Penulis
Intisari-Online.com -Kasus bullying siswa SD dan SMP di Thamrin City, Jakarta Pusat, baru-baru ini mengingatkan pada kasus Penembakan Santana High School yang terjadi pada Maret 2001 yang menewaskan dua orang dan melukai 13 orang lainnya.
Pelakunya adalah seorang bocah 15 tahun bernama Charles Andrew Williams yang terus-terusan menjadi korban bullying di sekolah yang terletak di negara bagian California, Amerika Serikat.
(Baca juga:Berikut Ini Kronologi Penembakan Mobil Satu Keluarga oleh Polisi di Lubuklinggau Versi Kapolres)
***
15 Agustus 2002, Charles Andrew Williams harus mengubur impian masa mudanya yang ceria. Andy, demikian ia dikenal teman-teman sekolah dan keluarga, genap 15 tahun.
Pengadilan California mengganjarnya dengan vonis dewasa berupa 50 tahun kurungan penjara. Upaya banding yang coba dilakukannya sejak dua bulan sebelum vonis sia-sia belaka.
Tidak ada kata lain selain penyesalan. Pada sebuah wawancara eksklusif yang dilakukan oleh ABC News, Andi mengatakan:
"Sebagian besar orang-orang yang saya tembak adalah teman yang menyenangkan, tapi wakt itu, kalian tahu, jari saya sudah berada di pelatuk pistol dan saya sama sekali tidak menggubris mereka, dan semuanya sudah terlambat."Andy Williams yang mengidolakan band rap-metal Amerika, Linkin Park, berhasil menggegerkan Amerika: dua nyawa melayang di tanganya, dan tigabelas lainnya mengalami luka parah termasuk guru dan seorang pengawas sekolah.
Dalam sebuah pengakuan monumentalnya, dia mengaku terinspirasi oleh salah satu lirik dalam lagu One Step Closer yang berbunyi: cause I’m one step closer to the edge, and I’m about to break.
Andy yang periang tapi kesepian
Sejak kecil Andy ditinggal ibunya, Linda Wells. Bukan karena meninggal. Tahun 1990, ketika Andy menginjak umur 4 tahun, ibunya memutuskan untuk berpisah dengan ayahnya, Jeff Williams.
Tak hanya seorang diri, Linda membawa serta kakak Andy untuk tinggal di South Carolina, AS. Sementara Andy memilih untuk tetap di Maryland bersama ayahnya, Jeff.
Kondisi ini menjadikan Andy jauh dengan perempuan yang melahirkannya tersebut. Kontaknya pun terbatas.
Saudara laki-lakinya akan berkunjung ke Maryland setiap musim panas barang satu atau dua minggu. Sementara Andy memiliki kesempatan bertemu ibunya setiap natal tiba.
Sesekali ketika merayakan hari lahirnya, Andy akan menelepon sang ibu atau mengiriminya kartu pos.
Begitu juga ketika natal menjelang sembari mengabarkan persiapannya untuk menjenguk Linda. Praktis, jika tidak ada keperluan yang sangat mendadak, keduanya hanya akan bertemu sekali dalah satu tahun.
Andy kecil sejatinya bukanlah pemuda yang pemurung, terutama ketika berada di sekolah. Justru sebaliknya, dia adalah yang terbaik di bidangnya.
Sejak sekola dasar sampai sekolah menengah pertama, dia sudah banyak terlibat dalam berbagai kegiatan yang diadakan oleh sekolahnya. Tubuhnya yang relatif kecil menjadikannya sebagai sprinter yang mumpuni.
Dia menjadi andalan bagi sekolahnya. Tim football america, sepakbola, dan basket sekolahnya tak lupa merekrutnya.
Oleh teman-teman sebayanya, Andy dikenal sebagai sosok yang periang sekaligus jenaka.
Di beberapa kesempatan, dia akan mengenakan pakaian yang sangat lucu saat berangkat ke sekolah, di kesempatan lain dia akan melalukan kegiatan lucu lainnya.
Kemampuan melucu membuat Andy lumayan populer di sekolahnya. Sekitar tahun 2000-an, keluaga Williams pindah ke Twentynine Palms, California.
Setelah enam bulan di Twentynine Palms, Jeff memutuskan boyongan kembali karena dia diterima bekerja di teknisi laboratorium di Naval Medical Center.
Kali ini di sebuah kota kecil di pinggiran San Diego, California. Kota kecil itu bernama Santee dengan total penduduk 58 ribu orang.
