Penulis
Intisari-Online.com - Ketika pada 4 Juni 1940, tatkala 338.000 pasukan Inggris harus dievakuasi dari Dunkirk, maka PM Winston Churchill dengan berapi-api menegaskan, “Inggris akan terus bertempur. Jika perlu sampai bertahun-tahun…bahkan kalau pun harus sendirian….We shall go back !”.
Itulah janji dan komitmen Churchill untuk kembali ke daratan Eropa, merebutnya kembali dari penguasaan Jerman Nazi. Operasi tempur untuk balas dendam pun segera dirancang dan digelar oleh Inggris.
Pada 19 Agustus 1942, asukan Divisi Ke-2 Kanada yang berpangkalan di Sussex, Inggris, diam-diam menyeberangi selat yang memisahkan Inggris dengan daratan Eropa.
Pasukan yang berkekuatan 6.000 orang ini, termasuk sejumlah pasukan komando Inggris, ditugaskan menyerang kota pelabuhan Dieppe di Perancis.
Setelah menguasai Dieppe dan menghancurkan fasilitas militer Jerman , mereka akan balik ke pangkalannya, meninggalkan pasukan Jerman yang diperkirakan masih terkejut oleh serangan atau raid tak terduga tadi.
(Baca juga: Misteri Terbesar Dunkirk adalah Alasan Hitler Hentikan Serangan yang Sudah Pasti Dimenanginya)
Seketika itu para perencana di War Office pun mulai merancang upaya menyerang wilayah yang diduduki Jerman. Diawali dengan serangan kecil-kecilan oleh satuan komando, seperti pada 23 Juni tatkala sepasukan komando Inggris menyerang Boulogne di pantai Perancis.
Serangan yang dilancarkan hanya sehari setelah Perancis minta penghentian perang dengan Jerman itu, memang tidak begitu berhasil. Pasukan ini gagal membawa tawanan atau memperoleh informasi yang berharga.
Kembalinya ke pangkalan mereka pun kacau, keliru mendarat di pelabuhan lain. Akibanya mereka dikira desertir dan sempat ditangkap oleh polisi militer.
Namun walau kurang sukses pada uji coba pertama itu, raid komando terus dilancarkan terhadap wilayah yang dikuasai musuh, seperti Perancis, Norwegia, Italia, dan Libya.
Tujuan raid itu terbatas, sekadar menghancurkan tempat pertahanan musuh, merusak pabrik atau fasilitas penting lainnya, menangkap tawanan untuk dikorek informasinya, serta meningkatkan moril Sekutu.
Berbagai serangan komando juga dimanfaatkan sebagai ajang latihan bagi invasi besar di kemudian hari. Serangan komando paling besar dan berhasil adalah terhadap pangkalan laut Jerman di Saint-Nazaire oleh 680 pasukan komando dan pelaut Inggris pada 28 Maret 1942.
Serangan ini menghancurkan satu-satunya dok kering yang ada di sepanjang pantai Atlantik.
Padahal hanya dok inilah yang mampu melayani kapal tempur terbaru dan terbesar Jerman, Tirpitz.
Akibatnya kapal ini tidak berani keluar ke Atlantik untuk ikut menggempur konvoi armada transpor Sekutu.
Tetapi keberhasilan serangan atas Saint-Nazaire ini menimbulkan kesan menyesatkan. Seolah-olah setiap serangan yan bersifat pendadakan/berdaya kejut, akan mampu mendobrak pelabuhan atau pangkalan laut musuh sekalipun dijaga ketat.
Perkembangan perang di daratan Eropa menunjukkan Hitler terus berusaha membinasakan Uni Soviet/Rusia.
Stalin pun terus mendesak dibukanya front kedua di Eropa Barat, guna mengurangi tekanan Jerman terhadap Rusia.
Pembukaan front baru berarti Sekutu harus melakukan invasi besar-besaran terhadap Eropa Barat. Karena itu Kepala Staf AS Jenderal George C. Marshall memerintahkan perencanaan invasi darurat ke Perancis.
Jenderal Eisenhower lalu menyusun dua perencanaan lewat Operasi Sledgehammer dan Operasi Roundup.
