Find Us On Social Media :

Ada Saatnya Membaca Buku Dianggap Teroris, Perempuan Asal Inggris Ini Membuktikannya

By Moh Habib Asyhad, Jumat, 21 Juli 2017 | 19:30 WIB

Membaca buku dianggap teroris

Shaheen dan suaminya dibawa ke sebuah ruangan di Bandara Doncaster untuk diperiksa dengan Undang-undang Terorisme.

Ia mengungkapkan selama 30 menit dirinya diinterogasi perihal buku tersebut, pekerjaannya, serta berapa banyak bahasa yang ia kuasai.

"Selain marah, saya juga merasa kesal dan tertekan. Saya berjuang untuk menerima bahwa saya menjadi korban diskriminasi karena membaca buku tentang seni dan budaya," jelasnya.

"Dan setelah setahun berlalu, Thomson Airways gagal memberikan penjelasan atau permintaan maaf meski ada keterlibatan hukum," katanya lagi.

"Sikap ini membuat saya tidak memiliki pilihan selain meminta pernyataan dari pengadilan berdasarkan Undang-undang Kesetaraan."

(Baca juga: Perempuan Muslim Pertama yang Jadi Hakim di AS Itu Ditemukan Tewas Mengambang di Sungai)

Tim kuasa hukum Shaheen menyebutkan mereka telah melayangkan surat kepada Thomson, dengan mengatakan kepada perusahaan tersebut bahwa kliennya telah menjadi korban diskriminasi.

Dalam surat tersebut dicantumkan bahwa Shaheen yakin dirinya menjadi korban diskriminasi yang dilatarbelakangi masalah rasial.

Ravi Naik, dari kantor tim kuasa hukum ITN, mengatakan Thomson sudah mengetahui komunikasi awal, namun tidak menanggapi korespondensi semenjak Januari lalu.

"Undang-undang Kesetaraan memuat perlindungan yang kuat terhadap perlakuan diskriminatif atas dasar ras dan agama seseorang dan untuk alasan yang baik," katanya.

"Kami telah meminta pihak maskapai untuk meminta maaf, namun kami tidak pernah mendapat jawaban yang berarti."