(Baca juga:Penembakan Orlando: Bagaimana Omar Mateen Mendapatkan Senjata Secara Legal di Orlando?)
Kota ini dirasa cukup kondusif dan aman, terlebih, angka kejahatan di kota ini juga relatif sangat kecil. Secar geografis, Santee berjarak 10 mil dari San Diego.
Seperti keadaannya di Maryland dan Twentynine Palms, Jeff berharap anaknya segera krasan dengan linkungan barunya tersebut.
Oleh karena, sebuah sekolah yang representatif, Santana High School dengan duaribuan murid, dipilih Jeff untuk tempat anaknya belajar.
Tapi sepertinya Jeff salah dengan pertimbangannya tersebut. Andy merasa kurang sreg dengan kota barunya tersebut dan seolah mencapai puncaknya pada pagi mencekam di lorong toilet pria sekolahnya.
Menjadi korban bully
Untuk mengisi waktunya di sela-sela waktu sekolah, Andy memilih bergabung dengan klub skateboard yang biasa mangkal di sekitar Woodglen Vista Park, sebuah taman yang terletak tidak jauh dari apartemen tempat Andy tinggal bersama ayahnya.
Jika di sekolah lamanya, tubuh kecilnya adalah berkah bagi Andy, sampai-sampai dia dijuluki “tikus” karena larinya yang begitu cepat, maka tidak untuk sekarang. Tubuhnya yang kecil menjadikannya sebagai sasaran bully yang menggiurkan.
Dua kali papan skateboardnya dicuri. Para senior kerap menyulut punggung Andy dengan bara rokok seolah-olah punggung itu adalah asbak kosong.
Di sekolahan nasib Andy tak berbeda jauh. Bukunya sering dibuang ke toilet, tasnya diambil. Jeff juga pernah memergoki Andy pulang dengan muka babak belur.
Setiap ditanya, dia akan selalu menjawab, “Ah, tidak apa-apa, saya hanya terjatuh dari papan skateboard.”
Andy terlibat dalam lingkaran pergaulan yang kurang disukai oleh ayahnya. Menurut kabar burung, klub sketboard tempat Andy berisosialisasi adalah kelompok pemadat. Prestasi sekolahnya merosot jauh dan sering mendapat teguran dari pihak Santana.
Sekitar bulan Oktober 2000, saat pertemuan guru pertama, Jeff menjumpai anaknya melompat pagar bersama kawan-kawan begundalnya. Jeff juga sering mendapat laporan dari gurunya, Andy sering mendapat strap karena ulahnya tersebut.
Andy juga sering terlambat berangkat ke sekolah. Jeff jelas-jelas mengetahui kondisi anaknya tersebut karena dia beberapa kali dipanggil oleh pihak sekolah terkait kelakuan Andy yang semakin hari semakin “menyimpang”.
Saat natal tiba, seperti biasa Andy mengunjungi ibunya di South Carolina. Jeff berharap, dia bisa berubah selepas natal. Dan benar, perlahan, Jeff melihat ada perubahan dari sikap sebelum dan sesudah natal.
Kabarnya, ibunya mengizinkannya untuk tinggal di South Carolina, tapi Andy harus merampungkan tahun pertamanya dulu di Santee.
Tabiat Andy berangsur-angsur membaik di beberapa minggu selepas tahun baru. Jeff mulai tenang dengan kondisi anaknya. Tapi lagi-lagi Jeff salah perkiraan, “perilaku normal” Andy hanya bertahan beberapa minggu saja.
Dia kembali ke gengnya, dan parahnya nilai sekolahnya kian hari kian menurun. Terkadang C terkadang D, bahkan ada beberapa yang mendapat F.
Tidak mau terlalu berburuk sangka kepada anaknya, Jeff mengira itu hanya sikap pemberontakan sementara.
Ia ingat bahwa dulu saat masih muda, dia juga suka meledak-ledak seperti anaknya sekarang. Jeff masih mengganggap bahwa ini adalah fenomena wajar yang dialami oleh anaknya.
Rencana bermula dari kamar Josh Stevens
Semakin hari Andy semakin merasa kesepian. Jeff, ayahnya, terlalu sibuk bekerja di labnya. Selain itu, Andy juga tidak mempunyai waktu banyak untuk saling bertegur sapa dengan ibunya, Linda.
Situasi seperti ini menjadikan Andy mencari tempat lain yang kiranya bisa menerima dan dirasa nyaman olehnya.