Namun rencana ini ditolak Inggris yang beranggapan Jerman tahun 1942 masih terlalu kuat, dan Sekutu belum mampu melancarkan invasi ke Eropa. Sebagai gantinya, Inggris mengusulkan invasi lebih kecil di Afrika Utara, yang akan dipimpin oleh Eisenhower.
Namun gagasan membuka front kedua di Eropa Barat tidak pernah ditinggalkan, bahkan terus disiapkan.
Salah satunya dengan melancarkan serangan cukup besar terhadap sasaran penting di pantai Eropa, yang akan memaksa musuh melakukan reaksi seperti bila mereka menghadapi invasi yang sesungguhnya.
Para perencana akhirnya memilih Dieppe. Tempat ini terpilih karena memiliki kelebihan dibanding beberapa kandidat sasaran lainnya, antara lain letaknya cukup dekat sehingga armada kapal penyerang dapat mencapainya dalam lindungan kegelapan malam, serta dalam jangkauan operasi pesawat tempur RAF.
Hal penting lainnya adalah Dieppe memiliki pertahanan cukup kuat, sehingga reaksi Jerman terhadap suatu invasi diharapkan dapat dipelajari.
Sasaran serangan adalah menghancurkan pertahanan Jerman, galangan kapal, stasiun radar, penyimpanan bahan bakar, merebut dokumen, dan membawa pulang tawanan.
Serangan ini diharapkan akan memancing Luftwaffe dalam pertempuran udara yang menentukan, serta mengendurkan tekanan Jerman di front Rusia dengan menarik sebagian pasukannya ke front Barat.
Untuk serangan besar ini, Divisi Ke-2 Kanada pimpinan Mayjen Hamilton “Ham” Roberts ditugasi bersama sejumlah pasukan komando Inggris.
Pasukan Kanada sejak 1939 telah ditempatkan di Inggris, sebagai kekuatan anti-invasi manakala Jeman Nazi berusaha mendarat di Inggris.
Penugasan menyerang Dieppe melegakan pasukan Kanada, yang sejak awal hanya menunggu invasi Jerman yang tak kunjung datang.
Serangan atas Dieppe memberi mereka kesempatan untuk beraksi.
Namun mereka juga menyadari tugas ini berat, mengingat kekuatan pertahanan musuh di Dieppe, termasuk ketinggian yang mengitari pantai Dieppe telah dimanfaatkan Jerman untuk membangun sarang meriam dan penangkis udara, serta kubu-kubu senapan mesin.
Tetapi para perancang serangan menganggap garnisun Jerman di Dieppe bukanlah pasukan kelas satu, melainkan rekrutmen baru serta mereka yang sudah berumur.
Serangan dengan sandi Operasi Jubilee ini akan mendaratkan enam batalyon infanteri, dua formasi satuan komando, satu resimen tank pendukung, dan berbagai satuan pendukung lainnya.
Namun Operasi Jubilee ternyata bercacat, karena tidak didahului dengan pengeboman udara pra-pendaratan, kecuali bantuan tembakan sekadarnya dari laut.
Pengeboman dari udara ditiadakan karena para perancang Jubilee khawatir akan keselamatan penduduk sipil Dieppe, dan mereka juga takut pengeboman akan membuat jalanan tidak dapat dilalui tank.
Pasukan payung juga tidak diturunkan di belakang kota Dieppe guna memancing musuh menjauh dari pantai, dengan alasan cuaca yang tidak menentu.
Para perancang yakin, unsur pendadakan adalah faktor paling menentukan dalam serangan atas Dieppe, sebagaimana telah dibuktikan di Saint-Nazaire.
Mereka berharap sekali, keberhasilan serangan ini akan menjadi sumbangan berarti, bahkan membawa harapan baru setelah sekian lama daratan Eropa diinjak-injak Hitler. Apalagi di Afrika Utara pun, Inggris baru mengalami kekalahan melawan “Rubah Gurun” Erwin Rommel.
Namun serangan balas dendam ini ternyata gagal total dan harus dibayar mahal pasukan Inggris karena selain banyaknya pasukan yang gugur sisanya juga tertangkap oleh pasukan Nazi Jerman setelah menyerah.