Penulis
Intisari-Online.com - Sebagai negara yang dikenal sangat demokratis dan menjunjung tinggi hak serta kebebasan individu, perlu waktu yang panjang dan berdarah-darah bagi AS untuk mencapai semua itu.
Salah satu tragedi paling berdarah yang terjadi dalam sejarah militer AS adalah pecahnya perang saudara (civil war) yang berlangsung dari 1861-1865.
Peperangan yang melibatkan warga AS bagian selatan (Konfederasi) dan utara (Union) itu telah mengakibatkan lebih dari 750.000 tentara dari kedua belah pihak gugur belum termasuk penduduk sipil yang turut jadi korban.
Selain itu penyebab timbulnya perang saudara di AS juga cukup unik karena bukan disebabkan oleh rebutan teritori, pandangangan politik yang berbeda, masalah suku atau agama, melainkan oleh pendapat setuju dan tidaknya perbudakan di wilayah AS.
Sebelum meletus perang saudara, perbudakan masih lazim dipraktekkan di wilayah Amerika, khususnya wilayah bagian selatan yang perkembangan ekonominya sangat tergantung kepada pertanian kapas.
Sebelum AS memproklamirkan kemerdekaan seluruh wilayah AS berada di bawah kekuasaan Inggris dan para penguasa Inggris menamai wilayah jajahannya di AS, New England.
Sebagai raja lautan kapal-kapal Inggris merupakan alat transportasi utama untuk mendatangkan budak ke AS.
Tenaga budak yang saat itu didatangkan oleh Inggris dari Afrika kemudian dijual kepada para pengguna di Amerika guna memenuhi tenaga kerja di pertanian kapas.
Sebagai budak mereka tidak dibayar dan diperintahkan kerja paksa, suatu sistem untuk memenuhi tenaga kerja secara tidak manusiawi mengingat tenaga kerja dari orang kulit putih sangat terbatas.
Sistem perbudakan di AS pertama kali diterapkan di Virginia (1619) dan kemudian diikuti oleh wilayah Amerika lainnya seperti Carolina Selatan, Massachusets, dan lainnya.
(Baca juga: Mengenang Perang Saudara Lewat “Rumah Budak”)
Ketika pecah Revolusi Amerika (1776), yakni perlawanan para imigran AS melawan kolonial Inggris yang kemudian dimenangkan para imigran dan melahirkan kemerdekaan AS (4 Juli 1776), perbudakan di Amerika justru makin meraja lela.
Presiden pertama AS saat itu, George Washington, dalam Perang Rovolusi melawan colonial Inggris kebetulan bertempur memihak rakyat bagian selatan (Virginia) sehingga ketika memerintah, sistem perbudakan makin tumbuh subur.
Sebanyak 275.000 budak didatangkan ke Amerika dari Afrika, hingga dalam satu wilayah (state) jumlah warga kulit hitam mencapai 40% dibandingkan warga kulit putih.
Meskipun di benua Amerika, Inggris yang kalah dalam Perang Revolusi karena memiliki armada laut yang kuat masih menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan transportasi di Laut Atlantik.
Pola transportasi yang dikenal sebagai pelayaran segitiga itu menggunakan rute Amerika,Afrika, dan Inggris.
(Baca juga: Berkat Suara Intuisi, Abraham Lincoln Menghapuskan Perbudakan di AS)
Dari Afrika setelah kapal-kapal Inggris menyetorkan tenaga budak ke Amerika lalu berlayar kembali ke Inggris sambil membawa barang-barang kebutuhan pokok dan hasil industri AS lainnya, khususnya yang dibuat dari bahan kapas.
Jadi dari sisi bisnis kapal-kapal transport Inggris sangat beruntung karena kapalnya bisa digunakan mengangkut budak untuk dijual ke Amerika.
Sedangkan barang-barang dagangan dari kapas yang juga dikerjakan oleh para budak bisa dibawa ke Inggris untuk dijual.
Antara tahun 1820-1850 baik wilayah utara maupun selatan Amerika masih sama-sama menyetujui dan berkompromi dengan adanya perbudakan serta mewujudkan kompromi itu dalam bentuk Undang Undang.
Namun seiring perkembangan ekonomi, politik, dan juga peradaban, apalagi secara politik orang-orang utara banyak dipengaruhi politikus asal Belanda yang menjunjung tinggi demokrasi dan kebebasan individu, pihak utara mulai berpikir menghapuskan sistem perbudakan.
Pemahaman politik ala Belanda itu diwariskan oleh orang-orang Belanda yang berpetualang ke Amerika dan kemudian membentuk pemukiman sendiri.
Paham politik yang menjunjung tinggi kemerdekaan dan kebebasan individu ternyata dianut juga oleh Presiden George Washington yang dikemudian hari menjadi wacana untuk memberi kebebasan dan pengampunan bagi para budak kulit hitam.