Pergaulannya dengan salah satu kawanya di klub skateboard, Josh Stevens, kian intim.
Andy selalu mengikuti apa yang dilakukan dan diinginkan oleh Josh karena Andy merasa bahwa Josh adalah sosok yang bisa melindunginya dari gangguan teman-temannya yang lain di klub skateboard.
Selain itu, Josh juga termasuk yang paling populer dibanding yang lain di klub.
(Baca juga:Kasus Bullying Belum 'Tuntas' saat Pelaku Dihukum, Sebab Korban Masih Akan Alami Dampaknya 40 Tahun Kemudian)
Dari Josh juga Andy bisa menjalin hubungan singkat dengan gadis 12 tahun, Ashlee Allsop. Berdua, mereka biasanya menghabiskan malam di taman sembari menghisap mariyuana.
Allsop yang dengan pede-nya menulis kalimat “I LOVE ANDY” di sepatunya yang kumal dan butut, sepertinya merupakan cinta pertama bagi Andy.
Dari Josh, Andy mendapatkan keberanian untuk “memborbardir” Santana High School.
Pada suatu malam, kira-kira tiga minggu sebelum penyerangan, Andy mengutarakan niatnya melakukan penembakan di sekolah kepada Josh.
Tapi rencananya terlebih dahulu ketahuan bibinya Josh, Dawn Hemming, yang merupakan seorang penata rambut perempuan..
“Apa yang kamu rencanakan bersama Andy?”gertak bibi Josh malam itu.
“Ah, tidak, kami hanya bercanda. Ini hanya sebuah rencana konyol,” jawab Josh.
Merasa tidak percaya, dengan ucapan Josh, Hemming menyarankan Josh meminta bantuan teman lelaki ibunya untuk menasehati Andy.
Tapi Andy sudah terlanjur gelap mata dan dendam dengan orang-orang yang merendahkannya, meskipun berkali-kali dia mengatakan, “Ah itu hanya bercanda, kok.”
Rencana Andy untuk melakukan penyerangan sebenarnya sudah dari jauh-jauh hari.
Menurut pengakuan salah seorang temannya yang dilansir oleh TIME, Andy sudah mengambil salah satu revolver koleksi ayahnya dua bulan sebelum penyerangan.
Andy mengambil pistol itu ketika ayahnya tengah terlelah selepas pulang dari pekerjaannya.
Rencana gila lainnya yang dibuat oleh Andy bersama Josh adalah mencuri mobil ayah Andy dan pergi ke Meksiko untuk untuk mencari kehidupan baru.
Meskipun pada akhirnya keputusan itu diejek oleh teman-temannya yang lain, dan menyebut mereka berdua “pussy” karena tidak akan melakukan itu.
Andy juga membuat ultimatum di depan seribu-sembilanratusan murid yang belajar di Santana High School. “Sayak akan membuat peristiwa yang serupa Columbine Massacre yang terjadi dua tahun lalu,” gertak Andy.
Tak hanya di lapangan, dia juga membuat ultimatum di atas atap sekolahan.
Banyak yang mengabaikan “ancaman” Andy, tapi ada sebagian kecil kelompok yang malah memprovokasinya dan mengatakan bahwa Andy tidak mungkin berani melakukan serangan tersebut.
Sabtu malam, dua hari sebelum penembakan, Andy berkumpul di apartemen Josh bersama teman-temannya yang lain. Sejak sore, Andy terlihat lebih diam dibanding hari-hari biasanya.
Dia memilih untuk sedikit menjauh ke pojokan ketimbanng bergumul dengan kawannya yang tampak asik mengitari kobaran api unggun yang sengaja dibuat. Andi seolah asik dengan kebisuannya.
Tiba-tiba Andy angkat bicara. “Saya akan melakukannya besok pagi-pagi sekali ketika jam masuk sekolah,” kata Andy tegas. Seluruh ruangan sontak terdiam.
(Baca juga:Mulai dari Sakit Kepala Hingga Mengompol, Inilah Tanda-tanda Anak Jadi Korban 'Bullying')
Hanya butuh 6 menit
Senin pagi, 5 Maret 2001, Andy menyempatkan diri untuk menghisap mariyuan bersama teman-teman kompleknya.
Mungkin saja ini upaya Andy untuk tidak gugup saat melakukan aksinya nanti. Sebelum sampai di sekolah, Andy, bersama Shaun Turk, John Fields, Mike Wolfe menyempatkan diri untuk mampir di sebuah rumah makan sepak saji dekat sekolahnya.
