatan Togu, masyarakat yang tinggal di pulau sedikit lebih tertinggal ketimbang yang tinggal di dataran. Ketertinggalan itu harus dikejar anak-anak di Samosir.
Dimulailah perjuangan itu. Ia bersama beberapa rekan, mendirikan Yayasan Alusi Tao Toba, tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat sekitar danau melalui pendidikan.
Caranya? Dengan mendirikan Sopo (semacam pondok/tempat) belajar , kereta baca, dan kapal belajar di sana. Kini sejak tahun 2010-2017 telah berdiri empat Sopo Belajar. Sopo Belajar Lontung, Sopo Belajar Janji Maria, Sopo Belajar Bahal-Bahal, dan Sopo Belajar Mual.
Mengenai kapal belajar, ceritanya begini. Suatu hari, saat Togu memandang jauh ke seberang danau, terlihatlah sebuah desa. Ternyata desa itu tidak bisa dijangkau dengan jalur darat, artinya harus menggunakan kapal menyusuri danau untuk sampai ke sana.
Terpikirlah Togu membuat kapal belajar yang difungsikan sebagai perpustakaan keliling untuk anak-anak yang desanya hanya bisa ditempuh via kapal saja.
Bikin sopo belajar, kapal belajar, kreta belajar, dan mendatangkan buku-buku semua itu, dananya dari mana? Togu bukan si kaya raya yang bisa memenuhi semua itu.
“Secara finansial aku terjun bebas karena di lembaga ini tidak bergaji,” aku ayah tiga anak ini. Tapi itu tidak menjadi masalah baginya karena filosofi hidupnya bukan lagi mengejar uang dan kesuksesan. Ia sudah teguh untuk menjalani sisa hidup dengan semangat filantropi.
Karena setelah memantapkan hati berbuat bagi kampung halaman, ia meninggalkan sepenuhnya zona nyaman. Misalnya, lulusan master dari Oxford Brookes University Inggris ini, meninggalkan tawaran kerja bergaji €2000 di negeri orang itu.
Hanya saja ya tadi, komitmen dan kemantapan hati untuk berbagi membuat Togu lebih berani dan siap hidup seadanya.
Togu, semua hal yang ditinggalkannya itu tidak bisa dibandingkan dengan kebahagiaan yang dirasakannya selama tujuh tahun terakhir ini. “Karena berbuat baik adalah candu,”ujarnya dengan mata berbinar.
Dan rupanya candu itu mengubah hidup Togu sangat banyak. Karena itu tidak ada alasan untuk goyah, apalagi mundur. Toh “hidup memberi” malah mengembalikan banyak hal yang tidak pernah diduga Togu sebelumnya.
(Baca juga:Pria Ini Percaya Istrinya Seorang Pahlawan dan Setengah Juta Orang Mengamininya)
Ia belajar untuk mensyukuri hidup melalui berbagi. “Dulu, aku tak pernah punya konsep bersyukur dalam hidup, berbeda dengan sekarang,” kata pria kelahiran 1976 ini.
Togu sendiri meyakini, bahwa memberi tidak melulu berbicara mengenai rupiah. Jika tidak ada dana, berikanlah ide, tenaga, waktu, dll. Prinsip ini dipegang teguh olehnya hingga saat ini. “Saya memang tidak bisa memberikan uang, tapi bisa melakukan aksi, misalnya untuk menggalang dana” kata Togu.
Jika umumnya lembaga filantropi memperoleh dana melalui proposal kepada donatur, ayah tiga anak ini memilih cara yang berbeda. Ia membuat gerilya fundraising!
Aksi yang dilakukan Togu termasuk nyeleneh. Misalnya, ketika perjuangan awal Alusi Tao Toba dimulai, Togu membuat usaha air minum untuk kehidupan keluarga.
“Keuntungan dari usaha air minum itu Rp2.000/galon air, Rp1.000 untuk Alusi Tao Toba, sisanya untuk keluarga,” katanya tersenyum.
Aksi gila lainnya adalah penggalangan dana bertajuk Berenang Berbagi. Togu, yang bukan perenang itu, melakukan aksi berenang menyusuri Danau Toba dari Parapat ke Tuk-tuk sejauh 9 km.
Aksi 22 Juli 2012 ini mengumpulkan dana sekitar Rp60 juta. Tak kapok, demi mencari dana untuk Kapal Belajar, tahun 2015 ia berenang lebih jauh lagi. 18 km! Dana terkumpul Rp120 juta.
“Bukan untuk gagah-gagahan, tapi saya rindu aksi ini bisa membangkitkan semangat orang lain juga untuk berbagi,” jelas Togu yang akan melakukan triathlon sebagai aksi penggalangan dana lagi tahun depan.
Jika dipandang dari segi untung-rugi, apa yang dilakukan Togu pastilah merugikan. Tapi di mata Togu, inilah dedikasi untuk jalan hidup yang sudah dipilihnya. Selalu memberi dan berbagi selama Tuhan masih berkenan.