Semangat George Washington untuk memberikan pengampunan bagi para budak selanjutnya mendapat dukungan dari anggota Kongres Kontinental, Thomas Jefferson, yang juga dikenal sebagai perintis Piagam Hak Hak Azazi Manusia, James Madison yang dikenal sebagai bapak konstitusi AS, dan Alexander Hamilton seorang intelektual AS yang sangat mencintai orang kulit hitam.
Upaya Presiden George Washington bersama para sejawatnya untuk memberikan pengampunan dan kebebasan bagi para budak kulit hitam ternyata tidak berjalan mulus karena dua negara selatan, Georgia dan Carolina Selatan, yang tidak setuju adanya pengampunan bagi budak kulit hitam mengancam akan memisahkan diri dari Union (utara).
Pengampunan atau penghapusan perbudakan itu menurut pemerintah Georgia dan Carolina Selatan jelas akan mengguncang perekonomian karena kebun dan produksi barang-barang dari kapas akan hancur akibat ketiadaan tenaga kerja.
Apalagi pada kenyataannya , sejumlah pejabat tinggi, seperti George Washingston sendiri atau Jefferson juga memiliki budak, apa untungnya menghapus perbudakan?
Meskipun semangat Union untuk menghapuskan perbudakan mendapat tantangan dari negara-negara bagian selatan yang berniat memisahkan diri demi mempertahankan sistem perbudakan, upaya penghapusan perbudakan terus berlanjut.
Semangat penghapusan perbudakan yang dilakukan Union makin menemukan momennya ketika pada tahun 1811 Parlemen Inggris mengumumkan bahwa kapal-kapal transport dan perang Inggris dilarang keras mengangkut budak dari Afrika karena telah dianggap illegal dan sekaligus merupakan perbuatan kriminal.
Semangat Parlemen Inggris untuk menghapuskan perbudakan ternyata berpengaruh cukup besar di AS, khususnya masyarakat AS bagian utara dan juga masyarakat kulit hitam yang berada di wilayah selatan.
Salah satu tokoh kulit hitam yang kemudian berjuang untuk memerdekakan kaumnya adalah John Brown.
Tapi upaya Brown untuk menghapus perbudakan di wilayah AS ternyata dilakukan dengan cara kekerasan.
Dalam melancarkan aksi untuk menentang perbudakan, Brown meyakini cara yang paling efektif adalah dengan mengangkat senjata.
Brown lalu mengorganisir kekuatan dan mempersenjatai kelompoknya yang terdiri dari sejumlah orang kulit putih antiperbudakan dan kulit hutam serta mulai melancarkan serangan kepada orang-orang kulit putih pro perbudakan.
Pada aksi kekerasan di kawasan Kansas yang berlangsung pada tahun 1856, Brown dan pasukan kulit hitamnya terlibat dalam dua pertempuran Battle of Black Jack serta Battle of Osawatomie.
Korban pun mulai berjatuhan akibat serangan pasukan Brown yang cukup terlatih itu.
Upaya Brown dan pasukannya untuk menghapuskan perbudakan melalui cara-cara kekerasan berlangsung hingga tahun 1859.
Sejumlah aksi kekerasan pasukan Brown yang cukup mengguncang kalangan kulit putih antara lain, serangan yang mengakibatkan pembantaian sekitar 29 orang dalam Battle of Osawatomie (Kansas), serangan yang mengakibatkan lima orang kulit putih tewas di Virginia, upaya untuk merebut senjata di kawasan Harpes Ferry (Virginia) dan lainnya.
Serangan ke Harpes Ferry merupakan serangan yang terhitung gagal tapi menjadi berita yang menggemparkan.
Serangan itu akhirnya memicu militer AS untuk melancarkan tindakan. Pada bulan Desember 1859, petualangan antiperbudakan John Brown berakhir.
Pasukan marinir AS di bawah pimpinnan Kolonel Robert E Lee meringkusnya dan setelah diadili, Brown dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung.
Serangan pasukan Brown di Harpers Ferry benar-benar mengguncang kawasan selatan dan di kemudian hari ternyata menjadi salah satu pemcu pemisahan diri sejumlah wilayah selatan dan meletusnya Perang Saudara AS.
Perang Saudara AS akhirnya dimenangkan oleh pihak Utara (Union) yang anti perbudakan dan sekaligus sebagai deklarasi penghapusan perbudakan di AS.
Tapi efek Perang Saudara itu bahkan terus berpengaruh hingga saat ini berupa bentrokan antara warga kult putih dan kulit hitam AS yang masih kerap terjadi.
Terutana bentrokan yang dipicu oleh masalah diskriminasi akibat perbedaan warna kulit.