“Sekitar pukul 09.06, saya berangkat duluan,” ujar Andy kepada ketiga temannya.
Tentu saja ini mengagetkan teman-teman kompleknya tersebut, karena biasanya mereka akan menemani Andy paling cepat sampai pukul 09.15.
Andy melangkah ke gerbang sekolah dengan begitu yakin. Pada dirinya seolah-olah tidak ada keraguan sama sekali dan tidak menunjukkan bahwa dia adalah korban bully.
Andy melewati beberapa kawannya yang beberapa hari terakhir kerap menggeledah tubuh Andy, khawatir Andy tidak main-main dengan ucapannya tempo hari; apakah ada senjata tajam atau senapan yang dia simpan di balik baju putihnya.
Andy lolos, setelah dicek dari atas sampai bawah tidak ditemukan sepucuk senapan pun di situ. Ada satu tempat yang sebenarnya tidak dicek, yaitu tas, di mana sebuah revolvel Arminius berkaliber 22 berada.
Bersama pistol tersebut, sebanyak 40 amunisi yang diambil dari laci ayahnya.
Andy berjalan santai menuju arah tembok pembatas lapangan, lalu berbelok ke lorong tailet pria. Sekitar pukul 09.20 waktu setempat, sesampainya di toilet tersebut, Andy mulai memainkan lakonnya sebagai pembunuh berdarah dingin.
Tembakan pertama mengenai kepala Bryan Zukor, 14, lalu diteruskan menembak seorang murid yang lain Trevor Edward.
“Kenapa saya?” kata Edward kepada Andy sembari mencoba bertahan.
“Diam, tak usah banyak omong!” gertak Andy.
Andy yang sudah kalap lalu keluar dari toilet menuju halaman sekolah. Di sana dia kembali mengedarkan peluru-pelurunya dengan membabi-buta dan melukai 11 yang lain.
Randy Gordon, 17, seketika itu tewas setelah sebuah peluru menembus punggungnya. Raymond Serrato, teman karib Gordon, juga tertembak.
Menurut pengakuan Serrato, ada yang janggal dari mimik wajah Andy pagi itu. Sebuah mimik sumringah yang jarang dia jumpai menghiasai muka imut Andi.
“Wajahnya tersenyum. Menyeringai. Dia menatap tepat ke arahku,” kata Serrato. Andy seolah-olah begitu menikmati aksi brutalnya.
Supervisor keamanaan sekolah, Peter Ruiz, mencoba untuk menghentikan serangan.
Tapi sial, Andy mengarahkan pistolnya ke pengawas 22 tahun tersebut dan menghujaninya dengan 5 tembakan di punggung. Dan satu lagi seorang pelatih american football, Tom Este, 33, juga tertembak.
Total, 2 meninggal dan 13 terluka parah dalam kurun waktu tak kurang dari 6 menit.
Dua orang opsir yang kebetulan sedang bertugas di sekolah tersebut segera mengambil tindakan. Satu petugas berangsur ke dalam toilet sementara satu yang lain melindungi di belakang.
“Letakkan pistol,” gertak salah seorang petugas.
Sepertinya Andy sudah kehabisan tenaga. Dia memilih untuk menyerah, bahkan berusaha untu melakukan bunuh diri.
Tapi petugas lebih sigap, dia langsung meringkus Andy dan memborgolnya. Khawatir ada pelaku yang lain, satu petugas yang lain menggeledah seisi toilet.
“Saya melakukannya sendiri,” ujar Andy pelan.
(Baca juga:Bukan Pistol, Polisi Gunakan Senapan Serbu SSI-V2 saat Berondong Mobil Satu Keluarga di Lubuklinggau)
Andy: itu seperti bukan saya
Banyak pihak yang terganga tak percaya dengan aksi yang dilakukan oleh Charles Andrew Williams alias Andy. Mereka mengenal Andy sebagai sosok yang manis.
Salah seorang kawan perempuannya yang tak mau disebut nama, seperti dilansir oleh Huffington Post bertanggal 9 Maret 2001, mengatakan: dia sangat manis dan menyenangkan.
Kami sering bercengkrama bersama dan membicarakan permalasahan-permasalahan umum yang menyangkut remaja seperti kami.
Andy juga mengaku terkejut dengan apa yang dilakukannya.
“Saya merasa ada sensasi yang berbeda saat melepaskan peluru-peluru itu. Saya tidak ada kalimat yang tepat selain ‘ini gila’. Jujur, itu seolah bukan saya, itu seseorang yang lain,” ujar Andy berapologi.
Di Naval Medical Center, Senin pagi adalah waktu yang sibuk bagi Jeff, ayah Andy. Ketika asik bekerja, sebuah tayangan televisi mengagetkannya.
“Sebaiknya kamu segera ke sekolahan (Santana), ada penembakan di sana. Para orang tua diminta untuk datang dan menjemput anaknya masing-masing,” kata bos Jeff memberi saran.
Pukul 10.30 waktu setempat,Jeff sampai di Santana. Polisi sudah ramai berkumpul, juga para orangtua. Sirene ambulan tak henti-henti meraung. Sekitar dua jam Jeff berputar-putar mengelilingi lapangan, tapi tak kunjung menemukan anaknya, Andy.
Saat itu, pikiran Jeff hanya ingin menemukan Andy dan masa bodoh dengan pelakunya.
Tidak lama berselang, Jeff tahu bahwa telah terjadi penembakan dan kabarnya pelakunya sudah ditangkap. Jeff berharap Andy bukan salah satunya. Jeff pulang ke rumah dengan ribuan pertanyaan, dan sedikit panik.
Pukul setengah satu siang, Jeff kembali ke sekolah dan bertemu dua orang siswi teman Andy. “Andy yang melakukan penembakan,” ujar mereka datar.
Seketika itu, darah Jeff langsung mendesir. Jeff segera pergi ke kantor kepolisian terdekat untuk mencari konfirmasi.
Jeff masih tidak percaya bahwa Andy adalah pelakunya, Andy adalah pembunuh 2 nyawa dan melukai 13 orang lainnya. Jeff baru bertemu Andy untuk pertama kalinya setelah tiga hari.
Andy memeluk ayahny dan menangis sekencang-kencangnya, Jeff juga menangis.
Jeff tidak benar-benar marah kepada anaknya itu, dia hanya masih tidak percaya wajah lucu-lugu anaknya bisa melakukan sesuatu yang sangat brutal.
Diganjar 50 tahun penjara
Reaksi beragam dilontarkan oleh berbagai surat kabar terkait teror yang dilakukan oleh Andy.
TIME bertanggal 11 Maret 2001 misalnya yang membuat judul bombastis “WARNING: Andy Williams Here. Unhappy Kid. Tired of being Picked”. Atau ABC News yang menjuduli berita utamanya “Santana School Shooter”.
Sementara The Guardian bertanggal 7 Maret 2001 terlihat sedikit lebih bersimpati kepada Andy dengan judul headline-nya “Boy held for killings was bullied”.
Tapi yang lebih membuat Jeff agak kecewa adalah upayanya untuk mengajukan hukuman percobaan buat anaknya gagal.
Beragam upaya banding coba dilakukan oleh sang ayah dan pengacaranya, tapi pelanggaran Andy dirasa cukup berat. Dan layak diganjar dengan hukuman yang setimpal.
15 Agustus 2001, Pengadilan Tinggi California mengganjar Andy dengan vonis 50 tahun penjara, sebagai seorang yang dianggap sudah dewasa.
Tapi sebelum benar-benar dijebloskan, Andy dipasrahkan ke Youth Offender Program sampai umurnya genap 18 tahun. Selepas itu, Andy menghuni penjara Ironwood State Prison, Blythe, California. Sebuah penjara yang mempunyai luas 640 are dengan kapasitas 3.895-an tahanan.
Selain itu, Andy harus melakukan kegiatasn sosial selama 529 hari, denda 10.000 dolar Amerika, dan membayar ganti rugi seluruh keluarga korban.
(Baca juga:Ironis, Korban Pemerkosan Ini Justru Dipenjara 30 Tahun setelah Bayinya Meninggal Saat Hamil)
Pada interview pertamanya selepas penembakan itu, Andy sempat berujar kepada publik: saya tidak menginginkan siapapun meninggal, tapi semuanya telah terjadi.
Amukan itu adalah sesuatu yang sangat bodoh yang pernah saya lakukan. Saya berharap, saya tidak pernah melakukan itu.
Seperti lirik dalam lagu Linkin Park yang menginspirasinya, One Step Closer, Andy semakin jauh menepi, menepi, dan akhirnya hancur.
“Cause I’m closer to the edge, and I’m about to break,” ujar Andy menirukan lagu favoritnya tersebut.